Khaeriyah Nasruddin, (Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, UIN Alauddin Makassar. Aktif dalam Forum Lingkar Pena dan pernah menjadi Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019) |
Lihat saja apa yang terjadi baru-baru ini, menjelang PSBB berakhir konser bansos dilakukan oleh BPIP tanpa memedulikan arahan social distancing, mulai beroperasinya transportasi, pusat perbelanjaan dibuka, belum lagi sejumlah kebijakan lain, terakhir, arahan mengajak untuk berdamai dengan Corona. Ajakan yang sangat melukai hati para medis. Saat para medis sedang berjuang dengan segenap tenaga, menomorduakan keluarga dan rela menghabiskan waktu untuk merawat para pasien positif, pemerintah malah menutup mata melihat pengorbanan mereka, bisakah ini disebut sebagai bentuk pengkhianatan?
“Jadi istilah berdamai itu istilah yang fatalistik, artinya kayak enggak tahu mau bikin apa lagi.” Kata Rocky Gerung.
Rasanya tidak masuk akal bila masifnya korban positif lalu pemerintah menyerukan satu seruan yang membuat masyarakat bertanya-tanya, apalagi kalau bukan bentuk keputusasaan. Tak mengherankan memang bila Indonesia disebut sebagai negara terburuk dalam penanganan Corona di Asia. Pernyataan ini diperkuat oleh seorang dosen Griffith University Lee Morgenbesser, seorang ahli dalam politik Asia Tenggara, ia mengungkapkan, “Dari semua negara di Asia Tenggara, Indonesia paling mengkhawatirkan. Indonesia memiliki populasi yang sangat besar namun birokrasi yang tidak rapi. Penanganan krisis yang buruk di Indonesia akan membuat negara terpapar semakin buruk.” (TeropongSenayan/25/5)
Ditambah lagi pemerintah yang jauh lebih pusing dan stress bila persoalan ekonomi lambat ditangani, sementara negara tidak bisa mendapatkan pemasukan ketika PSBB makin diperketat, belum lagi penanggungan kebutuhan yang sebenarnya memang tidak bisa dipenuhi oleh negara.
Adapun persoalan ekonomi yang selalu jadi alasan pamungkas sebenarnya untuk kepentingan siapa? Tentu saja bukan rakyat tapi segelintir orang-orang yang telah memegang ekor negeri ini sementara para anak buah tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah. Sudahlah, rakyat pada akhirnya akan menjadi sapi perah yang namanya selalu dijual-jual demi kepentingan.
Satu hal menarik yang mesti disoroti dari adanya ajakan berdamai dengan Corona, bisa jadi ajakan ini sebagai narasi penerapan herd immunity, kita bisa mengindra hal ini terkait kebijakan-kebijakan yang dilonggarkan. Kalaupun herd immunity diberlakukan maka seleksi alam bisa terjadi, yang kuat akan bertahan sedang yang lemah akan mati dan siapa lagi yang berada di garda terdepan kalau bukan tim medis. Mereka akan berperang mati-matian sementara penguasa duduk manis menikmati.
Pemerintah mengatakan tak akan mengambil herd immunity dalam penanganan Corona, tapi mungkinkah pernyataan itu benar? Entahlah, pembaca bisa menilainya sendiri. Namun, kalaupun pemerintah besok lusa akhirnya melirik herd immunity setelah berputar-putar lama maka tak lain ini merupakan satu bentuk kedzoliman.
WHO sendiri menentang konsep herd immunity, alasannya ini adalah konsep berbahaya yang bisa memakan korban lebih besar. Herd immunity atau kekebalan kelompok adalah kondisi ketika sebagian besar orang dalam suatu kelompok telah memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu. Semakin banyak orang yang kebal terhadap suatu penyakit, semakin sulit bagi penyakit tersebut untuk menyebar karena tidak banyak orang yang dapat terinfeksi. Sementara Indonesia negara dengan lebih dari 300 juta jiwa penduduk membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mencapai herd immunity. (Halodokter/1/4).
Disampaikan juga oleh Michael Ryan dalam konferensi pers di Jenewa, “Manusia bukan kawanan ternak.” Masih dari pertanyaan Michael Ryan, opsi penerapan konsep ini merupakan pilihan dari negara yang lemah. Mari sejenak mmembayangkan jumlah korban yang jatuh satu persatu akibat herd immunity, merupakan momok menakutkan, bukan?
Bagi negara kapitalisme konsep semacam ini mungkin saja dianggap biasa, lah, mereka kan sudah kebal melihat rakyat menderita termasuk melayangkan nyawa manusia bisa dipandang sebelah mata. Inilah bila sekulerisme dijadikan sebagai pijakan berbuat, ia telah mencabut naluri kemanusiaan dan menggantinya dengan segepok materi. Manusia seolah hidup hanya untuk uang dan bebas menikmati keindahan dunia dan Tuhan hanya berada di ruang-ruang privasi. Seolah Tuhan buta ketika mereka melenyapkan nyawa, mereka telah lupa bahwa Tuhan sejatinya selalu melihat setiap tindaknya.
Adapun dalam negara Islam mengutamakan keselamatan nyawa manusia dipandang sangat penting, Rasulullah bersabda, “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” Negara pun hadir untuk memberikan penjagaan terhadap nyawan dan kehormatan manusia. Jika negara dan penguasa saling bersinergi dalam melakukan penjagaan terhadap keberlangsungan hidup manusia maka dijamin tak akan banyak manusia jadi korban. Sayangnya penjagaan terhadap nyawa yang lebih amanah bukan berada dalam sistem kapitalisme melainkan hanya berada dalam sistem Islam.
Penulis: Khaeriyah Nasruddin.