Identitas terpidana kasus pencabulan tersebut yakni Muhamad Aris (20), warga Desa Mengelo, Kecamatan Suko, Kabupaten Mojokerto. Dia ditangkap Satreskrim Polres Mojokerto Kota pada Oktober 2018 setelah aksi bejatnya mencabuli korban terekam CCTV di Kelurahan Surodinawan, Kecamatan Prajurit Kulon. Hasil penyelidikan, korban pelaku bukan hanya satu orang namun mencapai sembilan gadis di bawah umur.
“Jadi perkara ini sudah diputus Pengadilan Negeri Mojokerto dan diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Yang pada intinya dijatuhkan pidana penjara 12 tahun dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain pidana tersebut, ada pidana tambahan yaitu kebiri kimia,” ujar Kasi Intel Kejaksaan Negeri Mojokerto Nugroho Wisnu, Senin (26/8/2019).
Kasus serupa ditahun 2015 lalu Neil Bantleman, guru Jakarta International School (JIS) yang menjadi terdakwa dalam kasus pelecehan seksual saat menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis,(2/4/2015). Setelah menjalani hukuman penjara selama kurang lebih 4 tahun, kemudian Neil bebas pada 21 Juni 2019. Ia dibebaskan karena mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 13/G tahun 2019 tanggal 19 juni 2019. ( kompas.com)
Maraknya predaktor seksual pada anak-anak dibawah umur yang semakin menjamur di tengah masyarakat, tentu hal ini membawa keresahan bagi orang tua. Selain itu hal ini pula membawa dampak psikologis pada diri sang anak yang tidak menutup kemungkinan akan melakukan hal yang sama sebagai tindakan "balas dendam" dikemudian hari.
Sebagaimana ungkapan Ihsan Gumilar, peneliti dan dosen Psikologi Pengambilan Keputusan menjelaskan, yaitu berawal dari korban (abused) pelecehan semasa kecil, lalu tumbuh dewasa jadi orang yang memakan korban (abuser). Terlebih lagi adanya kontrol hukum yang kurang tegas dalam meminimalisir kejahatan seksual tersebut sehingga semakin memberi ruang gerak kepada pelaku tindak asusila ini.
Walhasil, tingkat kejahatan seksual pada anak pun semakin menjamur dilingkungan sekolah, rumah maupun di lingkungan sekitar. Hal ini diperkuat dalam data KPAI yang menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada tahun 2015 kemudian meningkat menjadi 120 kasus pada tahun 2016. Sementara pada tahun 2017 tercatat 116 kasus. Wara-wirinya predator seksual yang mengintai anak-anak dibawah umur selain kurangnya ketegasan hukum hanya memberikan hukuman penjara serta denda, hal ini pun tak lain adanya penerapan sistem sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Istilah sekularisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1846 oleh George Jacub Holyoake yang menyatakan bahwa schularism is an ethical system pounded on the principle of natural morality and in independent of reveald religion or supernaturalism. (sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supernaturalisme).
Sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashl ad-dîn ‘an al-hayâh). Sekularisme menjadi asas bagi liberalisme yang diwujudkan dalam hak asasi manusia (HAM), berupa kebebasan berperilaku (freedom of behavior) dan berpendapat (freedom of speech).
Sekulerisme inilah yang meniadakan peran agama dalam kehidupan sehingga seseorang kerap melakukan tindakan kriminalitas tanpa memandang hukum syara. Selain itu pula adanya peran negara sebagai fasilitator yang memfasilitasi aksi dari predator seksual tersebut serta kurang tersedianya lapangan kerja bagi laki-laki dan memaksa peran seorang ibu keluar dari rumah untuk bekerja sehingga sang anak pun terlepas dari jangkauan orang tua.
Faktor-faktor Pemicu
Selain adanya peran sistem yang rusak terhadap predator seksual, adapun faktor-faktor penunjang para predator seksual ini dalam melancarkan aksinya yaitu; Pertama, ketersediaannya sumber informasi maupun perkembangan teknologi yang memudahkan seseorang untuk mengakses situs-situs porno.
Sejatinya, penggunaan teknologi dna informasi sah-sah saja untuk digunakan dan diambil tetapi dengan catatan penggunaan tersebut harus di filter dengan tidak mengakses situs-situs pornografi. Dan hal ini haruslah ada peran negara yang mengontrol dan memblokir situs porno tersebut yang acap kali membangkitkan syahwat bukan pada tempatnya.
Kedua, adanya faktor lingkungan yang mendukung mereka untuk melakukan tindakan asusila tersebut. Lingkungan juga kerap memberikan ruang bagi seseorang untuk melakukan pelecehan seksual, seperti adanya interaksi yang memicu dan membangkitkan rangsangan.
Ketiga, lingkungan keluarga yang jauh dari pemahaman islam yang menyebabkan rusaknya aqidah sehingga tidak terikatnya dengan hukum syara yang menyebabkan seseorang tersebut pernah mengalami tindakan asusila yang serupa sehingga ketika dewasa ia pun melakukan hal yang sama sebagai pelampiasan.
Faktor-faktor inilah yang dibawa oleh paham sekulerisme yang kerap memberi ruang gerak yang sebebas-bebasnya kepada seseorang dalam melakukan tindakan kriminalitas. Maka fungsi negara seharusnya menutup ruang gerak tersebut dengan meniadakan sistem sekulerisme. Sebab negara memiliki kewajiban bagi masyarakat untuk memberi perlindungan serta rasa nyaman.
Islam memandang tindak predator seksual sebagai kejahatan berat, maka hukuman kebiri bukanlah solusi yang pas untuk memberi efek jera kepada pelaku pedofil sebab kebiri di dalam islam sendiri merupakan suatu tindakan yang haram.
Dalil haramnya pengebirian pada manusia adalah hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah saw terhadap pengebirian. Dari Sa'ad bin Abi Waqqash ra, dia berkata: Rasulullah saw telah menolak Utsman bin Mazh'un ra untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah saw mengizinkan Utsman bin Mazh'un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian. (HR Bukhari no 5073; Muslim no 3390)
Maka dalam hal ini islam memiliki sanksi tegas yang mampu memberi efek jera kepada pelaku pedofilia/pencabulan pada anak. Dengan penerapan aturan dan sanksi yang tegas akan menjadi pencegah agar tak ada individu yang berani elakukan kekerasan seksual pada anak. Sistem sanksi dalam islam menetapkan pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam bila sudah menikah. Penyodomi dibunuh. Termasuk juga melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai denda 1/3 dari 100 ekor unta, atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina (Abdurrahman Al Maliki, 1990, hal 214-238).
Penulsi: Hamsina Halisi Alfatih