Dilansir dari Johns Hopkins University, total pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 per 19 Maret 2020 ada sebanyak 214.894 kasus, dengan 8.732 orang meninggal dan 83.313 orang sembuh. Angka ini diprediksi akan meningkat drastis jika tidak segera dilakukan tindakan cepat.
Dengan angka yang cukup fantastis ini wajar saja jika WHO menetapkan wabah ini sebagai pandemi global, dimana harus ada kebijakan secara global yang tegas untuk memutus mata rantai penularan virus ini.Namun sayangnya sejak awal kemunculan virus ini pemerintah tak serius menyikapinya. Bahkan justru melakukan hal - hal sembrono yang mengancam hidup warga negaranya.
Dilansir dari tirto.id pada tanggal 4-8 Februari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat adanya 550 WNA asal Cina yang berkunjung ke Indonesia. Padahal saat itu pandemi ini telah menjadi darurat global.
Belum lagi 283 WNI yang dipulangkan dari Cina yang dikarantina di Natuna. Mereka hanya dikarantina tanpa dites covid 19. Parahnya yang membuat rakyat geram adalah alasan pemerintah yakni alat tes korona mahal.
Sikap pemerintah yang ceroboh bahkan cenderung lepas tangan ini berdampak buruk pada rakyat. Alih-alih bersiap diri menghadapi pandemi justru malah sibuk dengan ururan omnibus law hingga pindah ibu kota terlalu percaya diri bahwa imune orang Indonesia kuat-kuat. Alhasil ketika pandemi datang menginfeksi Indonesia pemerintah gagap, tak siap, kebingungan.
Pun dengan rakyat yang mulai hilang rasionalitasnya, kelangkaan dimana - mana karena fenomena panic buying. Mulai dari hand sanitizer masker hingga APD dokter langka di mana-mana. RS pun mulai kewalahan padahal pandemi baru tahap awal, angka kematian meroket tajam angka orang yang terinfeksi juga melonjak tinggi, entah apa yang terjadi ketika puncak pandemi.
Pemerintah sangat lamban mengambil keputusan hingga nyawa petugas medis di garda terdepan sudah banyak yang dikorbankan. Lockdown pun menjadi wacana yang jelas ditolak karena Indonesia bisa krisis berat katanya. Akhirnya social distancing menjadi solusi saat ini.
Warga negara dihimbau menjaga kesehatan, menjaga jarak minimal 1 meter. Bahkan di beberapa kota semua Aktivitas sudah berpusat di rumah. Mulai dari pembelajaran pendidikan hingga pekerja kantoran harus bekerja dari rumah. Namun sayangnya solusi ini justru menimbulkan masalah baru.
Para pekerja yang mengandalkan upah harian terpaksa tidak bisa memenuhi kehidupan keluarganya. Semisal pedagang kaki lima, ojol, tukang parkir dll. Bila mereka dipaksa dirumah jelas mereka tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka.
Kesadaran warga negara akan social distancing. Lihat saja fenomena mudik dan liburan membludak ketika diumumkan 14 hari sekolah dirumah. Anak - anak bermain dimana - mana, warga beraktifitas layaknya tidak ada masalah. Alhasil solusi ini jelas percuma jika tidak disosialisasikan dengan baik oleh pemerintah.
Kegagapan orang tua ketika mendampingi anaknya bersekolah di rumah.
Angka stress anak tinggi ketika harus tetap berada di rumah. Dilansir dari CNN Indonesia komisioner KPAI bidang pendidikan menuturkan bahwa KPAI menerima pengaduan sejumlah orangtua siswa yang mengeluhkan anak-anak mereka malah stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari para gurunya (18/3).
Ini baru social distancing belum lagi bila diberlakukan lockdown. Jelas negara tak siap menangani pandemi ini. Negara kewalahan bahkan angkat tangan.
Pertanyaannya bagaimana solusi dari semua masalah ini?
Sebenarnya bila kita lihat seluruh negara di dunia dibuat chaos oleh virus ini. Bahkan negara besar sekelas Amerika dan Italia angka terinfeksi tertinggi di dunia. Seluruh cara teknis sudah dilakukan, namun gagal. Karena pandemi ini bukanlah permasalahan teknis atau sekedar politis, tapi sistemis.
Terbukti sistem yang mengatur dunia saat ini tak sanggup menangani pandemi karena jelas kapitalisme berasas pada kepentingan materi alias keuntungan atau kerugian belaka. Alhasil masalah pandemi ini yang dititikberatkan bukan lagi keselamatan manusia tapi untung rugi suatu negara.
Lihat saja di Indonesia alasan pemerintah tak mau lockdown adalah merosotnya ekonomi negara, takbisanya negara menanggung kebutuhan meruginya perusahaan besar yang juga berdampak pada negara. Padahal tiap detiknya keselamatan warga negara dipertaruhkan karena cepatnya penyebaran dan tingginya angka kematian. Maka terbukti bahwa ideologi ini tak mampu menjadi ideologi suatu negara.
Oleh : Shita Ummu Bisyarah