PUISI --- Waktu itu mendengar namamu awalnya aku cuek saja, tak ada yang istimewa terlalu banyak nama yang pernah ku dengar serupa, juga ku temuai dengan biasa.
Waktu dan waktu terus mengalir di pergelangan tangan juga jam dinding kerap menjadi pengiring dalam jejak , terlalu biasa aku bergumul dengan waktu, dengan kopi berbarengan hingga pekat malam dan juga derasnya hujan saat berjalan mengitari bumi bersama dengan kawan sejuang.
Berawal kisah, kita bertemu entah awalnya kapan, ku paksa diriku mengingatnya namun gagal ku tarik kembali kemasa lalu saat pertama kali kutatap senyummu juga perhatianku kalau itu.
Entahlah.... Hal yang menurutku sangat berarti namun tak dapat ku Selami dengan ingatan.
Huh.. Hanya saja, ada hal masih tersisa, tersisa sebagai bingkisan kenangan saat kau temuai aku di pojokan perempatan jalan, itupun, harus ku kuras segala memori di kepalaku dengan bantuan serbuk kopi yang di siram dengan air dengan temperatur tinggi, agar masa itu ku ingat dengan jelas agar, tak perlu ku diskusi denganmu tentang pertemuan yang paling berkesan.
aku tidak terlalu mengerti latar belakangmu juga intuisimu dengan pasti, namun kesimpulanku terlanjur memihak, bahwa kau adalah satu yang pernah ku temui dalam perjalananku dengan rasa.
Di atas gunung yang dingin tempat bersama langkahku mulai menarik secarik kertas juga balpoin yang ku sisipkan di daypack sebagai bekal selain tenda dan keperluan lain, agar aku bisa merias wajahmu di sudut cakrawala.
Aku seperti terjuntai di bait pertama, tanganku kaku, jemariku di ganggu hembus angin yang datang dari segala arah, begitu sakralnya namamu mengapa saat ku genggam pena cuaca meradang tiba-tiba.
Akhirnya, tak berselang lama aku berhasil menjatuh tinda di atas kertas yang ujungnya basah dan lembab juga di situlah awal mulanya huruf pertamamu ku sematkan dalam tulisan.
dingin dalam angan menepi dalam bayangan, rentetan kisah mulai ku selaraskan sebagai bekal saat engkau datang terendap dalam ingatan.
Kucoba membingkai dengan rapi saat-saat waktu ku lahap bersama mu, menyusuri kota, bermain dengan senja, mencuri jam istirahat agar dentingan irama waktu adalah segudang jejak rindu yang terdomentasi dengan camera juga perasaan.
Semua itu indah bukan..!? Ujarku, sembari memperbaiki kemiringan gelas kopi yang nyaris tertindih reruntuhan kenangan yang berlomba-lamba ingin ku sisipkan dalam bait pertengahan.
Aku mengela nafas sesekali, menghabiskan malam, menyalin lembaran-lembaran ingatan sembari memungut serpihan kerlip cahaya pada malam yang menuai tua.
Nampaknya, kita bukan bait panjang dalam narasi tuhan sesuai harapan, kiranya dengan dingin nya tatapanmu juga sentuhan tanganmu mulai melemah atau mungkin dalam langkah kita seseorang mengintip dalam bayangan bahwa kelak engkau datang setelah membuat jiwa mati sungguhan.
Segenap masa lalu mulai ku salahkan mengapa kita berpapasan dengan tak membawa rasa yang sama, rasa ku nikmati dengan ringkas seperti kilatan cahaya.
Oleh: Agus