Sistem zonasi merupakan sistem yang dibangun pemerintah agar penerimaan calon siswa baru tidak menekankan pada nilai saja. sistem zonasi lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah calon peserta didik dengan sekolah.
Dasar aturan sistem zonasi adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 51 tahun 2018, dimana sekolah wajib menerima calon peserta didik dengan kuota paling sedikit 90% berdomisili radius zona terdekat dari jarak rumah ke sekolah.
Mendikbud juga menambahkan bahwa kebijakan zonasi ini untuk membenahi standar nasional Pendidikan.
“Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi,” kata Mendikbud dilansir dari Antara, Selasa (18/6/2019). https://m.liputan6.com.id (19/6/2019)
Zonasi Solusi atau Masalah?
Penerapan kebijakan zonasi ini merupakan niat baik pemerintah, sebagaimana yang disampaikan Mendikbud Muhadjir Effendy, menyebutkan bahwa, sistem zonasi akan mempercepat pemerataan kualitas Pendidikan di Indonesia. Selain itu diharapakan setiap sekolah harus mendapatkan guru dengan kualitas yang baik tanpa adanya perbedaan signifikan antar sekolah. Sistem zonasi ini juga menetapkan rotasi guru di dalam zonasi sesuai dengan amanat Undang-Undang.Namun demikian, niat baik pemerintah ini kurang mendapat sambutan baik dari masyarakat khususnya orang tua siswa, maupun pihak sekolah yang belum siap, karena sistem zonasi ini menimbulkan masalah dibeberapa wilayah antara lain adanya calon siswa yang terakomodasi, sehingga tak dapat mendaftar di sekolah manapun, masih ada sekolah kekuranga siswa, terutama sekolah dengan akses sosial minim, tidak semua wilayah permukiman penduduk ada sekolah negeri, kekecewaan orang tua peserta didik baru yang dilampiaskan dengan demo, penyegelan Gedung sekolah, minat belajar siswa dan dorongan belajar dari orang tua kurang karena tidak ada lagi persaingan nilai antar PPDB, standarisasi Pendidikan, infrastruktur sarana dan prasarana yang tidak merata dan sebagainya.
Carut marutnya sistem pendidikan di negeri ini bukan sekedar permasalahan sistem zonasi saja, melainkan mengenai perhatian dan tanggungjawab negara dalam mewujudkan sistem Pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat. Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah gagal mewujudkan Pendidikan bermutu, karena minimnya tanggungjawab pemerintah terhadap hak-hak rakyat. Sehingga harapan akan terpenuhinya hak pendidikan yang adil dan berkualitas yang not bene merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya mustahil bisa terwujud jika sistem Pendidikan di negeri ini masih di jalankan dengan sistem kapitalistik.
Dalam kapitalisme, setiap kebijakan diatur berdasarkan pertimbangan untung dan rugi. Apapun yang tidak menguntungkan bagi penguasa, meskipun itu terkait dengan masa depan anak bangsa, maka akan sulit terealisasi. Misalnya anak-anaknya yang tidak diterima di sekolah negeri atau PT negeri maka mau tidak mau mereka mengambil alternatif sekolah swasta yang berbiaya tinggi dengan fasilitas memadai atau sebaliknya, sementara kemampuan ekonomi orang tua terbatas. Atau sekolah swasta dengan fasilitas minim dengan biaya rendah, bisa dibayangkan bagaimana nasib generasi kita. Inilah yang dikatakan pembodohan masal. Kondisi ini jelas akan memuluskan keinginan pemerintah untuk mengimpor guru atau dosen dari luar negeri karena adanya anggapan SDM (guru) kurang berkualitas, padahal tidak berkualitasnya SDM ini disebabkan kebijakan pemerintah. Pertanyaannya siapa yang diuntungkan?
Solusi Islam
Penyelesaian problem Pendidikan yang mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma Pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Lalu kelemahan fungsional yang tercermin dari kacaunya kurikulum dapat diperbaiki dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.Dalam Islam pembiayaan Pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan Pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana Pendidikan dibuka dan dibangun sesuai dengan jumlah peserta didik dengan standarisasi yang sama, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya dalam Islam Pendidikan disediakan secara gratis oleh negara.
Hal ini dikarenakan, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat yaitu Pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dan ketiga kebutuhan ini dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu (sandang, papan, dan pangan) yang dijamin secara tidak langsung oleh negara.
Sebagaimana hadits Rasulullah saw:
“Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggungjawab atas gembalaannya itu” (HR. Muslim).
Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para Khalifah yang menyediakan Pendidikan gratis bagi rakyatnya. Khalifah membangun berbagai perguruan tinggi antara lain Madrasah Muntanshiriyah yang didirikan oleh Khalifah al-Mustanshir dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan juga dilengkapi pemandian.
Meskipun Pendidikan merupakan tanggung jawab sepenuhnya oleh negara, bukan berarti rakyat yang memiliki kemampuan atau kaya tidak boleh berperan serta dalam Pendidikan. Mereka boleh membangun sekolah dan universitas.
Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh Pendidikan formal yang gratis dari negara. Adapun melalui wakaf dari orang kaya, rakyat akan memperoleh Pendidikan non-formal yang juga gratis atau murah bagi rakyat. Orang tua maupun siswa tidak harus risau untuk memilih sekolah atau datang jam 04.00 subuh hanya antre untuk mendapatkan kartu agar diterima di sekolah yang dituju. Karena semua sekolah dalam negara Islam memiliki standarisasi yang sama.
Negara Islam tidak hanya berkewajiban menyediakan Pendidikan yang bebas biaya, akan tetapi juga berkewajiban bertindak sebagai penyelenggara sistem pendidikan yang berkualitas, dengan asas pendidikannya adalah aqidah Islam dan tujuan pendidikannya diartikan sebagai kondisi ideal yang akan dicapai peserta didik yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam, menguasai ilmu kehidupan berupa sains, teknologi, dan seni, yang selalu menyelesaikan masalah kehidupannya sesuai dengan Syariah Islam. Wallah a’alam bi ash-shawab.
Penulis: Darni Sanari, SH.