Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud Ade Erlangga, mengatakan bahwa tujuan program merdeka belajar adalah agar para guru, siswa, serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia, bahwa pendidikan harus menciptakan suasana yang membahagiakan buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orang tua, dan untuk semua umat. Menurutnya, program ini dilahirkan dari banyaknya keluhan di sistem pendidikan, salah satunya keluhan tentang banyak siswa yang dipatok oleh nilai-nilai tertentu. Dilansir dari laman detiknews, Sabtu (14/12).
Konsep merdeka belajar yang diusung Mendikbud ini adalah mengarah pada kemerdekaan berpikir yang harus dimulai dari tingkat guru lalu kemudian ditularkan ke siswa. Sebagaimana yang disampaikan Nadiem dalam Diskusi Standard Nasional Pendidikan, bahwa merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir. Dan terutama esensi kemerdekaan berpikir itu harus ada di guru dulu. Menurutnya, bila kemerdekaan berpikir tidak terjadi pada guru, tidak mungkin bisa terjadi pada murid. TEMPO.CO, Jumat (13/12).
Program merdeka belajar digadang-gadang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dalam dunia pendidikan. Harus diakui, masih banyak problem yang terjadi di dunia pendidikan, salah satu yang paling prioritas adalah masalah output pendidikan. Pasalnya, sulit dipungkiri bahwa terjadi ketimpangan pada output pendidikan saat ini, di mana kecerdasan intelektual anak didik tidak berbanding lurus atau tidak sejalan dengan kualitas akhlak dan moral yang tampak pada diri mereka baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Siswa dengan narkoba, gemar tawuran, perundungan (bullying), pergaulan bebas, hilang rasa hormat terhadap guru dan orang tua, malas, dan banyak lagi penyimpangan yang kerap terjadi yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang pembelajar, baik guru maupun siswa.
Sederet kasus kekerasan yang pelakunya berstatus pelajar, baik mandiri atau pun berkelompok, dengan korban mulai dari sesama pelajar sampai petugas keamanan bahkan terhadap guru, kian menggejala. Masih segar dalam ingatan, kasus seorang siswa SMK di Manado yang tega menikam gurunya hingga tewas hanya karena tidak terima ditegur saat sedang merokok, (ZONAUTARA.COM,20/10/2019). Atau kasus siswa yang membully seorang guru di salah satu sekolah di Kabupaten Gresik, Jawa Timur yang videonya sempat viral di dunia maya pada awal Februari lalu, pun demikian seorang cleaning service yang dikeroyok empat orang siswa di Takalar, Sulawesi Selatan, (okenews, 12/02/2019). Belum lagi kasus kekerasan yang dilakukan oleh dua belas siswi SMA kepada Audrey, seorang siswi SMP di Kota Pontianak, Kalimantan Barat yang sempat menjadi isu dunia.
Fakta-fakta di atas hanya segelintir dari sekian banyak persoalan yang ada. Semua itu menegaskan bahwa krisis kepribadian dan dekadensi moral tengah mengancam generasi saat ini. Program pendidikan berbasis karakter pun tak banyak memberi pengaruh yang efektif dalam upaya mendongkrak moralitas anak bangsa. Pun, tak mampu meminimalisir tindak kekerasan di tingkat pelajar. Ada apa dengan pendidikan kita hari ini? Mungkinkah program merdeka belajar memberi solusi tuntas?
Merdeka Belajar = Merdeka Berpikir = Merdeka Berbuat
Merdeka sejatinya adalah bebas. Bebas dari belenggu, ikatan, tekanan, kungkungan, tuntunan, aturan, dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka mempunyai tiga arti. Pertama, bebas (dari penghambaan, penjajahan, dan sebagainya), dan berdiri sendiri. Kedua, tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ketiga, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, dan leluasa. Program merdeka belajar tidak hanya ditujukan untuk anak didik, tetapi juga kepada guru. Bahkan, guru harus lebih dulu mengadopsi prinsip ini lalu ditransfer ke anak didik.
Jika ditelisik lebih dalam, ada upaya memberikan kebebasan kepada guru melalui program ini. Terkait materi pelajaran, apa dan bagaimana menginterpretasikan bahan ajar kepada pelajar. Ini berarti bahwa guru memiliki hak dan kebebasan untuk mengarahkan siswanya sesuai apa yang dikehendakinya. Seorang guru tidak boleh terikat atau tertekan dengan berbagai aturan terutama yang berkaitan dengan SARA. Tentu ini perlu dipertimbangkan lagi, mengingat guru adalah pihak kedua yang didengar dan dicontoh oleh siswa setelah orang tua. Bahkan, tidak sedikit siswa yang justru lebih mengidolakan dan menuruti guru ketimbang orang tuanya sendiri. Meskipun, tidak sedikit juga yang tidak patuh kepada guru, dan yang lebih fatal lagi, banyak juga siswa yang tidak patuh kepada orang tua, terlebih lagi kepada gurunya.
Pun demikian terkait akhlak dan moral siswa. Peran keluarga dalam hal ini orang tua, adalah tokoh utama dalam membentuk kepribadian anak. Selanjutnya adalah lingkungan tempat tinggal dan lingkungan sekolah, termasuk guru. Mengapa? Karena sebelum mengenal dunia luar, anak hanya berinteraksi dengan orang tua, saudara, dan orang-orang terdekat dalam keluarga. Apa yang dilihat, didengar dan dialami itulah yang tertanam dalam dirinya. Namun, semuanya bisa berubah saat anak berinteraksi dengan dunia luar, baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan sekolah. Pergeserannya bisa baik bisa juga buruk, tergantung baik buruknya komponen yang mempengaruhinya mulai dari pertemanan, guru dan pengetahuan yang ia dapat selama proses belajar. Tentu standar baik dan buruknya, bukan dari sudut pandang manuasia.
Merdeka belajar berarti kebebasan dalam belajar tanpa adanya tekanan berupa aturan yang mengikat dan wajib dipatuhi dalam satu satuan pendidikan. Akademisi Universitas Gadjah Mada, Bagas Pujilaksono mengatakan, merdeka belajar adalah bentuk kebebasan anak didik untuk berekspresi dalam menempuh proses pembelajaran di sekolah. Menurutnya, merdeka belajar adalah bebas dari segala bentuk tekanan psikologis yang berbau SARA. Anak didik harus bebas berekspresi, namun tetap harus patuh pada aturan sekolah dan kurikulum negara, tetap bertoleransi dalam menjalankan kebebasannya karena ada kesamaan hak dalam kebebasan berekspresi. Dilansir dari laman Tagar.id (11/12/2019).
Memang benar, program merdeka belajar tetap mengacu pada kurikulum pendidikan. Namun, kurikulumnya tentu harus sesuai dengan prinsip merdeka belajar, bukan programnya yang disesuaikan dengan kurikulum. Apalagi memang sistem pendidikan saat ini dibangun di atas prinsip kebebasan. Pada dasarnya, belajar, berpikir, memahami, dan berbuat adalah ibarat mata rantai yang saling berkaitan satu sama lain. Belajar, menuntut adanya proses berpikir, dengan berpikir akan tercipta pemahaman. Pemahaman ini yang menghasilkan perbuatan atau tingkah laku. Nah, dari sini bisa disimpulkan bahwa merdeka (baca:bebas) belajar, sama dengan bebas berpikir yang akan bermuara pada kemerdekaan atau kebebasan bertingkah laku.
Seseorang cenderung berbuat berdasarkan pemahaman yang ia dapat dari proses belajar dan berpikir. Bagaimana jadinya bangsa ini jika kepribadian generasinya terbentuk dari pola pikir dan pola sikap yang bebas aturan? Kalau pun diatur, tetap saja aturan itu wajib melindungi hak dan kebebasan. Untuk itu, menjadi rancu ketika program merdeka belajar disandingkan dengan pendidikan karakter. Pasalnya, pendidikan karakter yang menitikberatkan pada terbentuknya moral dan kepribadian yang baik dibenturkan dengan program merdeka belajar. Demikian halnya ketika merdeka belajar dikaitkan dengan toleransi. Bagaimana mungkin mengharapkan toleransi dalam bingkai merdeka belajar? Bisa saja terjadi, toleran terhadap satu pihak, tetapi pada saat yang sama justru intoleran terhadap pihak yang lain. Yang lebih berbahaya, ketika menganggap aturan agama sebagai tekanan psikologis yang menghalangi kebebasan siswa dalam belajar. Inilah ancaman dekadensi moral dan kemunduran generasi yang sangat fatal.
Islam Kaffah Wujudkan Generasi Berakhlak Mulia
Belajar adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Dengan belajar, manusia mengenal dirinya, kehidupan dan alam semesta. Islam sebagai agama universal memiliki sistem pendidikan yang sempurna untuk seluruh manusia, yang wajib di bangun di atas landasan Akidah Islam.
Konsep pendidikan dalam Islam adalah, pertama, pendidikan harus memiliki tujuan, sasaran dan target yang jelas. Kedua, pendidik sejati dan mutlak adalah Allah, SWT. Ketiga, pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pengajaran selaras dengan perkembangan anak. Keempat, peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan Allah, SWT menciptakan manusia.
Generasi muda (milenial) adalah aset bangsa sekaligus calon pemimpin masa depan. Di tangan merekalah masa depan peradaban dipertaruhkan. Bangkit atau terpuruknya peradaban sangat ditentukan oleh bangkitnya pemikiran generasi yang membangun peradaban itu, yakni kesadaran bahwa dia adalah hamba Allah, diciptakan untuk beribadah kepada Allah, dan akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya semasa hidup di dunia. Semua ini, bagian dari proses belajar dan berpikir yang menghasilkan pemahaman. Pemahaman (mafhum) inilah yang membentuk tingkah laku (suluk). Setiap perbuatannya akan selalu terhubung dengan Allah terkait halal-haramnya perbuatan tersebut. Dengan begitu, akan terwujud generasi berkepribadian Islam yang kuat, cerdas, dan layak menjadi pemimpin.
Adapun terkait akhlak, Islam mewajibkan setiap muslim memiliki akhlak mulia, karena akhlak bagian dari hukum syarah. Akhlak mulia mustahil terwujud dalam konsep merdeka belajar, karena memiliki akhlak mulia mengharuskan manusia terikat dengan aturan Allah, bukan dengan bebas merdeka menuruti kehendak hati. Wallaahu a’lam bi ash-shawaab.
Penulis: Limi Ummu Ririn (Kendari, Sulawesi Tenggara, Komunitas Muslimah Cinta Qur'an)