Lorong Kata - Siapa yang tidak kenal Papua, Bumi Cenderawasih berhias wisata pantai dengan pesona sumber daya alam (SDA) yang begitu ‘seksi’. Melirik sektor pertambangan saja, Papua menyimpan harta karun berupa 2,5 milyar ton batu biji emas dan tembaga. Objek wisatanya yang masyhur di jagad internasional bukan hanya Raja Ampat, tetapi juga terdapat berbagai Taman Nasional dan Pegunungan yang tidak kalah memesona. Indonesia adalah negara yang sangat beruntung karena memiliki Papua sebagai bagian dari wilayah kesatuannya.
Namun sayang, bersama sejuta pesonanya ternyata Papua hendak ‘mengibarkan’ benderanya sendiri. Terbukti dengan puluhan mahasiswa Papua yang kembali menuntut pemisahan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui pengibaran Bendera Bintang Kejora saat berunjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka, Jakarta (28/8).
Seorang orator dari peserta unjuk rasa sempat meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menemui massa untuk merespon permintaan referendum bagi rakyat Papua. Massa unjuk rasa melalui pernyataan resminya juga menolak perpanjang Otonomi Khusus di Papua dan menginginkan pemerintah Indonesia memberikan hak bagi Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Disintegrasi Papua, Mengapa?
Keinginan Papua memisahkan diri dari otoritas pemerintah Indonesia sebenarnya telah ada sejak pertamakali wilayahnya terintegrasi di bawah Bendera Merah Putih. Kelompok yang terkenal paling vokal menyuarakan aspirasi tersebut adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang didirikan pada tahun 1965.
Pergolakan yang timbul antara aktivis OPM dan pemerintah Indonesia tidak terlepas dari rencana licik pemerintah kolonial Belanda yang sesungguhnya tidak rela membebaskan Papua dari penjajahannya. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda termasuk memantik semangat nasionalisme masyarakat Papua yang dianggap berhak untuk berdiri di bawah kaki sendiri tanpa harus tergabung dengan NKRI.
Bagi mereka yang menerawang secara mendalam terkait polemik disintegrasi Papua, maka akan menemukan bahwa hal ini merupakan masalah dengan multi kausa. Provinsi yang terletak di ujung paling Timur Indonesia ini menyimpan deretan pilu yang telah menjadi catatan merah perjalanan sejarah Indonesia. Kondisi masyarakat Papua sangat tidak layak untuk disebut sejahtera, padahal tanahnya bermandikan logam mulia. Tambang emas yang dikelola PT. Freeport Mc Moran pada faktanya tidak membuat rakyat Papua bahagia, sebaliknya hanya menambah penderitaan mereka.
Persoalan pemerataan infrastruktur dan pelayanan publik juga tidak memiliki pengaruh membekas terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, sehingga membuat mereka semakin muak dan ‘memanas’. Pembangunan infrastruktur secara masif di era Presiden Jokowi juga tidak berhasil membuat masyarakat Papua tersenyum bangga. Mereka mengeluh dengan infrastruktur yang hanya dinikmati segelintir orang bahkan sekadar menjadi katalis kekuasaan asing untuk mengeksplor SDA yang ada di sana.
Diskriminasi yang kerap dilakukan oleh kelompok atau oknum tertentu kepada suku Melanesia Papua semakin memicu perpecahan dan mengobarkan semangat kesukuan dalam dada mereka. Akhirnya mereka merasa semakin asing dan bukan bagian dari Indonesia yang mayoritas suku Melayu. Hal ini terindikasi dari tuntutan pengunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta (28/8) bahwa rasialisme masyarakat Papua harus dihentikan dan aparat TNI/Polri yang menjadi provokator agar dipecat dari jabatannya. Namun, tindakan dari penguasa terkesan lemah dan lambat tanggap. Papua pun kehilangan banyak alasan untuk bertahan dalam dekapan NKRI sehingga mencuatlah tuntutan ingin pisah via referendum.
Tuntutan masyarakat Papua pada dasarnya juga tidak dapat dipisahkan dengan adanya intervensi asing. Gerakan papua merdeka disinyalir telah ‘ditunggangi’ oleh pihak asing dengan adanya upaya internasionalisasi persoalan tersebut. Pengamat Internasional Papua Victor Kaisiepo dalam Kongres Rakyat Papua II tahun 2000, mengungkapkan pentingnya melibatkan PBB dalam mewujudkan Papua Merdeka.
Sejak era reformasi pasca kongres tersebut, kelompok yang pro kemerdekaan Papua banyak melakukan lobi dengan negara-negara lain untuk mendapatkan dukungan kemerdekaan secara diplomatik. Usaha mereka membuahkan hasil, dua negara Pasifik yakni Vanuatu dan Nauru mendukung secara terbuka Kemerdekaan Papua dari Indonesia.
Negara Pasifik lain seperti Fiji dan Afrika juga memberikan dukungan yang masih bersifat tersembunyi. Tahun 2011 kembali digelar Kongres Papua III di bawah pimpinan Forkors Yaboisembut yang mendeklarasikan Negara Papua Merdeka sekaligus membentuk Pemerintahan Transisi Negara Papua Merdeka, tetapi kemudian dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian karena dianggap makar.
Papua Jatuh ‘Talak’, Siapa yang Diuntungkan?
Dinamika pergerakan kelompok pro Papua merdeka menunjukkan keseriusan mereka untuk merebut bumi cenderawasih dari pelukan Indonesia. Dukungan dari negara-negara Kapitalis global khususnya Amerika Serikat melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun semakin besar. Hal ini sangat wajar mengingat hasrat berkuasa atas potensi bumi cenderawasih yang begitu menggiurkan. Tentu jika Papua sampai jatuh ‘talak’ akan semakin memuluskan langkah mereka menguasainya.
OPM hanya terlihat sebagai batu loncatan untuk menggapai tujuan mereka, mengingat kelompok ini cenderung memiliki sistem kepimpinanan yang masih labil dan mudah ‘ditaklukkan’. Apabila mimpi Papua terlepas dari Indonesia menjadi kenyataan, maka sangat besar kemungkinan intervensi asing semakin menguat. Umpama anak ayam kehilangan induknya, negara Papua yang kelak lahir hanya akan menjadi korban neoimperalisme Barat dan sekutunya.
Saatnya Bersatu untuk Mempertahankan Papua
Disadari atau tidak, tuntutan pemisahan Papua sesungguhnya adalah ancaman besar bagi NKRI. Kehilangan Papua akan menjadi retakan sempurna yang imbasnya semakin melemahkan kedaulatan negeri ini. Harusnya masyarakat Papua juga menyadari bahwa terpisah dari Indonesia sama saja menyerahkan ‘nyawa’ mereka kepada negara Barat penjajah. Namun, rasa kecewa masyarakat Papua akan lemahnya peran negara dalam mengurus mereka seolah memberikan alasan bahwa tidak ada pilihan lain selain disintegrasi. Jika sudah begini, adakah solusi lain?
Islam sebagai sebuah agama dan ideologi memiliki pandangan yang unik terkait persoalan disintegrasi Papua. Islam memandang bahwa persatuan adalah sebuah kewajiban dan haram berpecah-belah (QS. Ali Imran: 103). Oleh karena itu mempertahankan Papua agar tidak lepas adalah kewajiban, khususnya bagi pemimpin negara. Dalam sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, pemimpin diposisikan sebagai perisai dan pemelihara urusan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan tanpa pilih kasih. Negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan Islam tidak akan ditelantarkan, apalagi didiskriminasi atas nama suku atau ras. Dari segi pembangunan infrastruktur pun tidak ditujukan untuk melanggengkan eksploitasi SDA oleh pihak asing, melainkan untuk mendukung aktivitas masyarakat.
Dari sini kita bisa melihat bahwa tumpukan keluhan Papua yang berbuah tuntutan disintegrasi hanyalah permasalahan cabang. Akar permasalahannya adalah pengurusan masyarakat Papua yang tidak becus oleh penguasa. Hal yang lumrah dalam sistem Demokrasi-Kapitalisme.
Sudah sepatutnya sistem tersebut dibuang ke tong sampah peradaban, kemudian menggantinya dengan aturan Islam yang telah terbukti selama kurang lebih 13 abad menorehkan kesejahteraan tiada tara. Sistem tunggal yang diridhai Allah Subhanahu wa ta’ala, yang akan mempertahankan serta melindungi setiap jengkal wilayahnya dari keserakahan negara penjajah, bahkan mampu membentangkan sayap kekuasaannya dalam kurun waktu yang cukup singkat.
Sebagaimana di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab yang berhasil merangkul wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh imperium Romawi dan Persia. Hanya dalam kurun waktu 10 tahun wilayah kekuasaannya membentang dari Madinah menuju Irak, juga Damaskus dan Alexandria. Itulah bukti keseriusan seorang pemimpin dalam mengurus negaranya. Wallahua”lam.
Namun sayang, bersama sejuta pesonanya ternyata Papua hendak ‘mengibarkan’ benderanya sendiri. Terbukti dengan puluhan mahasiswa Papua yang kembali menuntut pemisahan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui pengibaran Bendera Bintang Kejora saat berunjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka, Jakarta (28/8).
Seorang orator dari peserta unjuk rasa sempat meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menemui massa untuk merespon permintaan referendum bagi rakyat Papua. Massa unjuk rasa melalui pernyataan resminya juga menolak perpanjang Otonomi Khusus di Papua dan menginginkan pemerintah Indonesia memberikan hak bagi Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Disintegrasi Papua, Mengapa?
Keinginan Papua memisahkan diri dari otoritas pemerintah Indonesia sebenarnya telah ada sejak pertamakali wilayahnya terintegrasi di bawah Bendera Merah Putih. Kelompok yang terkenal paling vokal menyuarakan aspirasi tersebut adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang didirikan pada tahun 1965.
Pergolakan yang timbul antara aktivis OPM dan pemerintah Indonesia tidak terlepas dari rencana licik pemerintah kolonial Belanda yang sesungguhnya tidak rela membebaskan Papua dari penjajahannya. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda termasuk memantik semangat nasionalisme masyarakat Papua yang dianggap berhak untuk berdiri di bawah kaki sendiri tanpa harus tergabung dengan NKRI.
Bagi mereka yang menerawang secara mendalam terkait polemik disintegrasi Papua, maka akan menemukan bahwa hal ini merupakan masalah dengan multi kausa. Provinsi yang terletak di ujung paling Timur Indonesia ini menyimpan deretan pilu yang telah menjadi catatan merah perjalanan sejarah Indonesia. Kondisi masyarakat Papua sangat tidak layak untuk disebut sejahtera, padahal tanahnya bermandikan logam mulia. Tambang emas yang dikelola PT. Freeport Mc Moran pada faktanya tidak membuat rakyat Papua bahagia, sebaliknya hanya menambah penderitaan mereka.
Persoalan pemerataan infrastruktur dan pelayanan publik juga tidak memiliki pengaruh membekas terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, sehingga membuat mereka semakin muak dan ‘memanas’. Pembangunan infrastruktur secara masif di era Presiden Jokowi juga tidak berhasil membuat masyarakat Papua tersenyum bangga. Mereka mengeluh dengan infrastruktur yang hanya dinikmati segelintir orang bahkan sekadar menjadi katalis kekuasaan asing untuk mengeksplor SDA yang ada di sana.
Diskriminasi yang kerap dilakukan oleh kelompok atau oknum tertentu kepada suku Melanesia Papua semakin memicu perpecahan dan mengobarkan semangat kesukuan dalam dada mereka. Akhirnya mereka merasa semakin asing dan bukan bagian dari Indonesia yang mayoritas suku Melayu. Hal ini terindikasi dari tuntutan pengunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta (28/8) bahwa rasialisme masyarakat Papua harus dihentikan dan aparat TNI/Polri yang menjadi provokator agar dipecat dari jabatannya. Namun, tindakan dari penguasa terkesan lemah dan lambat tanggap. Papua pun kehilangan banyak alasan untuk bertahan dalam dekapan NKRI sehingga mencuatlah tuntutan ingin pisah via referendum.
Tuntutan masyarakat Papua pada dasarnya juga tidak dapat dipisahkan dengan adanya intervensi asing. Gerakan papua merdeka disinyalir telah ‘ditunggangi’ oleh pihak asing dengan adanya upaya internasionalisasi persoalan tersebut. Pengamat Internasional Papua Victor Kaisiepo dalam Kongres Rakyat Papua II tahun 2000, mengungkapkan pentingnya melibatkan PBB dalam mewujudkan Papua Merdeka.
Sejak era reformasi pasca kongres tersebut, kelompok yang pro kemerdekaan Papua banyak melakukan lobi dengan negara-negara lain untuk mendapatkan dukungan kemerdekaan secara diplomatik. Usaha mereka membuahkan hasil, dua negara Pasifik yakni Vanuatu dan Nauru mendukung secara terbuka Kemerdekaan Papua dari Indonesia.
Negara Pasifik lain seperti Fiji dan Afrika juga memberikan dukungan yang masih bersifat tersembunyi. Tahun 2011 kembali digelar Kongres Papua III di bawah pimpinan Forkors Yaboisembut yang mendeklarasikan Negara Papua Merdeka sekaligus membentuk Pemerintahan Transisi Negara Papua Merdeka, tetapi kemudian dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian karena dianggap makar.
Papua Jatuh ‘Talak’, Siapa yang Diuntungkan?
Dinamika pergerakan kelompok pro Papua merdeka menunjukkan keseriusan mereka untuk merebut bumi cenderawasih dari pelukan Indonesia. Dukungan dari negara-negara Kapitalis global khususnya Amerika Serikat melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun semakin besar. Hal ini sangat wajar mengingat hasrat berkuasa atas potensi bumi cenderawasih yang begitu menggiurkan. Tentu jika Papua sampai jatuh ‘talak’ akan semakin memuluskan langkah mereka menguasainya.
OPM hanya terlihat sebagai batu loncatan untuk menggapai tujuan mereka, mengingat kelompok ini cenderung memiliki sistem kepimpinanan yang masih labil dan mudah ‘ditaklukkan’. Apabila mimpi Papua terlepas dari Indonesia menjadi kenyataan, maka sangat besar kemungkinan intervensi asing semakin menguat. Umpama anak ayam kehilangan induknya, negara Papua yang kelak lahir hanya akan menjadi korban neoimperalisme Barat dan sekutunya.
Saatnya Bersatu untuk Mempertahankan Papua
Disadari atau tidak, tuntutan pemisahan Papua sesungguhnya adalah ancaman besar bagi NKRI. Kehilangan Papua akan menjadi retakan sempurna yang imbasnya semakin melemahkan kedaulatan negeri ini. Harusnya masyarakat Papua juga menyadari bahwa terpisah dari Indonesia sama saja menyerahkan ‘nyawa’ mereka kepada negara Barat penjajah. Namun, rasa kecewa masyarakat Papua akan lemahnya peran negara dalam mengurus mereka seolah memberikan alasan bahwa tidak ada pilihan lain selain disintegrasi. Jika sudah begini, adakah solusi lain?
Islam sebagai sebuah agama dan ideologi memiliki pandangan yang unik terkait persoalan disintegrasi Papua. Islam memandang bahwa persatuan adalah sebuah kewajiban dan haram berpecah-belah (QS. Ali Imran: 103). Oleh karena itu mempertahankan Papua agar tidak lepas adalah kewajiban, khususnya bagi pemimpin negara. Dalam sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, pemimpin diposisikan sebagai perisai dan pemelihara urusan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan tanpa pilih kasih. Negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan Islam tidak akan ditelantarkan, apalagi didiskriminasi atas nama suku atau ras. Dari segi pembangunan infrastruktur pun tidak ditujukan untuk melanggengkan eksploitasi SDA oleh pihak asing, melainkan untuk mendukung aktivitas masyarakat.
Dari sini kita bisa melihat bahwa tumpukan keluhan Papua yang berbuah tuntutan disintegrasi hanyalah permasalahan cabang. Akar permasalahannya adalah pengurusan masyarakat Papua yang tidak becus oleh penguasa. Hal yang lumrah dalam sistem Demokrasi-Kapitalisme.
Sudah sepatutnya sistem tersebut dibuang ke tong sampah peradaban, kemudian menggantinya dengan aturan Islam yang telah terbukti selama kurang lebih 13 abad menorehkan kesejahteraan tiada tara. Sistem tunggal yang diridhai Allah Subhanahu wa ta’ala, yang akan mempertahankan serta melindungi setiap jengkal wilayahnya dari keserakahan negara penjajah, bahkan mampu membentangkan sayap kekuasaannya dalam kurun waktu yang cukup singkat.
Sebagaimana di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab yang berhasil merangkul wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh imperium Romawi dan Persia. Hanya dalam kurun waktu 10 tahun wilayah kekuasaannya membentang dari Madinah menuju Irak, juga Damaskus dan Alexandria. Itulah bukti keseriusan seorang pemimpin dalam mengurus negaranya. Wallahua”lam.
Penulis: Nurul Wahyuni Agustina (Mahasiswi UHO)