Lorong Kata - Hidup mahasiswa! Suara yang lantang dan selalu terdengar bagi kalangan orang yang belajar di bangku perguruan tinggi yang biasa di sebut dunia perkuliahan, pendidikan tertinggi selalu kita kategorikan secara umum bahwa suatu jenjang untuk mencapai suatu cita-cita yang kita khayalkan atau impikan, bahkan pendidikan yang tinggi (S1,S2,S3) selalu di kategorikan dalam tokoh masyarakat bawah suatu anak bangsa yang telah duduk di bangku pendidikan yang tinggi sudah dapat kelayakan dalam hal pekerjaan atau hidup yang akan bahagia, masyarakat awam yang tak paham persoalan dinamika pendidikan hanya bangga dengan bagaimana anaknya yang jauh dari kampung untuk merantau bagaimana melihat anaknya sukses, tetapi ketika kita telisik lebih jauh kadang pengharapan orang tua tak sesuai dengan yang terjadi di realistasnya, contoh yang selalu kita dapati bagaimana mahasiswa hari ini yang banyak menguras harta orang tunya tanpa memikirkan bagaimana kondisi orang tua di kampung, yang rela makan dengan secukupnya untuk bagaimana anaknya hidup di perantauan dan bahkan ada orang tua yang rela membatasi ekonomi untuk tak makan hanya untuk memikirkan anaknya yang sedang berada di perantauan dengan pengharapan anak yang sangat di sayanginya itu bisa hidup tercukupi dan dapat belajar di perguruan tinggi untuk mengsukseskan anaknya demi cita-cita yang ingin diraihnya, tetapi timbul suatu pertanyaan apakah pengharapan orang tua sesuai dengan yang di inginkan?
Disini kita akan membongkar kebiasan-kebiasan mahasiswa yang telah menjadi setengah dari dewa, dimana ketika kita melihat realitas yang ada ternyata banyak mahasiswa yang tak melirik bagaimana mereka dapat bertahan hidup lama di perantauan dan bisa hidup semewah-mewahnya tanpa memikirkan bagaimana susah payahnya orang tua di kampung tak punya waktu untuk rekreasi atau makan enak demi untuk mengatur ekonominya hanya untuk anak yang di sayanginya yang hidup di perantauan. Kita sering mendapati banyaknya mahasiswa yang hidup di perantauan yang dimana berpoyah-poyah tanpa melihat kondisi ekonomi sebenarnya, strata ekonomi rendah tetapi memaksakan hidup mewah bahwakan memporoti orang tua untuk trus di kirimkan uang agar trus terlihat kaya. Bukanya hanya itu mahasiwa yang tipekal bisa di sebut hedonisme ini selalu ingin berhura-hura di atas penderitaan orang tuanya. Salah satu kontenporer pernah berpendapat bahwa “ketika mahasiswa hari ini hanya mengejar selembar ijazah, lebih baik kembali kedesa membantu orang tua di desa untuk bertani”. Dia mempertegas bahwa ketika ada mahasiswa hari ini yang hanya menghabur-hamburkan uang orang tuanya dan cuman ingin selembar kertas, mending tak usah kuliah. Ini yang di sepelekan oleh mahasiswa jaman milenial ini, dimana pergeseran budaya kampus telah memudar.
Dari tahun-ketahun perkembangan arus globalisasi modern yang makin mencengkam sehingga masiswa sudah kehilangan kesadaran dan melupakan identitasnya sebagai seorang yang terdidik dan berilmu pengetahuan, kembali ke sejarah kemahasiswaan dimana mahasiswa notebenya adalah orang yang tak pernah lepas dari sebuah ilmu pengetahuan atau buku, dimana para mahasiswa yang selalu haus akan ilmu pengetahuan, ruang kajian atupun tempat untuk mendirikan suatu pendidikan alternative atau bisa di sebut forum diskusi, forum itu sudah kurang kita dapati dalam lingkup kampus, padahal ketika kita telisik ternyata sangat banyak sudut-sudut kampus yang dapat kita buat untuk hal-hal yang produktif semisal lapak buku dengan di iringi diskusi lepas atau forum-forum kajian informal, tetapi nyatanya hari ini hanya tinggal segelintir orang yang hanya menjalankan semua yang berbau produktif. Beberapa tokoh masiswa radikal berpendapat bahwa nilai-nilai pradaban sudah menghilang atau dimana kemunduran besar bagi kaum intelektual di sebuah pradaban, dimana nilai-nilai kemahasiswaan yang sudah mulai hilang, fungsi dan cirri kemahasiswaan sudah tak di tanamkan bagi hampir seluruh mahasiswa. Melihat rentetan sejarah 1998 dimana mahasiswa sangat perpegang teguh dengan idelismenya masing-masing karna moral sebagaimana dikatakan sebagai agen of change dan social of control maka budaya pada saat itu sangat kental di pertahankan.
Sejak tahun 2010 dimana presiden Susilo Bambang Yudiono (SBY) menyepakati masuknya teknologi modern di Indonesia perubahan sosial sudah mulai kearah capital. Banyaknya masyarakat konsumtif hari ini yang mengikuti trending zaman yang semakin tahun semakin memukul ketemunduran dari ilmu pengetahuan, sehingga mahasiswa hari ini di butahkan oleh zaman karna tak memiliki kerangka untuk membaca bagaimana kehidupan bangsa hari ini dan bagaimana keadaan bangsa kita hari ini? Ini yang tak dilirik sebagian mahasiswa sehingga terjadi kemunduran pesat. Terlebih dari mahasiswa baru yang sering kita dapati dimana mahasiswa baru telah buta akan sejarah kemahasiswaan sampai tak mengkaji secara mendalam bagaimana mahasiwa sangat berperang penting dalam sebuah tataran kampus maupun masyarakat.
Melihat bagaimana generasi milenial hari ini yang sudah melupakan bagaimana peran mahasiswa yang sebenarnya, nilai kebudyaan mahasiswa yang hilang karna pengaruh teknologi, dimana sudah berkurang nilai-nilai saling menghargai sesama mahasiswa baru dengan mahasiswa lama, kita melihat prilaku kepada beberapa akhir tahun ini bagaimana kesadaran generasi milenial seakan mereka adalah orang yang paham dinamika kampus, orang yang tak membutuhkan lagi bimbingingan dari sang kaka di kampus sampeh sekan merekalah yang paling cerdas, dan yang paling tau segalanya tengtang kampus, padahal mereka tak tau meski bagaimana sang kakaklah yang pertama kali menginjakkan kakinya dalam perguruan tinggi dan merekalah yang lebih paham dinamika perguruan tinggi, hal-hal ini yang selalu di sepelekan mahasiswa baru sehingga penyesalan di akhir akan terlihat ketika mereka benar-benar jenuh dengan apa yang trus di lakoninya dan bru mencari kesibukan setelah jam perkulihan.
Kebanyak mahasiswa baru tidak suka berorganisasi atas dasar ingin cepat selesai dan mendapatkan ipk tertinggi. Sehingga lupa bahwa setelah jengjang perkuliahan dan masuk dalam dunia pekerjaan. Hal yang paling pertama di tanyakan dalam lamaran pekerjaan yaitu keroganisasian mereka, dan jabatan yang pernah di jabat, bukan persoalan ipk karna perguruan tinggi adalah tempat mengasah kemampuan kita dalam belajar, dan ketika ada mahasiswa hari ini yang tidak berorganisasi maka merugikan waktunya hanya untuk berhura-hura di kota dan hanya membuat orang tua yang ada di desa kecewa.
Hal yang harus kita luruskan adalah bagaimana budaya kampus ini dapat kita kembalikan seperti hal yang terjadi 1998, semangat mahasiswa yang sangat membara akan perjuangan untuk melawan rezim yang zalim dan penuh dengan kepalsuan. Karna hari ini penguasa sudah hampir leluasa memainkan Negara kita karna kurangnya pengawalan mahasiswa. Kesadaran kita melihat Negara kita itu sudah hampir hilang karna telah di sibukkan dengan keseharian kita masing-masing sampai melupakan bahwa telah di permainkan oleh para kaum penguasa. Kesadaran inilah yang ingin kita hadirkan di tengah-tengah arus globalisasi modern yang dimana mahasiswa sudah tak bersifat sosialis tetapi bersifat kapitalis. Mulai dari cara berpandang sampai cara berpakaian semua telah terkonstruk dengan apa yang telah di siapkan para penguasa untuk bagemana merubah generasi milenial ke hal yang tak bersifat produktif.
Dengan ini Para mahasiswa baru harus menyadari bagaimna posisinya di era post modern ini, ketika mahsiswa tetap sama saja dengan selalu ikut arus dalam perkembangan arus globalisasi tanpa dilandasi ilmu pengetahuan maka di yakinkan perdaban sudah tidak lama lagi akan hilang dan runtuh.
Penulis: Haswi ardiansyah hasan
Disini kita akan membongkar kebiasan-kebiasan mahasiswa yang telah menjadi setengah dari dewa, dimana ketika kita melihat realitas yang ada ternyata banyak mahasiswa yang tak melirik bagaimana mereka dapat bertahan hidup lama di perantauan dan bisa hidup semewah-mewahnya tanpa memikirkan bagaimana susah payahnya orang tua di kampung tak punya waktu untuk rekreasi atau makan enak demi untuk mengatur ekonominya hanya untuk anak yang di sayanginya yang hidup di perantauan. Kita sering mendapati banyaknya mahasiswa yang hidup di perantauan yang dimana berpoyah-poyah tanpa melihat kondisi ekonomi sebenarnya, strata ekonomi rendah tetapi memaksakan hidup mewah bahwakan memporoti orang tua untuk trus di kirimkan uang agar trus terlihat kaya. Bukanya hanya itu mahasiwa yang tipekal bisa di sebut hedonisme ini selalu ingin berhura-hura di atas penderitaan orang tuanya. Salah satu kontenporer pernah berpendapat bahwa “ketika mahasiswa hari ini hanya mengejar selembar ijazah, lebih baik kembali kedesa membantu orang tua di desa untuk bertani”. Dia mempertegas bahwa ketika ada mahasiswa hari ini yang hanya menghabur-hamburkan uang orang tuanya dan cuman ingin selembar kertas, mending tak usah kuliah. Ini yang di sepelekan oleh mahasiswa jaman milenial ini, dimana pergeseran budaya kampus telah memudar.
Dari tahun-ketahun perkembangan arus globalisasi modern yang makin mencengkam sehingga masiswa sudah kehilangan kesadaran dan melupakan identitasnya sebagai seorang yang terdidik dan berilmu pengetahuan, kembali ke sejarah kemahasiswaan dimana mahasiswa notebenya adalah orang yang tak pernah lepas dari sebuah ilmu pengetahuan atau buku, dimana para mahasiswa yang selalu haus akan ilmu pengetahuan, ruang kajian atupun tempat untuk mendirikan suatu pendidikan alternative atau bisa di sebut forum diskusi, forum itu sudah kurang kita dapati dalam lingkup kampus, padahal ketika kita telisik ternyata sangat banyak sudut-sudut kampus yang dapat kita buat untuk hal-hal yang produktif semisal lapak buku dengan di iringi diskusi lepas atau forum-forum kajian informal, tetapi nyatanya hari ini hanya tinggal segelintir orang yang hanya menjalankan semua yang berbau produktif. Beberapa tokoh masiswa radikal berpendapat bahwa nilai-nilai pradaban sudah menghilang atau dimana kemunduran besar bagi kaum intelektual di sebuah pradaban, dimana nilai-nilai kemahasiswaan yang sudah mulai hilang, fungsi dan cirri kemahasiswaan sudah tak di tanamkan bagi hampir seluruh mahasiswa. Melihat rentetan sejarah 1998 dimana mahasiswa sangat perpegang teguh dengan idelismenya masing-masing karna moral sebagaimana dikatakan sebagai agen of change dan social of control maka budaya pada saat itu sangat kental di pertahankan.
Sejak tahun 2010 dimana presiden Susilo Bambang Yudiono (SBY) menyepakati masuknya teknologi modern di Indonesia perubahan sosial sudah mulai kearah capital. Banyaknya masyarakat konsumtif hari ini yang mengikuti trending zaman yang semakin tahun semakin memukul ketemunduran dari ilmu pengetahuan, sehingga mahasiswa hari ini di butahkan oleh zaman karna tak memiliki kerangka untuk membaca bagaimana kehidupan bangsa hari ini dan bagaimana keadaan bangsa kita hari ini? Ini yang tak dilirik sebagian mahasiswa sehingga terjadi kemunduran pesat. Terlebih dari mahasiswa baru yang sering kita dapati dimana mahasiswa baru telah buta akan sejarah kemahasiswaan sampai tak mengkaji secara mendalam bagaimana mahasiwa sangat berperang penting dalam sebuah tataran kampus maupun masyarakat.
Melihat bagaimana generasi milenial hari ini yang sudah melupakan bagaimana peran mahasiswa yang sebenarnya, nilai kebudyaan mahasiswa yang hilang karna pengaruh teknologi, dimana sudah berkurang nilai-nilai saling menghargai sesama mahasiswa baru dengan mahasiswa lama, kita melihat prilaku kepada beberapa akhir tahun ini bagaimana kesadaran generasi milenial seakan mereka adalah orang yang paham dinamika kampus, orang yang tak membutuhkan lagi bimbingingan dari sang kaka di kampus sampeh sekan merekalah yang paling cerdas, dan yang paling tau segalanya tengtang kampus, padahal mereka tak tau meski bagaimana sang kakaklah yang pertama kali menginjakkan kakinya dalam perguruan tinggi dan merekalah yang lebih paham dinamika perguruan tinggi, hal-hal ini yang selalu di sepelekan mahasiswa baru sehingga penyesalan di akhir akan terlihat ketika mereka benar-benar jenuh dengan apa yang trus di lakoninya dan bru mencari kesibukan setelah jam perkulihan.
Kebanyak mahasiswa baru tidak suka berorganisasi atas dasar ingin cepat selesai dan mendapatkan ipk tertinggi. Sehingga lupa bahwa setelah jengjang perkuliahan dan masuk dalam dunia pekerjaan. Hal yang paling pertama di tanyakan dalam lamaran pekerjaan yaitu keroganisasian mereka, dan jabatan yang pernah di jabat, bukan persoalan ipk karna perguruan tinggi adalah tempat mengasah kemampuan kita dalam belajar, dan ketika ada mahasiswa hari ini yang tidak berorganisasi maka merugikan waktunya hanya untuk berhura-hura di kota dan hanya membuat orang tua yang ada di desa kecewa.
Hal yang harus kita luruskan adalah bagaimana budaya kampus ini dapat kita kembalikan seperti hal yang terjadi 1998, semangat mahasiswa yang sangat membara akan perjuangan untuk melawan rezim yang zalim dan penuh dengan kepalsuan. Karna hari ini penguasa sudah hampir leluasa memainkan Negara kita karna kurangnya pengawalan mahasiswa. Kesadaran kita melihat Negara kita itu sudah hampir hilang karna telah di sibukkan dengan keseharian kita masing-masing sampai melupakan bahwa telah di permainkan oleh para kaum penguasa. Kesadaran inilah yang ingin kita hadirkan di tengah-tengah arus globalisasi modern yang dimana mahasiswa sudah tak bersifat sosialis tetapi bersifat kapitalis. Mulai dari cara berpandang sampai cara berpakaian semua telah terkonstruk dengan apa yang telah di siapkan para penguasa untuk bagemana merubah generasi milenial ke hal yang tak bersifat produktif.
Dengan ini Para mahasiswa baru harus menyadari bagaimna posisinya di era post modern ini, ketika mahsiswa tetap sama saja dengan selalu ikut arus dalam perkembangan arus globalisasi tanpa dilandasi ilmu pengetahuan maka di yakinkan perdaban sudah tidak lama lagi akan hilang dan runtuh.
Penulis: Haswi ardiansyah hasan