Lorong Kata - Mahasiswa, tersemat pada mereka yang berhasil lanjut pada jenjang perguruan tinggi. Bagi sebagian orang ini suatu kebanggaan, bagi sebagian lainnya ini sebuah beban. Bagimu, apa?
Mahasiswa, dari rumah membawa banyak petuah dan nasehat. Sampai rantauan terlupa begitu saja. Banyak bicara tapi tak tahu apa yang dibicarakan. Banyak berjalan tapi tak memberi manfaat apa-apa.
Seorang teman pernah berkata padaku, “Jadi mahasiswa tidak mudah, kawan.”
Terlepas dari di mana tempatmu menimba ilmu. Saat kau kenakan almamater sebagai identitas, saat itulah sebuah tanggung jawab besar tersampir padamu. Tapi sayang, seringnya dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan sosial media bagi pemiliknya. Berpose rapi dengan senyum berseri disertai caption motivasi tanpa nyata berkontribusi.
Kembali ke kampung halaman enggan untuk mengakrabkan diri. Sukar melebur bersama kegiatan masyarakat. Sekalinya ikut terlibat, lensa kamera tak lepas dari genggaman. Dokumentasi, katanya. Belum sepenuhnya usai kegiatan sudah tersebar luas potret dirinya. Seolah sengaja memberitahukan pada siapa saja bahwa dirinya tengah melakukan hal besar.
Mahasiswa dituntut untuk provokatif dan proaktif. Setiap harinya perubahan terjadi di sekitar kita. Yang jadi pertanyaan, “Sudahkah kita ambil bagian dari jejak pendapat dan perubahan itu?”
Mahasiswa, Langkah remaja telah gugur. Menjadi dewasa adalah sebuah keharusan. Mahasiswa harus kritis. Kamu melempar argumen, kamu menggenggam solusi.
Dan juga, sertakan beberapa pertanyaan ini untuk diri.
Sebagai seorang ‘Mahasiswa’, lebih banyak mengacungkan tangan untuk bertanya dan menanggapi atau diam-diam memotret suasana kelas sebagai bahan updetan di sosial media?
Lebih sering mendekam dalam perpustakaan guna menyelesaikan tugas atau berkunjung ke kedai kopi yang lagi-lagi sebagai ajang pamer di sosial media semata?
Boros kuota internet untuk browsing materi kuliah atau untuk kebutuhan sosial media? Entah untuk sekedar membuang jenuh atau justru membuang-buang waktu.
Tak perlu bersuara keras, menjawabnya cukup diam-diam saja
Penulis: Nurul Durotul Jannah, Jakarta Selatan.
Mahasiswa, dari rumah membawa banyak petuah dan nasehat. Sampai rantauan terlupa begitu saja. Banyak bicara tapi tak tahu apa yang dibicarakan. Banyak berjalan tapi tak memberi manfaat apa-apa.
Seorang teman pernah berkata padaku, “Jadi mahasiswa tidak mudah, kawan.”
Terlepas dari di mana tempatmu menimba ilmu. Saat kau kenakan almamater sebagai identitas, saat itulah sebuah tanggung jawab besar tersampir padamu. Tapi sayang, seringnya dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan sosial media bagi pemiliknya. Berpose rapi dengan senyum berseri disertai caption motivasi tanpa nyata berkontribusi.
Kembali ke kampung halaman enggan untuk mengakrabkan diri. Sukar melebur bersama kegiatan masyarakat. Sekalinya ikut terlibat, lensa kamera tak lepas dari genggaman. Dokumentasi, katanya. Belum sepenuhnya usai kegiatan sudah tersebar luas potret dirinya. Seolah sengaja memberitahukan pada siapa saja bahwa dirinya tengah melakukan hal besar.
Mahasiswa dituntut untuk provokatif dan proaktif. Setiap harinya perubahan terjadi di sekitar kita. Yang jadi pertanyaan, “Sudahkah kita ambil bagian dari jejak pendapat dan perubahan itu?”
Mahasiswa, Langkah remaja telah gugur. Menjadi dewasa adalah sebuah keharusan. Mahasiswa harus kritis. Kamu melempar argumen, kamu menggenggam solusi.
Dan juga, sertakan beberapa pertanyaan ini untuk diri.
Sebagai seorang ‘Mahasiswa’, lebih banyak mengacungkan tangan untuk bertanya dan menanggapi atau diam-diam memotret suasana kelas sebagai bahan updetan di sosial media?
Lebih sering mendekam dalam perpustakaan guna menyelesaikan tugas atau berkunjung ke kedai kopi yang lagi-lagi sebagai ajang pamer di sosial media semata?
Boros kuota internet untuk browsing materi kuliah atau untuk kebutuhan sosial media? Entah untuk sekedar membuang jenuh atau justru membuang-buang waktu.
Tak perlu bersuara keras, menjawabnya cukup diam-diam saja
Penulis: Nurul Durotul Jannah, Jakarta Selatan.