“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai (junnah). Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Dari laman CNNIndonesia, Muslim meninggal akibat tertembak dalam konflik antar umat Hindu dan Islam terus bertambah hingga 38 orang. Lebih dari 200 orang mengalami luka-luka. (CNNIndonesia, 27/2/2020)
Sepenggal tayangan video yang viral di media sosial menayangkan sekelompok muslim yang berlindung di atap rumah. Di bawahnya sedang terjadi pembakaran sejumlah rumah dan toko yang dimiliki umat Islam. Amboi, pedihnya nasib umat muslim. Ketika mayoritas bertubi dipojokkan, giliran minoritas tak henti didera siksaan.
Dunia Islam Bungkam? Menyikapi serangan terhadap muslim, dunia kembali bungkam seribu bahasa. Para penguasa di negeri-negeri muslim seakan tak tergugah sedikit pun. Padahal kezaliman atas Muslim India sudah begitu telanjang di depan mata.
Belakangan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan akhirnya mengecam keras kekerasan paling mematikan yang terjadi di ibukota India, New Delhi dalam beberapa waktu terakhir. Meski kecaman ini langsung dibantah, Pemerintah New Delhi tak terima dituduh menutup mata dari penyerangan masyarakat Hindu terhadap muslim. (republika.co.id, 28/2/2020)
Jika Turki sudah bersuara, apa kabar Indonesia? Sebagai sesama negeri dengan muslim mayoritas sayangnya masih betah bersikap diam. Aktivis pembela kemanusiaan, Natalius Pigai, mulai mempertanyakan peran dari Presiden RI, Joko Widodo.
"Hari ini umat Islam di India dibantai, di mana Ir. Joko Widodo?" kata Pigai dalam siaran persnya.
Pigai lalu membandingkan perbuatan Presiden pertama RI dulu yang terekam dalam sejarah. Saat konflik Kashmir antara India dan Pakistan, Soekarno pernah memerintahkan satuan kapal selam Korps Hiu Kencana TNI AL untuk segera berlayar menuju Karachi Pakistan demi solidaritas sesama bangsa muslim. (viva.co.id, 28/2/2020)
Berawal dari RUU yang Diskriminatif?
Menilik kronologinya, konflik terjadi akibat undang-undang Kewarganegaraan yang baru saja disahkan rezim Narendra Modhi. UU ini dinilai mempermudah non-muslim mendapatkan kewarganegaraan India, dibandingkan muslim dari negara-negara tetangga. Kalangan kritikus lebih jauh menduga hadirnya UU tersebut bakal dimanfaatkan demi ambisi mengubah India yang sebelumnya sekuler menjadi negara Hindu. (cnnindonesia, 28/2/2020)
Derita muslim India seperti melengkapi penderitaan muslim lainnya di penjuru dunia. Suriah, Palestina, Rohingya, Pattani, serta Uighur telah lebih dulu jadi saksi bisu. Tanpa perisai dan pelindung, kondisi umat mudah terpapar agresi yang membenci Islam. Baik yang sifatnya fisik seperti yang terjadi di India maupun ide dan pemikiran yang menggempur Islam layaknya di Indonesia. Wacana mengubah ucapan Assalamualaikum berganti Salam Pancasila, salah satu contohnya.
Wujudkan Perisai, Tiada Pilihan Lain
Dalam syarah hadits yang dikutip di awal tulisan, Imam an-Nawawi menjelaskan,
“Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang (menyakiti) kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekuatannya.”
Begitu juga frasa berikutnya, “Maksudnya, bersamanya (Imam/Khalifah) kaum Kafir, Bughat, Khawarij, para pelaku kerusakan dan kezaliman, secara mutlak, akan diperangi.”
Mengapa hanya Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai junnah alias perisai? Karena dialah satu-satunya yang bertanggungjawab menjaga, mengurus dan melindungi umat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Mari simak sejarah, ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi Saw melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan, demi menjadi junnah (perisai) bagi Islam dan kaum Muslim. Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya.
Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khilafah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, mengirim bantuan militer ke Aceh negeri Serambi Mekkah untuk menghalau penjajah Portugis. Semuanya melakukan hal yang sama. Sekali lagi karena mereka adalah junnah (perisai).
Tak tersisa pilihan selain mewujudkan perisai tersebut. Tanpanya air mata kepedihan umat akan terus berlinang. Setelah India, bukan mustahil terjadi di negeri lainnya. Maka aktivitas umat mengkaji Islam secara komprehensif dan menyeluruh mutlak dilakukan. Agar terbentuk pemahaman hingga yakin syariat Allah solusi terbaik dan tuntas menyelesaikan masalah. Syaratnya asal diterapkan kaffah dalam kehidupan. Sebagaimana yang telah diajarkan dan ditempuh Rasullah Saw.
Pernahkah terbersit dalam benak kita, hujjah apa kelak kita katakan di hadapan Baginda Nabi bila ragu bahkan menolak ajaran beliau? Padahal beliau sangat cinta akan umatnya, Muslim dan Muslimah.
Ingatlah akan firman Allah, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128) Wallaahu a'lam.
Penulis: Ummu Zhafran (Pegiat Opini, Komunitas AMK)