Riska Malinda, S.Kom. Anggota Tim Komunitas Aktif Menulis |
Pelaksanaan Kartu Prakerja 2020 merupakan implementasi Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Re-Focusing kegiatan, Realokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa untuk Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Pasalnya pemerintah menaikkan alokasi anggaran untuk Kartu Prakerja menjadi Rp 2 triliun dan menambah jumlah penerima menjadi 5,6 juta orang. Pakar Ekonomi muda Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira menilai konsep Kartu Prakerja terlalu dipaksakan dan tidak sesuai dengan kondisi. Menurutnya masyarakat korban PHK masal tidak perlu dilatih secara online, di masa pandemi ini masyarakat lebih membutuhkan bantuan langsung tunai ketimbang mengikuti pelatihan online.
“Ada banyak masalah ya yang pertama terkait kesesuaian konsep dengan kondisi saat ini di mana kartu Prakerja sama sekali tidak bisa menyelesaikan korban PHK, dan proses yang dilakukan itu seharusnya bukan pelatihan secara online tapi bantuan langsung tunai karena korban PHK itu butuh bantuan makanan dan uang tunai,” terangnya (Kompas.com,19/4/2020).
Hal ini juga membuat Sekretaris Jenderal PAN, Eddy Soeparno angkat bicara, dirinya menilai bahwa program Kartu Prakerja di tengah wabah pandemi covid-19 tidak tepat. "Sekarang ini kita justru ingin membantu mereka yang kehilangan pekerjaan. Ini (pemberian Kartu Prakerja) tidak tepat," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR ini. Menurutnya, langkah yang paling tepat untuk membantu masyarakat saat ini adalah dengan memberikan bantuan lansung tunai untuk meningkatkan dunia usaha.
"Kalau memang Pemerintah ingin memberikan bantuan kepada pekerja informal yang terdampak pandemi, (Kartu) Prakerja ini bukan menjadi salah satu faktor yang dibutuhkan, karena yang dibutuhkan oleh pekerja informal ini adalah bantuan langsung," kata Wana dalam sebuah diskusi yang digelar ICW, Jumat (17/4/2020).
Dana APBN yang digelontorkan untuk program pemerintah kali ini tidak hanya untuk pendaftar Kartu Prakerja semata. Pemerintah bekerjasama dengan delapan mitra kerja yang dianggap mampu melatih skill masyarakat. Bahkan upah pelatihan yang diberikan kepada lembaga-lembaga tersebut dinilai cukup besar yaitu Rp 1 juta per orang.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKopi, dengan jumlah uang sebanyak itu pemerintah akan lebih membantu masyarakat jika dana tersebut diberikan secara tunai. Kunto menilai bahwa akar masalahnya bukan karena masyarakat tidak memiliki skill tapi karena memang tidak ada perusahaan yang mampu menampung akibat krisis ekonomi.
"Kalau untuk Covid, sudahlah pakai program yang langsung duit saja, untuk meredakan efek Covid di akar rumput," ujar Dosen Manajemen Komunikasi Universitas Padjajaran tersebut (CNNIndonesia, 17/04/2020).
Tidak mengherankan jika dalam pemerintahan kapitalis banyak terjadi conflict of interest di kalangan pejabat publik yang memegang amanah kepemimpinan. Saat kondisi krisis sekalipun pemerintah justru eman untuk memberikan bantuan secara cash transfer kepada para pekerja yang terdampak, khususnya pekerja informal. Solusi pemerintah dalam kondisi yang genting seperti ini tidak efektif. Terlihat jelas bahwa pemerintah tidak ingin menjadi rugi, dan lebih memprioritaskan program kerja janji-janji kampanye, serta menutup mata dari kebutuhan dasar masyarakat.
Negara memberikan kompensasi untuk melepaskan segala urusan bisnis di luar tanggung jawab sebagai pejabat negara. Tenaga, pikiran dan jasa mereka dibayar dengan upah yang diberikan oleh negara. Kebutuhan dasar mereka dipenuhi sehingga mereka fokus untuk mengurus rakyat.
Kontrol yang ketat dilakukan oleh struktur tertinggi kepada struktur dibawahnya, termasuk pengawasan terhadap memanfaatkan jabatan dan posisinya untuk kepentingan bisnisnya, keluarga dan mitranya. Mereka saling bertanggung jawab atas amanah yang diberikan. Semua ini tentu dilakukan berdasarkan keimanan kepada Alloh SWT.
Kala itu, Umar bin Khaththab pernah berpesan kepada walinya Abu Musa al-Asy'ari melalui surat, “Kamu jangan sekali-kali melakukan jual-beli.” ('Abdurrazzaq, al-Mushannaf, Juz VIII/300). Umar pun dengan tegas mengingatkan Abu Hurairah yang sibuk berbisnis, sedang ia adalah seorang wali yang dikirim ke Bahrain. Abu Hurairah dianggap terlalu sibuk mengurus urusan yang bukan menjadi alasan dia diangkat sebagai wali. Bahkan Umar menimpali dengan perkataan, “Bisnis amir (penguasa) itu merupakan kerugian.” (al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra).
Islam selalu memiliki solusi-solusi cemerlang untuk mengurusi urusan rakyat. Karena hukum Islam bukanlah buah pemikiran manusia, hukum Islam berasal dari Sang Pencipta. Setiap aturan yang memancar dari Islam benar-benar bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi rakyat. Mekanisme yang lahir dari aturan Islam membentuk jiwa kepemimpinan yang berwibawa. Wallahu'alam.
Penulis: Riska Malinda, S.Kom.