Beliau bernama Daeng Ngitung (50 tahun). Saat ditemui, Deng Ngitung sedang beristirahat.
"Saya istirahat dulu, karena dari pagi sudah jalan kaki," katanya pada Kamis (14/11/2019).
Sambil istirahat, ia bercerita tentang kesehariannya. Ia mengatakan, selain menjadi pemulung, dia juga kerap jadi buruh bangunan.
Setelah membersihkan rumah, dia mulai keluar bekerja dari pagi hingga petang dengan berjalan kaki di sekitar Samata, Gowa. Paling sering di UIN.
"Kalau berbicara penghasilan dihitung perkilo, satu kilo itu seribu. Kalau saya kadang dapat 20kg, kadang 50kg. Kalau 50kg bisa dapat 100 ribu," ujarnya.
"Kalau buruh bangunan, 6 hari biasa 300 ribu. Itu tanpa makan siang. Biasa kita bawa makan sendiri," tambahnya
Daeng Ngitung merupakan ayah dari tiga orang anak hasil pernikahan dengan istrinya bernama Hasmawati.
Hasmawati bekerja sebagai pembantu di salah satu rumah warga.
"Tapi dia sekarang tidak adami di rumah. Dia pindahmi di Sungguminasa. Natinggalkanka karena dia sudah beli rumah, jadi saya tinggal sendiri. Anakku ikut semua sama mamanya, tapi yang satu sudah berkeluarga jadi dia ikut di suaminya," jelasnya.
Anak yang kedua bernama Fahri, seorang tunawicara yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) Hartaco.
"Banyak kenalki dia, biasa juga dipanggil sama temannya kerja di bengkel," ujarnya.
Kalau yang bungsu sudah SMA. Daeng Ngitung mengaku ketiga anaknya kadang datang ke rumah kalau ada waktu.
"Kan anakku laki-laki toh dia kadang datang kerumah. Yang mana na suka toh," ujarnya sambil tersenyum.
Hampir 5 dekade Daeng Ngitung hidup di Makassar menjadi pemulung, tentu tidak mudah baginya.
Sejak muda dia terpaksa bekerja bersama beberapa saudara sebagai buruh bangunan agar dapat menghidupi keluarganya.
"Saya disini dari tahun 70-an. Gaji masih sedikit, sekitar 150 rupiah per hari. Saya kerja karena saya 4 bersaudara itu masih kecil. Ibu sudah meninggal dan bapak ya begitu sudah lengah sama anak. Kita mami sendiri sama saudara kerja-kerja bangunan," tuturnya.
Citizen Reporter: Ratu Zalkiah S