Wabah corona bermula muncul pada 31 Desember 2019 di Wuhan, Cina. Wabah itu begitu cepat menyebar keberbagai penjuru dunia. Ada negara yang begitu cepat merespon dan mengantisipasi wabah ini, namun ada pula yang begitu lambat melakukan antisipasi. Diindonesia hingga hari ini, 25/03/2020 tercatat 790 positif COVID -19, 31 dinyatakan sembuh Dan 58 meninggal dunia. (health.detik.com)
Beberapa propinsi sudah digolongkan jadi transmisi lokal, yaitu DKI Jakarta, Banteng (Tangerang), Jawa Barat (Bekasi) dan Jawa Tengah (Solo). Hal yang paling mengerikan dari covid -19 ini adalah penularannya yang sangat masif dan ketika tertular membutuhkan penanganan medis yang lumayan maksimal, jika tidak nyawa yang akan hilang.
Pemerintah Indonesia, melalui juru bicara kepresidenan Fadjroel Rachman dalam pernyataan Pers diJakarta, Minggu (22/3/2020) menyatakan bahwa pemerintah telah menggariskan 3 program prioritas dalam mengahadapi pandemi Covid-19. Yaitu pertama, memfokuskan dan menggerakkan semua sumberdaya negara untuk mengendalikan, mencegah dan mengobati masyarakat yang terpapar COVID -19.
Kedua, memfokuskan dan menggerakkan semua sumberdaya negara untuk menyelamatkan kehidupan sosial ekonomi seluruh rakyat. Dan, yang terakhir adalah memfokuskan seluruh sumber daya negara agar dunia usaha, baik UMKM, koperasi baik swasta dan BUMN agar terus berputar. (Media Indonesia, 22/03/2020)
Sepintas terlihat bahwa kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi COVID -19 ini terkesan mengedepankan persoalan ekonomi ketimbang segera memutuskan mata rantai penyebaran virus COVID -19 dengan melakukan lockdown sebagaimana yang disarankan oleh beberapa ahli, termasuk IDI(Ikatan Dokter Indonesia). Akibatnya, korban wabah Corona ini bukannya menurunkan. Justru sebaliknya meningkat drastis dari hari ke hari.
Lain halnya dalam sistem pemerintahan Islam. Ketika terjadi wabah dalam suatu wilayah, maka pemerintah saat itu akan melakukan pemutusan mata rantai yang bisa menyebabkan meningkatnya penularan wabah tersebut. Salah satu lnya dengan melakukan lockdown, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Al-khaththab dalam menangani wabah Tha'un yang menular di zamannya.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah Sarah, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf Kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
"Jika kalian mendengar wabah sesuatu wilayah, Janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya jika wabah terjadi di tempat kalian, jangan kalian meninggalkan tempat itu." (HR. Bukhari).
Kala itu Khalifah Umar selanjutnya meminta masukan Amru bin Ash, saran yang diberikan adalah memisahkan interaksi masyarakat agar wabah tak meluas ke masyarakat yang masih sehat. Khalifah Umar Kemudian dengan cepat mengambil keputusan untuk tidak memasuki Syam. Juga melarang masyarakat untuk memasuki daerah yang sedang terkena wabah penyakit menular. Khalifah Umar mengambil kebijakan lockdown dengan cepat. Segera mengisolasi daerah sehingga wabah tidak menyebar. Beliau juga membangun dengan cepat pusat pengobatan di luar daerah itu. Ini tidak lain dimaksudkan sebagai ikhtiar untuk melayani rakyat yang sakit.
Walhasil sistem kapitalis dalam menghadapi pandemi lebih memprioritaskan pertimbangan ekonomi dan ketundukan hegemoni kepentingan negara besar. Dengan mengutamakan pencegahan wabah penyakit melalui vaksin/obat ketimbang melakukan lockdown sebagai salah satu upaya pemutusan penyebaran virus COVID -19 yang sangat berbahaya ini. Sebab tanpa lockdown sulit untuk memutuskan mata rantai transmisi penyebaran COVID-19.
Padahal didalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan, telah diatur secara rinci apa yang harus dilakukan negara untuk menghadapi musibah penyakit yang mewabah. Saatnya kita kembali merujuk apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar ataukah kita akan menunggu semakin banyaknya korban yang berjatuhan akibat virus COVID-19 ini. Wallahu a'lam
Penulis: Rahmawati, S. Pdi.