Lorong Kata - Keberuntungan, bertemunya persiapan dan kesempatan membuahkan hasil yang kita sebut dengan keberuntungan (Anthony Robbins). Kesempatan dalam kesempitan lagi-lagi menjadi potret yang ditampilkan pemerintah saat situasi pandemi Covid-19 pada sebagian orang yang beruntung dalam pandemi saat ini.
Kondisi negeri saat virus yang dikenal dengan nama Covid-19 atau corona menyerang Indonesia, hampir semua masyarakat tanah air merasakan dampaknya. Persoalan berdatangan baik dari sisi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Pun tak luput dari permasalahan yang harus dihadapi pemerintah dan masyarakat yang menuntut keadilan, seperti pemenuhan kebetuhan hidup di tengah wabah virus corona.
Namun kegagalan penguasa terus tampak di hadapan rakyatnya. Harapan yang ditumbuhkan rakyat untuk sebuah keadilan belum terealisasi pada mereka. Peran pemerintah seakan menghilang, seolah tutup mata dengan permasalahan dan kejadian yang terjadi di tengah wabah negeri ini. Setiap hari jumlah kasus baru terus betambah, raut wajah ketakutan masyarakat senantiasa membumi. Namun tidak untuk para napi koruptor yang mendapatkan keistimewahan karena merasakan udara segar keluar dari jeruji besi.
Aparatur negara sebagai pelaksana setiap permasalahan atau yang memengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat, sudah menjadi keharusan untuk mengurus secara penuh persoalan tersebut. Namun, keberpihakan penguasa tidak sebanding dalam menangani kasus pandemi virus corona dengan penanganan pembebasan para napi. Letak kepedulian penguasa dalam menghadapi wabah belum benar-benar hadir bahkan seakan menghilang. Saat kesedihan dan ketakutan masih bertumpah ruah dan menghantui setiap jiwa masyarakat, saat yang bersamaan pula penguasa malah sibuk membuat undang-undang baru untuk para napi yang terlihat jauh peduli dan sigap dalam kepengurusannya.
Wajah Pemerintah Mengatasi Covid-19
Kementerian Hukum dan HAM yang dipimpin oleh Yasonna H. Laoly tengah menggalakkan program asimilasi dan integrasi guna mengantisipasi penularan virus corona di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang melebihi kapasitas. Kemenkumham menargetkan sekitar 30.000 hingga 35.000 narapidana dapat keluar dan bebas melalui asimilasi dan integritas.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut sedikitnya 22 narapidana korupsi mulai dari Oce Kaligis, Suryadharma Ali hingga Setya Novanto berpotensi bebas lebih cepat jika Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly merealisasikan rencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Sesuai prosedur revisi PP itu harus melalui persetujuan Presiden Joko Widodo. https://www.cnnindonesia.com, Sabtu (4/4)
Kementerian Hukum dan HAM juga mengklaim telah menghemat anggaran negara untuk kebutuhan warga binaan pemasyarakatan hingga Rp260 miliar. Penghematan itu terjadi setelah 30 ribu narapidana mendapatkan asimilasi di rumah serta mendapat hal integritas berupa pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. https://tirto.id Rabu (1/4)
Kejadian yang cukup signifikan untuk sigap dalam kepengurusan pembebasan narapidana berbeda wajah saat pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan masyarakat banyak. Bagaimana tidak, pemerintah lambat dan seakan acuh jika berbicara kelanjutan pandemi yang melibatkan masyarakat banyak. Setiap hari informasi yang didapatkan rakyat hanyalah terus bertambahnya korban positif corona dan kebijakan yang terus terubah-ubah. Tak ada keseriusan di wajah pemerintah dalam mengurusi wabah tersebut.
Dikeluarkannya para narapidana bukanlah solusi atau kebijakan yang harus diberi apresiasi atas kerja pemerintahan, melainkan gagalnya sebuah hukum dalam mengurusi dan memperlambat laju aksi kejahatan di negeri ini. Alih-alih menjadikan Covid-19 sebagai alasan pemerintah untuk mengurangi kapasitas para penjahat dalam jeruji besi dengan pertimbangan menentang penyebaran virus, pemerintah justru membuka jalan untuk membebaskan para perampok uang rakyat. Padahal, hal itu bukanlah suatu langkah yang tepat, karena pada dasarnya protokol kesehatan juga bisa dilakukan di dalam lapas. Kebijakan ini justru bisa memunculkan masalah baru berupa peluang tindakan kriminal yang bisa dilakukan para mantan narapidana di tengah kondisi ekonomi yang buruk.
Kecatatan atas keadilan terus ditampilkan di hadapan khalayak oleh pemerintah hingga mengahadirkan polemik yang menjadi perhatian di tengah-tengah masyarakat. Harapan rakyat untuk sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi mereka dan cepat terbebas dari ketakutan serangan virus corona tidak tampak, hanya ada kejelasan konferensi pers perubahan kebijakan yang terus terlihat.
Kesempurnaan Islam Mengatasi Masalah
Berbeda halnya dengan sistem sekuler, sistem sanksi dalam Islam memiliki bentuk hukuman yang menjerakan. Misalnya, potong tangan bagi pencuri, qishas bagi pembunuhan yang disengaja, rajam bagi pezina, dan lain sebagainya. Gambaran umum Islam dalam menanggulangi sebuah masalah tidak menguntungkan sebagian pihak karena merujuk pada hukum syariat.
Islam mengatasi masalah tanpa menghadirkan masalah baru, sebagaimana Islam menjaga tubuh manusia dengan makan, minum dan tingkah lakunya. Sehingga, kemungkinan masuknya masalah dalam negeri Islam sangat kecil, karena terjaganya harta dan darah umat yang hidup dalam naungan Islam. Dalam Islam, makanan umat terjaga oleh standar halal-haram, sehingga menjadi pijakan apa yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan.
Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, wabah masuk menyerang negeri muslim. Umar bin Khattab kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan demi menyelamatkan umatnya. Khalifah menyuruh orang-orang untuk tidak masuk ke daerah pusat wabah (lockdown). Sementara orang-orang dalam wilayah tersebut tidak diharuskan keluar dari wilayah tersebut. Artinya, dalam kepemimpinan Islam kebutuhan setiap umat senantiasa terjaga dalam kondisi apa pun. Harta dan jiwa mereka senantiasa dilindungi oleh negara, bukan malah menjadikan rakyatnya sebagai tumbal pada wabah yang menyerang. Wallahu’alam bisshawab
Penulis: Lisa Angriani, (Pemerhati Sosial, Moramo, Sulawesi Tenggara)
Kondisi negeri saat virus yang dikenal dengan nama Covid-19 atau corona menyerang Indonesia, hampir semua masyarakat tanah air merasakan dampaknya. Persoalan berdatangan baik dari sisi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Pun tak luput dari permasalahan yang harus dihadapi pemerintah dan masyarakat yang menuntut keadilan, seperti pemenuhan kebetuhan hidup di tengah wabah virus corona.
Namun kegagalan penguasa terus tampak di hadapan rakyatnya. Harapan yang ditumbuhkan rakyat untuk sebuah keadilan belum terealisasi pada mereka. Peran pemerintah seakan menghilang, seolah tutup mata dengan permasalahan dan kejadian yang terjadi di tengah wabah negeri ini. Setiap hari jumlah kasus baru terus betambah, raut wajah ketakutan masyarakat senantiasa membumi. Namun tidak untuk para napi koruptor yang mendapatkan keistimewahan karena merasakan udara segar keluar dari jeruji besi.
Aparatur negara sebagai pelaksana setiap permasalahan atau yang memengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat, sudah menjadi keharusan untuk mengurus secara penuh persoalan tersebut. Namun, keberpihakan penguasa tidak sebanding dalam menangani kasus pandemi virus corona dengan penanganan pembebasan para napi. Letak kepedulian penguasa dalam menghadapi wabah belum benar-benar hadir bahkan seakan menghilang. Saat kesedihan dan ketakutan masih bertumpah ruah dan menghantui setiap jiwa masyarakat, saat yang bersamaan pula penguasa malah sibuk membuat undang-undang baru untuk para napi yang terlihat jauh peduli dan sigap dalam kepengurusannya.
Wajah Pemerintah Mengatasi Covid-19
Kementerian Hukum dan HAM yang dipimpin oleh Yasonna H. Laoly tengah menggalakkan program asimilasi dan integrasi guna mengantisipasi penularan virus corona di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang melebihi kapasitas. Kemenkumham menargetkan sekitar 30.000 hingga 35.000 narapidana dapat keluar dan bebas melalui asimilasi dan integritas.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut sedikitnya 22 narapidana korupsi mulai dari Oce Kaligis, Suryadharma Ali hingga Setya Novanto berpotensi bebas lebih cepat jika Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly merealisasikan rencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Sesuai prosedur revisi PP itu harus melalui persetujuan Presiden Joko Widodo. https://www.cnnindonesia.com, Sabtu (4/4)
Kementerian Hukum dan HAM juga mengklaim telah menghemat anggaran negara untuk kebutuhan warga binaan pemasyarakatan hingga Rp260 miliar. Penghematan itu terjadi setelah 30 ribu narapidana mendapatkan asimilasi di rumah serta mendapat hal integritas berupa pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. https://tirto.id Rabu (1/4)
Kejadian yang cukup signifikan untuk sigap dalam kepengurusan pembebasan narapidana berbeda wajah saat pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan masyarakat banyak. Bagaimana tidak, pemerintah lambat dan seakan acuh jika berbicara kelanjutan pandemi yang melibatkan masyarakat banyak. Setiap hari informasi yang didapatkan rakyat hanyalah terus bertambahnya korban positif corona dan kebijakan yang terus terubah-ubah. Tak ada keseriusan di wajah pemerintah dalam mengurusi wabah tersebut.
Dikeluarkannya para narapidana bukanlah solusi atau kebijakan yang harus diberi apresiasi atas kerja pemerintahan, melainkan gagalnya sebuah hukum dalam mengurusi dan memperlambat laju aksi kejahatan di negeri ini. Alih-alih menjadikan Covid-19 sebagai alasan pemerintah untuk mengurangi kapasitas para penjahat dalam jeruji besi dengan pertimbangan menentang penyebaran virus, pemerintah justru membuka jalan untuk membebaskan para perampok uang rakyat. Padahal, hal itu bukanlah suatu langkah yang tepat, karena pada dasarnya protokol kesehatan juga bisa dilakukan di dalam lapas. Kebijakan ini justru bisa memunculkan masalah baru berupa peluang tindakan kriminal yang bisa dilakukan para mantan narapidana di tengah kondisi ekonomi yang buruk.
Kecatatan atas keadilan terus ditampilkan di hadapan khalayak oleh pemerintah hingga mengahadirkan polemik yang menjadi perhatian di tengah-tengah masyarakat. Harapan rakyat untuk sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi mereka dan cepat terbebas dari ketakutan serangan virus corona tidak tampak, hanya ada kejelasan konferensi pers perubahan kebijakan yang terus terlihat.
Kesempurnaan Islam Mengatasi Masalah
Berbeda halnya dengan sistem sekuler, sistem sanksi dalam Islam memiliki bentuk hukuman yang menjerakan. Misalnya, potong tangan bagi pencuri, qishas bagi pembunuhan yang disengaja, rajam bagi pezina, dan lain sebagainya. Gambaran umum Islam dalam menanggulangi sebuah masalah tidak menguntungkan sebagian pihak karena merujuk pada hukum syariat.
Islam mengatasi masalah tanpa menghadirkan masalah baru, sebagaimana Islam menjaga tubuh manusia dengan makan, minum dan tingkah lakunya. Sehingga, kemungkinan masuknya masalah dalam negeri Islam sangat kecil, karena terjaganya harta dan darah umat yang hidup dalam naungan Islam. Dalam Islam, makanan umat terjaga oleh standar halal-haram, sehingga menjadi pijakan apa yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan.
Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, wabah masuk menyerang negeri muslim. Umar bin Khattab kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan demi menyelamatkan umatnya. Khalifah menyuruh orang-orang untuk tidak masuk ke daerah pusat wabah (lockdown). Sementara orang-orang dalam wilayah tersebut tidak diharuskan keluar dari wilayah tersebut. Artinya, dalam kepemimpinan Islam kebutuhan setiap umat senantiasa terjaga dalam kondisi apa pun. Harta dan jiwa mereka senantiasa dilindungi oleh negara, bukan malah menjadikan rakyatnya sebagai tumbal pada wabah yang menyerang. Wallahu’alam bisshawab
Penulis: Lisa Angriani, (Pemerhati Sosial, Moramo, Sulawesi Tenggara)