Namun, apakah adat selalu bisa diaminkan keberadaannya? Apakah adat selalu bisa menjadi tolok ukur keberadaban suatu daerah? Bagaima jika adat itu tidak sesuai dengan akal, pikiran dan perasaan kita?
Kekecewaan Kartini terhadap adat istiadat tertuang dalam suratnya yang dikirim kepada Nona Zeehandelar pada tanggal 22 mei 1899, "Kami gadis-gadis masih terantai kepada ada istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, ke luar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis ke luar rumah.Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah saya mesti masuk “tutupan”; saya di kurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami sebenarnya dengan tanpa setahu kami…"
Kartini kecil bingung ketika ditanya oleh salah seorang sahabatnya yang berketurunan belanda itu, "Mau kemana setelah kamu mendapat surat tamat belajar?" Pertanyaan ini menghantuinya sehingga ia pun segera menanyakannya kepada ayahnya, Ario Sosroningrat, yang saat itu menjabat sebagai bupati jepara, namun segera saudara Kartini menjawab, "Apa lagi kalo tidak menjadi raden ayu?" Mendengar jawaban tersebut giranglah hati Kartini dan dari pertanyaan ini pula semangat emansipasi Kartini Muncul.
Setelah mendapat surat tamat belajar, pertanyaan itu terus menghantuinya dan rasanya Kartini tidak menerima jika perempuan tidak bisa seperti laki-laki yang bisa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Ia pun bertekad untuk ingin mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya juga, ia menyampaikan inginnya kepada ayahnya, namun dengan berat hati ayahnya menolak keinginannya itu berdasarkan adat dan aturan yang turun menurun, tidaklah patut seorang perempuan menuntut pendidikan setinggi-tingginya.
Meskipun Kartini dalam hidupnya telah mendirikan sekolah perempuan di Jepara dan Rembang, namun perlu diketahui, Sekolah Perempuan di Jepara didirikan tanpa bantuan bupati-bupati karena pada saat itu bupati-bupati menolak ide Kartini utk mendirikan sekolah perempuan. Ia mendirikan Sekolah Perempuan dibantu oleh saudaranya.
Waktu bergulir tanpa jeda, Kartini yang dulu dianggap melawan adat istiadat, kini menjadi pahlawan, khususnya pahlawan bagi para perempuan Indonesia. Apa yang terjadi seandainya tidak ada sosok Kartini yang berani maju tampil di depan menyuarakan emansipasi, apa yang terjadi seandainya Kartini turut-turut saja dengan adat istiadat? Tentu kita dapat membayangkannya, bagaimana kondisi perempuan sekarang tanpa Kartini.
Kemarin Kartini bangkit melawan adat istiadat yang memarjinalkan perempuan. Perempuan sekarang juga mesti bangkit, bukan bangkit untuk mengutarakan kalau ia lebih hebat dari laki-laki, tapi bangkit mengutarakan kalau ia setara dengan dengan laki-laki.
Kartini telah tiada namun ia meninggalkan roh semangat emansipasi kepada perempuan-perempuan Indonesia, semangat emansipasi ini mesti dijaga dan diaktualisasikan sebagai bentuk pengakuan kita bahwa laki-laki dan perempuan itu setara. Perempuan di rumah sudah tidak berlaku di jaman sekarang, perempuan juga mesti keluar membantu dan mengurusi kepentingan-kepentingan orang banyak.
Tibalah saatnya perempuan tidak hanya menjadi penonton tapi ia telah masuk ke ring kehidupan yang luas dan bertindak secara langsung, membela apa yang layak dibela, mempertahankan apa yang layak dipertahankan serta memperbaiki apa yang mesti diperbaiki.
Terima kasih kartini!
Selamat hari Kartini!
Kaukah Kartini sekarang ?
Penulis: Wirajuddin, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab UINAM.