Pertemuan tersebut telah menuai kekecewaan berbagai pihak. Terutama bagi para pendukung kubu Prabowo-Sandi. “ Saya sangat kecewa dengan pak Prabowo bertemu dengan presiden yang dimenangkan dengan kecurangan, anggap bapak sebagai lambang perjuangan yang kuat, eh ternyata mengecewakan pendukungnya” kata Ecie Djoewito, salah satu pendukung prabowo-Sandi.
Pakar Media Sosial dan juga pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi menemukan sebanyak 97.900 orang atau 36 persen yang memberikan sentimen negatif ketika Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), Sabtu (13/7/2019) kemarin. Bahkan, banyak dari mereka yang kecewa melihat sikap Ketua Umum Partai Gerindra itu yang memilih bertemu Jokowi. Salah satu bentuk kekecewaan mereka terhadap Prabowo, sekitar 2.450 warganet membuat gerakan tagar #Kecewa, #Kamioposisi 1525 twit, dan #BoikotPrabowo sebanyak 1184 twit.
Kekecewaan juga dilontarkan oleh pelaksana tugas ketua PA 212, Asep Syarifudin yang menilai pertemuan tersebut merupakan bentuk pengkhianatan Prabowo, Ia menjelaskan, PA 212 dan sejumlah ulama pada Pilpres 2019 mendukung Prabowo – Sandiaga Uno karena dinilai bisa membela dan mengakomodasi kepentingan mereka. Sementara Jokowi, diidentifikasi oleh PA 212 dan kelompok semacamnya sebagai sosok yang anti-Ulama.
"Jadi, kalau Prabowo berkomunikasi (dengan Jokowi), menurut saya ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap aspirasi umat dan rakyat," ungkap Asep. (Suara.com)
Sejak dahulu praktek politik demokrasi-kapitalistik menggunakan pakem : “Tak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi”. Begitulah persoalan Negeri ini yang begitu kompleks tapi tidak ada satupun yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, malainkan hanya memperkuat kepentingannya.
Memang, hal ini akan terus terjadi di sistem demokrasi saat ini. Dimana kekuasaan tak lagi bertujuan demi kepentingan dan kemaslahatan umat, tapi sekedar bertujuan untuk meraih kepentingan kelompok, partai dan tentu saja sponsor. Seperti yang kita ketahui ketika suatu partai politik menduduki kursi kekuasaan tentu didukung oleh para sponsor yakni pengusaha dibelakannya, maka tak heran ketika mereka memegang dan mengatur kekuasaan maka kebijakan yang dibuat hanya demi kepentingan pribadi, partai dan sponsor.
Maka sudah saatnya umat berhenti berharap pada demokrasi karena demokrasi hanya menjadikan umat Islam dan isu-isu Islam sebagai kuda tunggangan para pemburu kekuasaan. Lantas apa agenda umat selanjutnya? Apakah perjuangan umat harus kandas di tengah jalan? Atau menunggu datang pemilu mendatang? Atau mencampakkan demokrasi? Dan memperjuangkan tegaknya Islam sesuai metode Rasulullah saw?
Yakinlah kaum Muslimin, Demokrasi memang tak didesain untuk perubahan. Masuk ke dalam demokrasi seperti menjebur ke dalam kolam. Sebagaimana kata Mahfud MD: Malaikat pun jika masuk ke dalam sistem demokrasi bisa menjadi iblis. Jika umat tak ingin kecewa untuk kesekian kalinya, maka jadikanlah Rasulullah saw sebagai teladan dalam berjuang. Menjadikan Islam sebagai ideologi dan menggalang dukungan tokoh umat khususnya para pemilik kekuatan untuk menerapkan Islam secara totalitas.
Marilah berkaca pada kisah pembesar Quraisy menawarkan Rekonsiliasi pada Rasulullah SAW. Melalui Abu Thalib, Mereka menawarkan Wanita, Harta, dan Tahta pada Rasulullah. Sebagai imbalan agar berhenti memperjuangkan Islam. Tak perlu waktu lama bagi Rasul untuk menimbang. Beliau langsung menjawab;
"Andai mereka bisa meletakkan Matahari di Tangan kananku dan Bulan di Tangan kiriku, demi Allah aku tidak akan berhenti dari urusan ini, sampai Allah memenangkanku, atau aku Binasa karenanya"
Itulah yang disampaikan oleh Rasulullah saw ketika kafir Quraisy mengajak untuk rekonsiliasi melalui Abu Thalib. Agar berhenti memperjuangkan Islam dengan menawarkan harta, tahta dan wanita. Dalam hal ini penting untuk bersabar dan konsisten dalam perjuangan menegakkan Islam. Umat Islam lanjutkan perjuangan. Allahu Akbar.
Penulis: St. Nurwahyu