Lorong Kata - Tenaga medis adalah garda terdepan dalam penanganan virus corona yang terus menyebar di Indonesia. Bukannya tak merasa cemas, tapi besarnya rasa tanggung jawab membuat nyali mereka tak gentar. Para tenaga medis berani menanggung risiko karena mereka rentan terpapar. Apalagi kondisi saat ini APD yang terbatas dan tak merata di daerah mengharuskan mereka menjalankan 'misi bunuh diri'. Bertempur dengan kurangnya senjata.
Selain rawan tertular karena kurangnya APD, mereka juga harus menahan kebutuhan dasar mereka untuk makan dan minum. Selain itu, mereka juga harus menahan diri ke toilet atau untuk buang air kecil maupun air besar. Untuk berhemat APD karena hanya dapat dipakai untuk satu kali saja. Wajar mereka di sebut sebagai pahlawan kemanusiaan karena perjuangan yang luar biasa.
Air susu dibalas air tuba begitulah ungkapan yang tepat untuk para tenaga medis, pasalnya mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif. Mereka dianggap sebagai orang-orang pembawa virus karena mereka telah berjibaku dengan pasien. Mereka dikucilkan dari lingkungan, mulai dari diusir dari kos, dianiaya pasien hingga jenazah mereka di tolak.
Seperti yang dilansir liputan6.com pengusiran yang dialami dokter dan perawat di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Paramedis tersebut mendapat perlakuan tak menyenangkan karena tiba-tiba diusir dari kos yang disewa.
Tak hanya itu, penolakan jenazah perawat sempat viral beberapa hari lalu, menimpa jenazah seorang perawat berinisial N-K yang bekerja RSUP Dr. Kariadi Semarang ditolak warga untuk dimakamkan di salah satu TPU di Semarang, Jawa Tengah.
Penolakan jenazah baik perawat dan masyarakat sipil sebenarnya telah mewarnai pemberitaan media massa selama pandemi ini. Sebelumnya penolakan juga terjadi di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan. Ada empat jenazah yang ditolak pemakamannya oleh warga.
Saat ini korban dari pandemi Covid-19 terus meningkat sudah hampir 5000 kasus dengan korban meninggal lebih dari 300 jiwa. Di tengah musibah yang terjadi, negeri ini kembali nestapa karena fobia terhadap pasien yang menjangkiti masyarakat. Karena Corona rasa solidaritas hilang. Masih banyak ODP dan PDP yang dikucilkan dan dijauhi.
Kekhawatiran yang berlebihan karena takut tertular tapi tak ditopang oleh kesadaran membuat warga kehilangan rasa kepekaan, rasa kemanusiaan mulai pudar, juga jiwa sosial mulai buyar. Tapi penolakan ini jika dibiarkan maka akan semakin menimbulkan masalah di kemudian hari. Bisa saja karena takut dikucilkan dan ditolak warga membuat individu yang merasa sakit enggan melapor. Dan dampaknya penyebaran virus semakin tak terkontrol karena mereka tak melaporkan dirinya dan berisiko menularkan orang lain.
Penolakan-penolakan yang terjadi adalah tanggung jawab pemerintah karena jika ditelisik lebih dalam itu semua terjadi karena kurangnya edukasi yang sampai kepada masyarakat misal bagaimana model penularannya, apa saja yang harus dilakukan untuk langkah pencegahan dan bagaimana kondisi mayat yang aman karena sudah mengikuti SOP kesehatan dan keamanan. Masih banyak masyarakat yang mendapatkan informasi kurang tepat terkait Corona sehingga terjadi distorsi informasi.
Pemerintah seharusnya membangun kesadaran publik dan rasa solidaritas. Masyarakat akan berpikir jika mereka tertular bagaimana keadaan mereka melihat banyak kondisi yang harus kehilangan nyawa, apakah mereka bisa selamat. Ada ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan di Indonesia.
Seharusnya dari awal terjadi Covid-19 di Wuhan China. Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi memberikan edukasi masif kepada rakyat bisa dengan merangkul tokoh-tokoh masyarakat, bekerja sama dengan media agar gencar kampanye tentang Covid-19. Hingga masyarakat sudah sadar. Dan membantu tenaga medis dengan dukungan kebijakan agar tak terus terjadi lonjakan pasien. Dengan membatasi pergerakan manusia dalam wilayah terdampak Corona (lockdown, red)
Tapi bukan membangun kesadaran publik yang dilakukan dan memberikan kebijakan yang tepat, tenaga medis harus menelan pil pahit setelah mendengar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyiapkan Taman Makam Pahlawan milik Pemerintah Provinsi sebagai tempat pemakaman bagi perawat, dokter, dan tenaga medis yang meninggal saat menangani pasien Covid-19 (tempo.co).
Hal ini di protes keras dari netizen bahkan sempat trending di Twitter. Salah satu dokter spesialis jantung Brilian Idris mengatakan “Ini sungguh menyakitkan. Kami ingin selamat pak @ganjarpranowo, tidak ada yang ingin dimakamkan di taman makam pahlawan. Tolong lindungi tenaga kesehatan secara maksimal, jangan dulu bicarakan di mana kami akan dimakamkan.” Kata Dokter Idris dengan nama akun twitter @bili.
Itulah contoh kecil cara memimpin di negeri ini, seolah lepas tanggung jawab mengenai akar persoalan mengapa perlakuan diskriminatif dirasakan warga dan tenaga medis. Sibuk menanggulangi dampak tak memadamkan api permasalahannya. Yaitu memberi edukasi dan pemerintah menetapkan langkah preventif dan kuratif yang tepat sehingga bisa menekan penyebaran virus Corona.
Berbeda dengan pemimpin dalam pandangan Islam akan memakai kaidah bahwa pemimpin adalah seorang yang bertanggung jawab akan pengurusan rakyatnya. Sesuai dengan petunjuk Rasulullah dalam hadisnya Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). Sehingga Khalifah akan menyiapkan langkah preventif dan kuratif untuk mencegah wabah meluas hal ini pernah dicontohkan Rasulullah dan Umar bin Khathab dalam menghadapi wabah.
Namun jika ditelaah lebih dalam kondisi masyarakat yang individualis sudah lama mengakar pada masyarakat Indonesia. Individualisme merupakan satu falsafah yang mempunyai pandangan moral, politik atau sosial yang menekankan kemerdekaan manusia sehingga mementingkan diri sendiri.
Individualisme lahir dari ideologi kapitalisme yang tujuannya melakukan sesuatu karena manfaat/ keuntungan semata, tak hanya itu sistem ini juga melahirkan ide liberal, Liberalisme adalah paham kebebasan. Yang mengajari agar manusia bebas melakukan semua yang disuka. Tidak memperhatikan apakah itu benar atau salah.
Penulis: Syarifa Ashillah (Pemerhati lingkungan dan sosial)
Selain rawan tertular karena kurangnya APD, mereka juga harus menahan kebutuhan dasar mereka untuk makan dan minum. Selain itu, mereka juga harus menahan diri ke toilet atau untuk buang air kecil maupun air besar. Untuk berhemat APD karena hanya dapat dipakai untuk satu kali saja. Wajar mereka di sebut sebagai pahlawan kemanusiaan karena perjuangan yang luar biasa.
Air susu dibalas air tuba begitulah ungkapan yang tepat untuk para tenaga medis, pasalnya mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif. Mereka dianggap sebagai orang-orang pembawa virus karena mereka telah berjibaku dengan pasien. Mereka dikucilkan dari lingkungan, mulai dari diusir dari kos, dianiaya pasien hingga jenazah mereka di tolak.
Seperti yang dilansir liputan6.com pengusiran yang dialami dokter dan perawat di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Paramedis tersebut mendapat perlakuan tak menyenangkan karena tiba-tiba diusir dari kos yang disewa.
Tak hanya itu, penolakan jenazah perawat sempat viral beberapa hari lalu, menimpa jenazah seorang perawat berinisial N-K yang bekerja RSUP Dr. Kariadi Semarang ditolak warga untuk dimakamkan di salah satu TPU di Semarang, Jawa Tengah.
Penolakan jenazah baik perawat dan masyarakat sipil sebenarnya telah mewarnai pemberitaan media massa selama pandemi ini. Sebelumnya penolakan juga terjadi di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan. Ada empat jenazah yang ditolak pemakamannya oleh warga.
Saat ini korban dari pandemi Covid-19 terus meningkat sudah hampir 5000 kasus dengan korban meninggal lebih dari 300 jiwa. Di tengah musibah yang terjadi, negeri ini kembali nestapa karena fobia terhadap pasien yang menjangkiti masyarakat. Karena Corona rasa solidaritas hilang. Masih banyak ODP dan PDP yang dikucilkan dan dijauhi.
Kekhawatiran yang berlebihan karena takut tertular tapi tak ditopang oleh kesadaran membuat warga kehilangan rasa kepekaan, rasa kemanusiaan mulai pudar, juga jiwa sosial mulai buyar. Tapi penolakan ini jika dibiarkan maka akan semakin menimbulkan masalah di kemudian hari. Bisa saja karena takut dikucilkan dan ditolak warga membuat individu yang merasa sakit enggan melapor. Dan dampaknya penyebaran virus semakin tak terkontrol karena mereka tak melaporkan dirinya dan berisiko menularkan orang lain.
Penolakan-penolakan yang terjadi adalah tanggung jawab pemerintah karena jika ditelisik lebih dalam itu semua terjadi karena kurangnya edukasi yang sampai kepada masyarakat misal bagaimana model penularannya, apa saja yang harus dilakukan untuk langkah pencegahan dan bagaimana kondisi mayat yang aman karena sudah mengikuti SOP kesehatan dan keamanan. Masih banyak masyarakat yang mendapatkan informasi kurang tepat terkait Corona sehingga terjadi distorsi informasi.
Pemerintah seharusnya membangun kesadaran publik dan rasa solidaritas. Masyarakat akan berpikir jika mereka tertular bagaimana keadaan mereka melihat banyak kondisi yang harus kehilangan nyawa, apakah mereka bisa selamat. Ada ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan di Indonesia.
Seharusnya dari awal terjadi Covid-19 di Wuhan China. Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi memberikan edukasi masif kepada rakyat bisa dengan merangkul tokoh-tokoh masyarakat, bekerja sama dengan media agar gencar kampanye tentang Covid-19. Hingga masyarakat sudah sadar. Dan membantu tenaga medis dengan dukungan kebijakan agar tak terus terjadi lonjakan pasien. Dengan membatasi pergerakan manusia dalam wilayah terdampak Corona (lockdown, red)
Tapi bukan membangun kesadaran publik yang dilakukan dan memberikan kebijakan yang tepat, tenaga medis harus menelan pil pahit setelah mendengar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyiapkan Taman Makam Pahlawan milik Pemerintah Provinsi sebagai tempat pemakaman bagi perawat, dokter, dan tenaga medis yang meninggal saat menangani pasien Covid-19 (tempo.co).
Hal ini di protes keras dari netizen bahkan sempat trending di Twitter. Salah satu dokter spesialis jantung Brilian Idris mengatakan “Ini sungguh menyakitkan. Kami ingin selamat pak @ganjarpranowo, tidak ada yang ingin dimakamkan di taman makam pahlawan. Tolong lindungi tenaga kesehatan secara maksimal, jangan dulu bicarakan di mana kami akan dimakamkan.” Kata Dokter Idris dengan nama akun twitter @bili.
Itulah contoh kecil cara memimpin di negeri ini, seolah lepas tanggung jawab mengenai akar persoalan mengapa perlakuan diskriminatif dirasakan warga dan tenaga medis. Sibuk menanggulangi dampak tak memadamkan api permasalahannya. Yaitu memberi edukasi dan pemerintah menetapkan langkah preventif dan kuratif yang tepat sehingga bisa menekan penyebaran virus Corona.
Berbeda dengan pemimpin dalam pandangan Islam akan memakai kaidah bahwa pemimpin adalah seorang yang bertanggung jawab akan pengurusan rakyatnya. Sesuai dengan petunjuk Rasulullah dalam hadisnya Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). Sehingga Khalifah akan menyiapkan langkah preventif dan kuratif untuk mencegah wabah meluas hal ini pernah dicontohkan Rasulullah dan Umar bin Khathab dalam menghadapi wabah.
Namun jika ditelaah lebih dalam kondisi masyarakat yang individualis sudah lama mengakar pada masyarakat Indonesia. Individualisme merupakan satu falsafah yang mempunyai pandangan moral, politik atau sosial yang menekankan kemerdekaan manusia sehingga mementingkan diri sendiri.
Individualisme lahir dari ideologi kapitalisme yang tujuannya melakukan sesuatu karena manfaat/ keuntungan semata, tak hanya itu sistem ini juga melahirkan ide liberal, Liberalisme adalah paham kebebasan. Yang mengajari agar manusia bebas melakukan semua yang disuka. Tidak memperhatikan apakah itu benar atau salah.
Penulis: Syarifa Ashillah (Pemerhati lingkungan dan sosial)