Tidak hanya di kota, pemberdayaan perempuan menjadi program kerja yang juga menyentuh hingga ke pelosok desa. Sebagai contoh yang terjadi di Kuningan Jabar. Sejak Februari 2020 dilaksanakan program pertanian Sabdarum (Swa Sembada di Dalam Rumah), dengan melibatkan para kader wanita tani, sebagai salah satu bentuk emansipasi wanita (radarkuningan.com, 21/02/2020). Diharapkan, program ini menjadi arena pemberdayaan yang akan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat, serta dalam rangka upaya penurunan kemiskinan.
Sesungguhnya tidak ada yang salah pada pemberdayaan perempuan, selama dilakukan dengan benar dan sesuai fitrah wanita. Bahkan pemberdayaan perempuan yang dilakukan secara benar, akan membangun peradaban besar. Namun, menilik apa yang terjadi berikut sistem kehidupan yang berlaku saat ini, kita patut mencermati sudah benarkah arah pemberdayaan perempuan hari ini?
Tak bisa dipungkiri, kini terjadi perubahan paradigma di kalangan masyarakat. Jika dulu, wanita bekerja karena keadaan ekonomi yang memaksa, lambat laun terjadi pergeseran nilai bahwa wanita bekerja diperlukan demi eksistensi dirinya. Hal itu sejalan dengan lebarnya lowongan kerja untuk wanita, berbanding terbalik dengan lowongan kerja bagi pria yang kian terbatas. Mendorong perempuan massif bekerja di luar rumah, atas beragam motif. Maka telah terjadi perubahan peran pada kaum perempuan, dari sekedar pelaku ekonomi menjadi tulang punggung pergerakkan ekonomi.
Namun di satu sisi, massifnya perempuan bekerja di luar rumah memunculkan problem-problem sosial yang tidak sedikit. Angka pelecehan seksual pada wanita di ruang publik terus melonjak di tiap tahunnya. Belum lagi ketahanan keluarga yang kian rapuh, dilihat dari tingginya kasus perselingkuhan dan perceraian. Fenomena motherless yang disebut memicu kenakalan anak dan remaja.
Itulah sekelumit gambaran problematika yang menyertai massifnya wanita bekerja keluar rumah. Buah dari pemberdayaan perempuan ala Kapitalisme Sekular yang mengukur keberdayaan dari sudut manfaat secara materi. Apa yang sesungguhnya terjadi tak lebih dari eksploitasi. Jika kondisinya seperti ini, benarkah kesejahteraan telah diraih?
Sesungguhnya, wanita mulia dengan fitrahnya. Dimana Islam menempatkan wanita pada fungsi utama sebagai ibu dan pengatur rumah tangga suami. Sangat sesuai dengan wanita, sosok yang secara alami identik dengan kepekaan dan kelembutan. Sebagai ibu, wanita memiliki peran strategis mencetak generasi unggul melalui pendidikan yang diberikannya. Sebagai pengatur rumah tangga, wanita berdaya menjadi partner suami mengelola rumah tangga menuju sakinah, mawaddah, warahmah. Inilah bentuk keberdayaan sejati seorang wanita.
Hukum perempuan bekerja menurut Islam adalah mubah (diperbolehkan), selama tidak mengabaikan fungsi pokoknya. Karenanya, Islam menempatkan kewajiban menafkahi keluarga ada pada pundak seorang suami, bukan istri. Suami dituntut semaksimal mungkin berusaha menafkahi keluarga dengan jalan halal. Didorong dengan keimanan rizkiminallah, maka seorang suami akan menetapi kewajibannya mencari nafkah karena hal tersebut dipahaminya sebagai ibadah.
Atas kondisi ini, perempuan tidak akan dibiarkan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, apalagi tulang punggung ekonomi negara. Wanita akan fokus pada tugas pokoknya, tanpa perlu memusingkan urusan pemenuhan nafkah keluarga.
Terkait dengan kesejahteraan, Islam mengatur bahwa menciptakan kesejahteraan merupakan tanggung jawab negara. Negara wajib memperhatikan kesejahteraan berupa terpenuhinya kebutuhan dasar per individu warga negara. Negara melalui sistem perekonomian islam tidak akan sulit mencapai angka kesejahteraan. Modal sumber daya alam yang melimpah ruah, dikelola oleh pemimpin yang amanah, cukup untuk memenuhi kebutuhan negara melayani masyarakatnya.
Pada akhirnya, kesejahteraan dan kesejateraan kaum perempuan bertumpu pada sistem yang dijadikan tata kelola kehidupan. Saat sekarang ini, dimana sistem Kapitalisme dengan ekonomi neo-liberalnya menjadi sistem kehidupan, wanita diposisikan sebagai tulang punggung roda perekonomian. Tercapaikah kesejahteraan? alih-alih sejahtera, kaum perempuan justru menjadi korban kerakusan para kapital, atas nama pemberdayaan.
Saatnya kita membuka mata, beralih pada sistem yang terbukti mampu menciptakan kesejahteraan. Tak hanya bagi kaum perempuan, namun seluruh warga negara dengan luas wilayah meliputi 2/3 dunia. Dan itulah Sistem Islam.
Penulis: Suti Khotimah (Kuningan Jabar, Pemerhati Sosial Masyarakat)