Sumber lain datang dari tulisan Sri Bintang Pamungkas yang menceritakan mengenai Candi kidal di Malang yang padanya terdapat relief garudeya. Dalam ejaan sekarang disebut garuda. Berbicara mengenai relief dan candi, erat kaitannya dengan artefak peninggalan agama hindu dan budha. Adakah hubungan antara penggunaan istilah agama-agama pra Islam dalam upaya menghapus istilah-istilah khas yang datang dari Islam?
Hafidz Abdurrahman menilik bahwa penggunaan istilah sangat memainkan peranan yang penting dalam pemikiran ideologis. Itulah sebabnya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani begitu besar perhatiannya terhadap istilah hingga mengganti beberapa istilah dalam upaya menghindari kekaburan. Misal istilah “Majelis Syura” disubtitusi dengan “Majelis Ummat”. Kerena pengertian yang berkembang di masyarakat syura dimaknai sinonim dengan demokrasi. Itulah kemudian dapat diduga mengenai hermeneutika dan semiotika negara diambil dari tradisi hindu-budha untuk melimitasi potensi kebangkitan umat dengan tidak menggunakan terminologi Islam.
Tapi, esensi pembahasan dalam tulisan ini bukanlah burung garudanya. Tapi semboyan yang termaktub dalam cengkraman si burung garuda. Antara lain Bhinneka Tunggal Ika. Istilah ini ditemukan di dalam Sutasoma yang redaksi aslinya adalah bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
Konteks dari teks tersebut mengurai mengenai sinkretisme antara jina dan siwa. Antara Budha dan Hindu. Konon Budha dan Siwa merupakan dua entitas yang berbeda. Tapi kebenaran yang dikandungnya adalah tunggal. Dalam kajian postmodernisme, Bhinneka Tunggal Ika ini mirip dengan istilah pluralisme. Menolak pemikiran homologi. Lantas menawarkan pemikiran paralogi.
Tentu Soekarno memiliki andil yang sangat besar. Sebagaimana corak berpikir beliau agaknya mirip dengan HOS Cokroaminoto yang berpikir sinkretis. Lihat saja Nasakom ialah produk sinkretisme Soekarno. Bagaimanapun ideologi yang fondamennya berbeda mustahil untuk dipadukan. Sehingga Nasakom semacam bom waktu bagi Soekarno sendiri.
Bahayanya jika Bhinneka Tunggal Ika dimaknai sebagai sikap netral yang berdiri di semua pemikiran yang ada. Atau mencari konvergensi di seluruh aspek pemikiran. Hal ini akan menjadi kabur dan tidak jelas. Lalu menolak salah satu subtansi pemikiran yang positif. Sehingga ia tidak berwujud apa-apa. Inilah salah satu tragedi yang sekuler dan netral.
Jika demikian, bagaimana Bhinneka Tunggal Ika dapat dijadikan sebagai pijakan, jika bangunan epistemiknya kabur dan tidak jelas? Mestinya mengambil salah satu subtansi yang riel sebagai mesin penggerak.
Oleh sebab itu, sinkretisme Bhinneka Tunggal Ika yang dimaknai sebagai pluralisme tidaklah solutif dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Merelatifkan segala sesuatu justru akan berujung nihilisme. Lalu semua kebenaran dianggap relatif, atau mengadopsi prinsip pluralisme Cak Nur yang menganggap bahwa kebenaran mutlak hanyalah Tuhan. Sehingga semua agama adalah relatif. Malah yang terakhir tidak memiliki daya dorong sama sekali.
Karena agama yang dipercayai benar nyaris tidak memiliki konsekuensi sosial-ekonomi. Inilah bentuk lain dari sekuler atau yang dalam istilah Natsir disebut la diniyah. Lebih jauh Natsir berkomentar bahwa semua yang bergerak (relative) dan berubah harus memiliki dasar yang tetap. Mempunyai apa yang dinamakan dengan point of reference, titik tempat mengembalikan segala sesuatu. Di sinilah urgensi agama sebagai titik tolak.
Persoalan kemudian adalah ada banyak kepercayaan yang melembaga di dalam masyarakat. Opsi yang ditempuh pertama adalah aturan yang diambil untuk menyatukan keanekaragaman kepercayaan dengan membuat regulasi yang bukan pada intra di tiap agama. Inilah yang disebut dengan sekularisme.
Atau opsi yang kedua aturan yang diadopsi dari kesepakatan antar agama. Inilah yang disebut sinkretisme. Hal ini tampaknya menyelesaikan masalah, tapi justru ini yang paling bermasalah. Siapa yang dapat memberikan garansi tidak adanya dominasi satu sama lain? Ditambah dengan batas demokrasi kesepakatan antar agama yang kabur akan memicu konflik horizontal.
Dan inilah pilihan terakhir nan bijak dan solutif, aturan dari syariah. Dalam dimensi privat, non muslim tetap melaksankan ibadah sesuai dengan aturan agamanya. Pun dalam urusan publik syariah Islam meriayah masyarakat secara adil tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Supremasi hukum syariah ditegakkan tanpa pandang bulu.
Hal ini membuktikan bahwa kebinekaan masyarakat justru manunggal ketika Islam menjadi satu-satunya sumber dalam legislasi hukum. Dan akan terlaksana jika Institusi pelaksananya juga ditegakkan, yakni Khilafah ‘ala minhajin nubuwah.
Khatimah. Dalam Islam, sebagaimana eksplanasi dari Choirul Anam bahwa pluralitas sama sekali bukan masalah dalam syariah dan khilafah. Selama beratus-ratus tahun khilafah diterapkan pada masyarakat yang plural.
Ketika pertama kali daulah Islam ditegakkan di Madinah, entitas yang ada justru sangat plural. Antara lain Islam, Yahudi, Majusi dan seterusnya. Dan keanekaragaman agama dan kepercayaan tidak jadi masalah saat syariah Islam diterapkan di tengah masyarakat yang majemuk.
Penulis: Suljaris S.Hum (Mahasantri Sekolah Peradaban)