Sejumlah artis menggelar konser amal virtual melalui media sosial untuk mengumpulkan donasi, masyarakat pun demikian membuka sumbangan untuk membantu rakyat kecil yang sangat terkena dampak seperti membagi-bagikan makanan, demikian pula yang di lakukan IDI (ikatan dokter Indonesia) untuk membantu teman sejawat, untuk membeli alat pelindung diri.
Negara tak mau ketinggalan mereka membuka rekening khusus untuk penanganan Covid-19. Donasi yang terkumpul akan dikelola oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai leading sektor dari gugus tugas penanganan Covid-19 secara nasional. (Republika.co.id)
Wajar memang karena dibandingkan dengan sejumlah negara, stimulus fiskal dan dana penanganan Covid-19 yang dialokasikan Indonesia melalui APBN masih relatif kecil, yakni Rp 118,3 triliun-Rp 121,3 triliun, kurang dari 1 persen PDB atau produk domestik bruto. Australia misal mengalokasikan 10 persen PDB, Inggris Raya sebesar 4 persen PDB kerja atau Kanada mengalokasikan 3,6 persen PDB Perancis sebesar 2 persen PDB (bebas.kompas.id).
Bahkan menurut Menkeu Sri Mulyani, dana penanganan Covid-19 dari APBN saja tidak cukup. Indonesia tengah menggalang tambahan anggaran yang bersumber dari pinjaman bilateral dan multilateral, termasuk hibah. Memang IMF menyiapkan pinjaman darurat sebesar US$ 50 miliar bagi negara berpenghasilan rendah maupun berkembang yang membutuhkan bantuan untuk menangani virus corona sedang World bank menyiapkan pinjaman Rp 170 T untuk negara terdampak (katadata.co.id)
Sejumlah pakar ekonomi mengingatkan pemerintah jangan mengambil pinjaman tersebut karena akan menjadi jebakan utang di kemudian hari. Seperti Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun. "Saya minta Menteri Keuangan RI jangan menggunakan bantuan IMF dan World Bank untuk menanggulangi Covid-19,"Rabu (25/3/2020).
Banyak sumber dana yang bisa dimanfaatkan pemerintah ketimbang menerima bantuan pembiayaan dari lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Sejumlah sumber pendanaan bisa dioptimalkan oleh Menkeu antara lain Sisa Anggaran Tahun Lalu (SAL), akumulasi dari sisa anggaran tahun sebelumnya (SILPA)," kata Kamrussamad, Anggota Komisi XI DPR. Jakarta, Kamis (26/3/2020).
Pemerintah juga dapat memaksimalkan dana pungutan bea ekspor sawit di BPDPKS, dana lingkungan hidup di BPDLH, dana APBN dengan kode BA99 yang dikelola Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). Selanjutnya, ada juga dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang nilainya sekitar Rp 150 triliun, cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia (BI) yang sekitar US$ 130 miliar.
Namun sejumlah pihak menduga Corona adalah dalih Pemerintah 'peluk' IMF alasan ini menguat karena sebelumnya pemerintah optimis Indonesia zero Corona, namun setelah IMF mengumumkan akan mengucurkan dana barulah pemerintah mengakui ada temuan kasus di awal Maret. Padahal sejak Februari hasil riset tim peneliti dari Harvard menyebut sudah ada warga +62 yang terkena virus ini. Namun Menkes Terawan menolak mentah-mentah argumen tersebut.
Mengenai pinjaman yang di tawarkan IMF beberapa negara sudah mengantre untuk berutang termasuk Iran, ada 20 negara yang menunggu persetujuan IMF. Namun apakah Indonesia masuk dalam antrean atau tidak, IMF belum membuka data itu.
Sejak awal Corona bertandang di Indonesia pemerintah mulai mencari sumber dana penanganan dan penanggulangan dampak Covid-19. Dan mulai mengambil opsi mencari uluran tangan kepada negara lain yang siap membantu (utangan). Misal negara meminjam kepada Bank Dunia sebesar US$300 juta atau setara Rp4,95 triliun untuk menanggulangi dampak ekonomi karena Covid-19
Dari sini terlihat Negara tidak berpikir mandiri, berupaya sendiri menyelesaikan masalah negeri, begitu mudah meminta bantuan ke negara lain (meminta utangan). Padahal utang luar negeri yang berbasis ribawi itu mendatangkan segudang persoalan di kemudian hari.
Alih-alih membawa perbaikan kondisi ekonomi, pinjaman tersebut dengan dalih bantuan justru secara sistematis membukakan jalan untuk menghisap negara pengutang hingga bangkrut. Gelontoran utang akan terus-menerus dialirkan hingga negara penerima utang tidak lagi mampu membayar utangnya dan menuju kebangkrutan, maka pada posisi demikian negara penerima utang hanya memiliki nilai tawar yang rendah, setara dengan budak. Seperti yang dijelaskan Toussaint dan Millet, jebakan hutang merupakan agenda sistematis yang dilakukan negara atau lembaga multilateral rentenir untuk mengeksploitasi perekonomian negara lain. Dengan jalan ini negara pemberi utang akan menuntut negara penerima untuk menjalankan agenda liberalisasi.
Di Indonesia Liberalisasi sudah kental terasa seperti liberalisasi SDA, dan bidang lainnya seperti bidang listrik dan infrastruktur. Itu semua karena efek domino dari jebakan utang (IMF dan world bank) yang lalu. Ini semua adalah cara lama yang di mainkan negara pemberi pinjaman utang baik negara ataupun lembaga keuangan dunia. Merekalah yang menyetir negara penerima utang. Inilah yang di sebut penjajahan gaya baru. Neo imperialisme.
Inilah bahaya laten, di anggap bantuan ternyata 'vampir' yang siap mengisap kekayaan negara. Penerapan sistem demokrasi-sekuler lah yang menjadi biang, beranggapan pinjaman sebagai sebuah solusi padahal hanya ilusi. Karena sistem ini sangat mencolok dalam pengaturan ekonominya. Di mana Kapitalis lah yang menjalankan roda ekonomi. Sedang peran negara hanya regulator yang bertugas membuat regulasi untuk kemudahan pemilik modal (Kapitalis).
Sedang dalam pandangan Islam Allah ‘Azza wa Jalla melarang memberikan jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman dalam firman-Nya:
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Namun realitasnya kini negeri ini dalam cengkeraman asing. Maka satu-satunya jalan adalah menyingkirkan sistem Kapitalis yang bercokol di negeri ini. Agar negara bisa mandiri menjalankan sistem ekonomi yang sesuai dengan syara' bebas transaksi ribawi.
Pengelolaan harta yang benar membuat negara mempunyai harta yang cukup. Karena anggaran pendapatan negara tak lagi mengandalkan utang dan pajak. Tapi sumbernya berasal dari Beberapa sumber yaitu fai', ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, usyur, khumus, rikaz, zakat dan hasil dari SDA. Penguasa menjalankan pengurusan umat karena landasan keimanan, bukan lagi untung rugi seperti pola pikir pengusaha.
Penulis: Syarifah Ashillah, (Aktivis Muslimah Penajam)