"Kebebasan Seseorang Untuk Mengakses Ilmu Pengetahuan Menjadi Batu Loncatan Untuk Menghilangkan Krisis Epistemologi Di dalam Suatu Negara"
(Muh.Nurhidayat.S)
Lorong Kata - Maraknya letupan gerakan dalam suatu negara tidak terlepas dari lahirnya sikap sosio diskriminatif yang di perbuat oleh kelas yang berkuasa atau kelas dominasi. Perjalanan sosial juga mencatatkan berbagai macam rentetan historis tentang sebuah perjuangan seseorang yang menginginkan terciptanya suatu keadilan dalam negara tanpa adanya sikap sosio diskriminatif. Sikap semacam itu menjadi factor pemicu sehingga keadilan itu tidak tercapai. Maka dengan tidak tercapainya khitah negara maka lahir pula sebuah gerakan untuk memperjuangkan khitah tersebut.
Harus kita pahami juga secara seksama bahwa dalam melakukan ikhtiar mewujudkan khitah negara, berbagai macam paham yang kemudian dijadikan sebuah landasan gerak semisal nasionalisme, sosial-komunisme bahkan anarkisme. Itu adalah beberapa paham yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga seseorang karena sepanjang perjalanan yang tercatatkan sering kali dijadikan bahan diskusi apalagi di kalangan intelektual dan paham ini memiliki potensi besar untuk melengserkan kekuasaan yang berpaham otoriterisme.
Itu beberapa point di atas yang menjadi pengantar kita agar dapat berfikir secara akal sehat dan keluar dari kedungunguan seperti yang sering di gaungkan oleh salah satu tokoh yaitu Rocky Gerung dalam berdiskusi. Sekarang kita membuat sebuah eksperimen dalam siklus berfikir kita agar tidak terjerumus pada corak berfikir yang di konstruk oleh para kelas yang hanya ingin membuat kekacauan di tengah masyarakat seperti memanipulasi sebuah paham ataupun gerakan. Kita membuat simulasi untuk menggambarkan sebuah proses manipulasi dan menghilangkan sejarah yang pernah terjadi.
“Ada sebuah pulau yang bernama pulau keadilan, di tempat itu terdapat ratusan orang yang notabenenya ingin hidup secara damai tanpa ada sebuah kekacauan di dalamnya. Di pulau itu kaya akan sumber daya alam dan pergunakan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan sehari-harinya secara kolektif. Karena ratusan orang yang tinggal di pulau itu dan kaya akan sumber daya alam maka ada pemerintahan yang mengatur agar pulau tersebut tetap dalam rana stabilitas. Tetapi lain hal yang kemudian di rasakan masyarakat disana, bahwa pemerintah sangat tidak berkeadilan dan hanya menghisap kesejahteraan masyarakat. Maka beberapa orang berinisiasi untuk mengkonstruk sebuah gerakan dengan nama (merakyat) serta mobilisasi secara besar-besaran untuk melakukan sebuah perlawanan terhadap pemerintah. Tetapi gerakan yang di buat saat itu tidak berhasi mencapai tujuannya yaitu kesejahteraan masyarakat karena pemerintahan di pulau keadilan ternyata cukup cerdik dalam menangani gerakan tersebut. Cara yang dilakukan adalah melemparkan issu-issu yang mampu memecah belah orang yang temobilisasi di gerakan itu.
10 (sepuluh) tahun kemudian, lahirlah generasi-generasi baru di pulau keadilan tersebut. Pemerintah yang mampu merawat kekuasaannya sampai sepuluh tahun, turun ke tengah masyarakat dan bertemu dengan para generasi baru untuk menceritakan sejarah yang pernah terjadi di pulau tersebut. Dalam pidatonya, ia mengatakan bahwa “ dulu di pulau keadilan ada beberapa kelompok yang mengatas namakan dirinya (Merakyat) berusaha membuat sebuah kekacauan karena mereka ingin merampok seluruh kekayan alam di pulau ini “, para generasi baru pun percaya dengan ucapan pemerintah pada saat berpidato sehingga generasi baru pun tidak menyukai kelompok (Merakyat) yang di ceritakan pemerintah “.
Itu adalah simulasi yang menggambarkan proses manipulasi sejarah agar kebobrokan pemerintahannya tidak tercium oleh rakyat.
Saat ini di Indonesia khususnya, elit kekuasaan, aparatur negara bahkan masyarakat secara kolektif memperbincangkan salah satu gerakan yang berpaham Anarkisme. Paham ini cukup menjadi perbincangan hangat karena dianggap sebagai bentuk gerakan yang ingin membuat kerusuhan, kekerasan dll.
Seseorang yang berpandangan sedemikian, mengalami krisis epistemologi dan tidak mampu mereaktivitaskan cakrawala berfikirnya. Kita tarik pada rentetan historis yang pernah terjadi, apa uyang melandasi sehingga mencul gerakan-gerakan anarkisme ini.
Dalam sejarahnya bahwa lahirnya anarkisme karena disebabkan ada suatu kondisi yang kemudian sangat bertentangan dengan masyarakat dan menghisap kesejahteraan masyarakat dan kondisi tersebut di ciptakan oleh negara itu sendiri. Makanya kaum yang sering mengatasnamakan dirinya sebagai anarko tidak menginginkan yang namanya pemerintahan. Artinya bahwa kelahiran gerakan kaum anarko ini memiliki sebuah tujuan yang mulia yaitu kesejahtraan dalam masyarakat.
Salah satu tokoh yang sering di sebut-sebut namanya dalam diskusi terkait dengan anarkisme yaitu Alexander Berkman, ia lahir pada 21 November 1870 di Wilno (Vilnius) dan meninggal pada 28 juni 1936 di nice prancis. Daerah kelahirannya pada saat itu menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia serta pada masa itu juga kita bisa katakan bahwa rusia sedang berada dalam zaman kegelapan.
Tahun 1870-an juga menjadi saksi bangkitnya aksi-aksi teror melawan Tsarisme dan yang kebanyakan terlibat pada saat itu adalah kelas buruh. Semasa hidupnya ia dikenal juga sebagai seorang penulis serta aktivis dan pernah di usir secara paksa meninggalkan rusia. Karena berkman di usiar dari rusia, iya kemudian ke amerika serikat yaitu pada tahun 1888 dan di sana berkman menjadi seorang anggota terkemuka dari sebuah gerakan anarkis. Ia sangat akrab dengan emma goldman yaitu salah satu tokoh anarki juga dan berkman sering berkolaborasi dengan emma goldman untuk melakukan kampanye terkait dengan hak-hak sipil serta mengakampanyekan juga terkait dengan anti peperangan.
Alexander berkman juga pernah menulis buku yang berjudul ABC Anarkisme (The ABC of Anarchism) pada bulan Mei 1942 oleh Freedom Press namun tanpa bagian pertama. Buku tersebut di reproduksi kembali sebanyak empat kali dan kata serta frasenya tidak berubah. Buku tersebut kini telah menjadi sebuah dokumen sejarah bahkan George Woodcock telah menyebutnya sebagai sebuah karya mungil klasik literatur libertarian.
Di dalam buku tesebut banyak membahas terkait dengan perjuangan-perjuangan kaum anarki, seperti sejarah yang pernah terjadi di amerika serikat khusunya di Chicago yang notabenenya subur akan propaganda revolusioner dan paling sedikit 3000 orang anarkis di kota itu.
Dalam bukunya menjelaskan bahwa pernah terjadi letupan gerakan buruh yang menuntut kerja delapan jam dan hampir 70.000 buruh melakukan mogok kerja pada saat itu. ada salah satu perusahaan di sana yang bernama McCormick Harvester Works yang melarang buruh-buruhnya untuk masuk pabrik serta menyewa para buruh pengkhianat dan pembelot (scabs and blacklegs) serta 300 juru tembak Pinkerton untuk melindungi mereka.
Para buruh yang kemudian sering melakukan pertemuan-pertemuan atau konsolidasi secara rutin kemudian dibubarkan oleh apparat kepolisian. Tanggal 3 Mei mereka menembaki massa dan membunuh sejumlah orang dan kemudia berlanjut pada hari berikutnya buruh kemudian melakukan lagi sebuah pertemuan untuk aksi protesnya yang akan diadakan di Lapangan Haymarket (Haymarket Square), tetapi ketika hari mulai hujan dan massa mulai bubar, 200 orang polisi berbaris memasuki lapangan tersebut.
Pada saat itulah, sebuah bom dilempar ke arah polisi dari pinggir jalan. Polisi mulai menembaki massa sehingga terdapat gerakan spontan dari massa aksi yaitu menembak balik ke arah polisi sampai pada akhirnya tujuh orang polisi terbunuh atau tewas dan sekitar 20 sampai 30 orang buruh juga terbunuh oleh polisi.
Setelah kejadian itu, banyak kaum anarkis Chicago yang ditangkap dan delapan anarkis revolusioner terkemuka termasuk Parsons dan Spies diadili dengan kasus pembunuhan. Banyak pihak yang menuntut namun tidak mampu memberikan bukti bahwa merekalah yang telah melemparkan bom, para penuntut itu hanya memusatkan perhatian kepada keyakinan anarkis dan pernyataan keras mereka. Tujuh orang kemudian divonis hukuman mati dan pada tanggal 11 November 1887, empat di antaranya digantung dan yang lain dipenjara. Beberapa tahun kemudian setelah ada peninjauan ulang terhadap kasus tersebut dan penegak hukum tidak menemukan bukti apapun bahwa para anarkis yang dituduh itu telah terlibat, merekapun dibebaskan. Namun Parsons, Spies dan dua kawan mereka telah dibunuh secara hukum oleh Negara.
Rentetan kejadian tersebut tersebut di atas adalah tesis yang kemudian di tuliskan alexander berkman dalam bukunya ABC Anarkisme pada halaman awal buku tersebut. Ketika kita mengeneralisasikan persoalan-persoalan di atas bahwa gerakan anarkisme adalah sebuah gerakan yang kemudian memperjuangkan hak-hak seseorang. Singkatnya bahwa dalam memandang sebuah gerakan kita harus melihat orientasi yang kemudian dia bawah.
Sekarang paradigma atau corak berfikir seseorang itu kemudian hanya mampu melihat secara apa yang terjadi di hadapannya bahkan hanya mendengarkan dari berbagai macam sumber tanpa mampu melirik bagaimana anarkisme secara historis. Semisal yang banyak kita dapatkan di kalangan masyarakat bahwa mereka memandang anarkisme sebagai bentuk dari kekerasan, ketidak teraturan bahkan kerusuhan dan tidak manusiawi.
Saya mengutip kembali pada tesis yang tuliskan oleh alexander berkman, dalam bukunya mengatakan bahwa anarkisme bukanlah ketidak teraturan, kekerasan dll melainkan sebagai keteraturan dan keadilan tanpa kekerasan. Atau kita coba mengikuti logikanya mereka yang menafsirkan anarkisme kelain arah.kita buat simulasi kemabali,
“Dalam Suatu Negara terdapat peredaran narkotika jenis sabu-sabu, pelakunya adalah warga negaranya sendiri dan dia diketahui oleh aparatur negara kemudia anak itu di tangkap dan dipenjarakan. Dalam persidangannya dia di vonis hukuman mati dan mengharuskan dirinya untuk di tembak mati. Seminggu kemudian ia di bawah ketempat hukuman mati atau ketempat eksekusi dan tak lama kemudian eksekusi dijalankan hingga nyawa seseorang itu lenyap “
Dari simulasi di atas, apa kira-kira yang seseorang akan pikirkan? tentunya sebagian akan mengatakan bahwa eksekusi terhadap anak tersebut sudah tepat karena itu dari perilakunya yang menjadi seorang bandar narkoba apalagi berpotensi besat akan merusak generasi-generasi bangsa selanjutnya.
Tetapi bagaimana dengan hak asasi manusia, apakah itu tidak melanggar hak asasi seseorang atau tidak melanggar? Siapa yang berani menjawabnya, kalaupun semisal saya menjawab dengan mengatakan bahwa itu melanggar hak asasi manusia karena hak asasi itu melakat dalam diri manusia, jadi alasan apapun itu dia tidak berhak untuk di eksekusi.
Oke, semisal itu melanggar, apakah ada orang yang mampu berargumen bahwa orang yang mengeksekusi anak tersebut adalah juga sebagai kaum anarko?, tentunya kalian akan kebingungan menjawab pertanyaan tersebut. Makanya ketika ingin mengatakan ataupun melontarkan sesuatu, liriklah bagaimana secara historisnya barang tersebut.
Belum lagi persoalan-persoalan di negara Indonesia, masyarakat kini di hebohkan dengan pemberitaan bahwa pada tanggal 18 april 2020 kelompok anarko akan melakukan penjarahan se-pulau jawa. Itu juga di beritakan oleh salah satu media nasional terpercaya yaitu CNN Indonesia dengan judul berita POLDA: Anarko Rancang Penjarahan Se-Pulau Jawa Pada 18 April. Dalam berita itu Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana menyebut kelompok anarko tengah menyusun skenario agar tercipta penjarahan di sejumlah wilaya di pulau jawa saat wabah virus corona berlangsung.
"Pada 18 april 2020 mereka berencana melakukan aksi besar-besaran di pulau jawa,vandalism, tujuannya menciptakan keresahan dan memanfaatkan masyarakat untuk melakukan keonaran hingga penjarahan,” Ujar Nana dalam konferensi pers, Sabtu (11/4). Itu yang tertulis dalam berita CNN Indonesia.
Sudah ada beberapa yang tertangkap katanya, ia di tangkap di kafe egaliter di wilayah kota Tangerang diamtaranya mahasiswa, pelajar SMA, ataupun pengannguran. Bukan hanya CNN Indonesia yang memberitakan hal tersebut, beberapa media online yang lainnya memberitakan hal yang sama. Beberapa barang bukti yang di sita oleh polisi yaitu buku bacaan yang berjudul Aksi Massa karya Tan Malaka, Corat-Coret Di Toilet karya Eka Kurniawan.
Ketika saya membuat eksperimen dalam berfikir terkait dengan pemberitaan tersebut, justifikasi bahwa kaum anarko yang kemudian ingin melakukan penjarahan itu sangat bertentangan dalam cakrawala berfikir saya. Landasan pemikiran sudah saya paparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya bahwa kaum anarko tidaklah sekeji itu apalagi ingin melakukan penjarahan di tengah hangatnya pandemic korona virus ini.
Sejarah pun telah melukiskan bagaimana sebetulnya gerakan-gerakan yang di bangun oleh kaum anarko itu sendiri. Kalaupun semisal betul-betul ada yang ingin melakukan penjarahan, mereka bukanlah kalangan anarko melainkan perampok yang terstruktur. Sama halnya ketika ada seseorang yang berjalan menggunakan simiotik-simiotik anarko misalnya berpakaian serba hitam, menggunakan rantai di dompetnya, menggunakan penutup wajah dan mahir menggambar atau melukis huruf “A” dalam lingkaran kemudian iya langsung di cap sebagai anarko. Seseorang yang kemudian terlalu cepat menjustifikasi sesuatu adalah orang yang mengalami krisis epistemology dan salah satu Manipulator Overaktif.
Persoalan selanjutnya, buku bacaan yang di sita dan di jadikan tolak ukur atau barang bukti sangatlah tidak masuk akal. Hal ini pernah terjadi juga di tahun 2019 kemarin, penyitaan-penyitaan buku kiri yang di lakukan oleh beberapa oknum sangatlah tidak mencerminkan sebuah tindakan yang menginginkan seseorang keluar dari krisis epistemology tersebut.
Karena kita ketahui secara bersama bahwa buku apa pun itu adalah salah satu media seseorang untuk mengasah wawasan berfikirnya serta ingin mengetahui bahagaimana sejarah yang pernah terjadi di negaranya bahkan di dunia. Ketika terdapat pembatasan-pembatasan seperti demikian (Bacaan Buku) maka rezim yang bersifat otoriteris atau para cukong yang duduk di bangku pemerintahan akan sangat mudah melakukan infiltrasi untuk pemenuhan profit secara individual karena semua generasi akan berada dalam lingkup krisis epistemology serta akan mudahnya lahir manipulator yang overaktif.
Masyarakat sudah mengetahui juga bahwa salah satu fungctional state yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi pembatasan bacaan buku ini sudah keluar dari fungctional state tersebut. Salah satu hal pula yang kemudian di jadikan sebagai tolak ukur negara bisa maju yaitu bagaimana pendidikan di dalam negara itu sendiri.
Penulis : Muh.Nurhidayat.S (Kader Dari Gerakan Rakyat Dan Mahasiswa Indonesia disingkat Gerak Misi)