Pikiranku hanya tertuju pada nama yang akhir-akhir ini membuat rindu kembali begejolak. Dia adalah sosok wanita yang tak mau hilang dalam khayal-ku.
Aku sempat berpikir, aku mungkin gila lantaran senyumnya selalu menghantui. Jujur saja aku sedang disiksa oleh rindu dan rasanya aku takut kehilangannya dan merasa tidak ada lagi senyum yang lebih indah daripada itu.
"Bbammmm...." seorang teman tiba-tiba menepuk pundak dan membuatku kaget.
"Kau tau, apa yang lebih indah daripada rindu ?" Dengan percaya diri ia bertanya padaku.
"Tidak ada yang lebih kejam daripada rindu." Jawabku yang membuatnya kebingungan. "Hari ini kau akan bahagia lantaran rindu membuatmu bertemu. Tapi ingat, besok kau akan menderita lantaran rindu membuatmu tak lagi mampu bertemu".
"Kemarilah, duduk di sampingku dan akan kuceritakan betapa rindu itu kejam" tanyaku yang ramah.
Ia pun mendekat lalu duduk di sampingku. Perlahan mulai kuramu kata-kata untuk menjelaskan betapa kejamnya rindu yang membuat siapapun merasakannya menjadi tersiksa dalam kehampaan dan harapan.
Hingga menjelang sore, kuceritakan tentang rindu yang membelenggu jiwa-jiwa labil karena cinta. Dilan pernah berkata pada Milea "rindu itu berat. Kamu tidak akan sanggup, biar aku saja". Namun bagiku, rindu itu kejam lalu kau akan menderita layaknya hidup dalam neraka.
"Triiiingggg....." dering dan getar hp mulai terasa. Berharap itu pesan darinya. Namun rupanya itu adalah suara getar handphone teman yang disampingku. Sehabis membacanya ia lalu bergegas meninggalkanku dengan wajah bahagia.
Memberanikan diri, aku mulai chatting dengannya lantaran rindu membuat pikirku semakin gelisah terhadapnya.
"Hai In...." adalah singkatan dari nama panggilannya. Setelah rindu semakin begejolak, akhirnya pesan itupun mulai terkirim padanya.
"Iya, hy juga Dik" jawaban dari pesan yang kukirim. Membacanya membuatku tersenyum sendiri. Aku senang karena dia menjawabnya dengan kalimat itu, seolah dia juga mengharap pesan dariku.
"Ada yang mencarimu" tanyaku.
"Siapa ?"
"Aku"
"Ada apa kamu mencariku ?" Sambil disertai dengan emoticon senyum.
"Aku rindu pada senyummu" jawabku dengan penuh percaya diri.
"Ah, kamu menggombal lagi"
"Aku ingin bertemu, aku menunggumu di cafe perepatan dekat rumahmu" harapku yang ku sampaikan lewat pesan chatting.
Satu jam telah berlalu, aku semakin cemas namun tetap berharap dan menunggumu datang menghampiri. Dan benar saja kau datang menghampiriku.
"Aku ingin bercerita" tanyaku sambil menatap wajahnya.
Seperti biasanya Ia menjawab "tanyalah".
"Aku menyukaimu tapi aku tidak ingin berpacaran denganmu"
"Kenapa" dengan wajah yang berkaca-kaca.
"Aku takut terjebak dalam rindu yang hanya akan semakin menyiksaku kelak. Aku hanya ingin kau tau bahwa ada rasa yang mengurungku saat ini. Aku ingin kau tetap menjadi sahabatku hingga kelak kau akan ku halal-kan".
Ia menggenggam tanganku sambil berkata "aku akan tetap menjadi sahabatmu hingga nanti kau datang dengan niat menghalalkan aku".
Karena larut malam, Ia pun tersenyum manis padaku lalu berpamitan meninggalkanku di cafe itu, aku menatap punggungnya hingga tidak terlihat lagi. "In semoga kau tetap pada janjimu".
Penulis: AP
Cerpen