Bila ada yang berkata demikian, saya kemudian teringat dengan perkataan seorang Dosen, bahwa mahasiswa yang menolak kemampuan critical thingkingnya, dan lebih banyak mengambil langkah apatis, serupa dengan mahasiswa tradisional. Namun tulisan ini tak pernah dibuat untuk menantang dan berlagak lebih pandai, melainkan upaya analisis untuk menyuarakan pendapat semata. Sehingga yang ditawarkan adalah ajakan berpikir rasional sesama masyarakat biasa.
Terkait permasalahan khusus sampah ini, agak-agaknya lucu. Persis perkara Impor-impor yang lalu, seperti garam, bawang putih, dan barang-barang lainnya yang anehnya kebetulan berbarengan dengan masa panen rakyat. Sampah pun demikian. Kira-kira apa yang memotivasi pemerintah mengimpor sampah ke negeri ini. Padahal, sampah di tanah sendiri menggunung dan belum mampu dikelola dengan bijak berikut regulasi hukumnya.
Bukankah Indonesia menempati titik kedua posisi penyumbang sampah plastik kedua di Dunia setelah China? Bukankah ada banyak sekali tanah yang rusak akibat pencemaran sampah? Ingatkah kita dengan penyu-penyu yang mati lantaran memakan sampah yang sudah merendam laut, dimana mereka sering mengira itu adalah ubur-ubur? Ternak-ternak beralih favorit makanan kepada sampah yang ia temukan di mana-mana. Apabila sebegitu mengerikannya fenomena sampah di negeri ini, mengapa mengimpor sampah?
Oh rupanya, ini berawal dari kebijakan Negara Cina. Cina merupakan produsen pengolahan sampah daur ulang terbesar di Dunia. Namun ia menghentikan impor sampah dari AS dan Eropa sejak 2017. Padahal ia merupakan produsen manufaktur penjual produk dalam kemasan ke Negara maju, dan AS hingga Eropa sebagai importit produk konsumsi akan mengirim balik sampahnya ke Cina.
Bisa dibayangkan ketika Cina menolak menrima sampah Negara maju untuk diolah, tentu Negara maju harus mencari pembeli sampah baru. Negara Asia Tenggara pun menjadi tujuan sampah-sampah impor itu, termasuk Indonesia.
Sebenarnya Indonesia memang mengimpor bahan baku industry kertas, katanya lebih bersih dan aman. Sebab, bahan ini pun dibutuhkan untuk pembuatan kertas, akan tetapi justru diselundukan sampah berbahaya lainnya.
Berdasarkan keterangan Ditgen Bea Cukai yang diterima Kumparan Senin 17 Juni lalu, ketika dicek ulang, oleh tim Bea Cukai. Kontainer yang datang membawa sampah tak sesuai dengan ketentuan. Kontainer itu berisi campuran sampah rumah tangga yang mengandung bahan berbahaya, mulai dari kemasan minyak goreng, plastik, botol bekas infuse, sepatu bekas, kemasan oli, dan lain-lain (Kumparan.com).
Tak hanya di Indonesia, rupanya serbuan sampah plastik impor ini juga terjadi di beberapa Negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, hingga Vietnam. Akan tetapi, Malaysia telah menolak dan mengirim balik 3.000 ton sampah plastik dan mayoritas berkualitas buruk. Thailand pun 2021 akan melarang impor sampah plastik. Vietnam juga mengekor langkah Thailand. Indonesia juga rupanya telah mengirim balik 5 Kontainer sampah Amerika Serikat.
Dari fenomena saling lempar sampah antar Negara ini tentu membuat kita bergidik ngeri. Pengambilan keputusan oleh Cina yang membuat runyam persoalan pengelolaan sampah memberikan signal-signal buruk pengelolaan negeri ala Kapitalis. Tidakkah ada wibawa Negeri kita hingga dengan lancang Negara luar mengirimkan bahan materil sampah pembuangan yang berbahaya? Bertemunya sistem Kapitalis yang rusak dengan lemahnya kebijakan dan peraturan yang ada, dapat memperburuk suasana dan masyarakatnya sewaktu-waktu.
Apalagi seolah-olah tidak ada integritas dari para penguasa dan pejabat publik dalam menjalankan amanah terkait hal ini. Padahal pengamat lingkungan hidup sudah mendesak pemerintah untuk menghentikan impor sampah karena sejak 2015 para peneliti mendapati bahwa Indoneia merupakan Negara pencemar laut dunia. Ini berarti kebijakan mengelola sampah dalam negeri saja belum dapat ditanggulangi, maka berhentilah dulu mengimpor dari negeri orang.
Bila sistem sudah demikian mempersulit, dan entah kepada siapa masyarakat hendak mengadu. Wajarlah bila mengharap kepemimpinan tinggi yang mengatur urusan manusia sedetail mungkin lagi memakmurkan. Islam sebagai pandangan hidup, mesti diadopsi dalam kehidupan nyata baik secara hukum maupun normanya.
Sebab Islam memperhatikan segala dimensi kehidupan manusia, dan menjelaskan jalan menuju keberkahan. Apalagi persoalan kerja sama dengan Negara luar dan kebijakan cukai, hingga perkara kesejahteraan umat. Tak salah bila kita mengharap pada yang pasti kebenaran dan keagungannya. Yaitu Aturan Islam dalam naungan khilafah. Aamiin. Apalagi jikalau hanya urusan sampah….(*).
Penulis: Arinda Nurul Widyaningrum, (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)