Melisa (Mahasiswi dan Aktivis BMI Makassar) |
Senada dengan ungkapan ketua serikat pekerja perikanan Indonesia (SPPI), Ilyas Pangestu bahwa perlakuan dan perbudakan terhadap pekerja Indonesia sudah berulangkali terjadi. Benar saja, eksploitasi ABK Indonesia di kapal ikan china Long Xin 629 bukanlah kali pertama. Kejadian di kapal berbendera China tersebut mengakibatkan meninggal dan dilarungnya 4 orang ABK WNI. Sementara 14 ABK lainnya meminta perlindungan hukum saat berlabuh di Busan Korea Selatan.
Setelah berita beredar, barulah Kemenlu China kemudian memberi konfirmasi bahwa pelarungan terhadap ABK asal Indonesia telah sesuai ketentuan Internasional. Namun anggota Komisi I DPR, Sukamta mengatakan bahwa pemerintah sebaiknya tidak berhenti pada pernyataan yang disampaikan kemenlu China. Politisi PKS itu menyebutkan kejadian yang terjadi di kapal Long Xin bukan kasus yang sederhana, sebagaimana yang dikutip dalam media Gatra.com (09/05). Bahkan Shofwan Al Banna selaku pengamat Hubungan Internasional UI bersikukuh memberikan tekanan diplomatik terhadap China, KumparanNEWS (08/05).
Ketegasan anggota komisi I DPR dan sikap kukuhnya pengamat HI tersebut, dilandaskan atas China yang sampai saat ini belum berbicara mengenai dugaan perbudakan. China dinilai hanya terpaku dengan pejelasan tentang pelarungan jenazah ABK yang “katanya” telah sesuai prosedur.
Nampaknya, persoalan eksploitasi warga negara Indonesia yang menjadi ABK kapal ikan memang menjadi masalah sejak awal perekrutan hingga berakhir dengan perlakuan tidak manusiawi. Hingga berita diturunkan Tempo.co (20/05) dimana polda Jawa Tengah telah menetapkan status tersangka terhadap dua pemimpin perusahaan perekrut 2 ABK yang meninggal di kapal berbendera China. Keduanya adalah Komisaris PT MTB Sutriyono (45 tahun) dan Direktur bernama Muhammad Hoji (54 tahun).
Jujur ini patut disayangkan, mengetahui bahwa ini kasus berulang berarti telah banyak yang mengalami hal serupa namun tidak dijadikan pelajaran. Peraturan perlindungan bagi mereka yang berantakan dan ketidakjelasan tata kelola penempatan jelas akan berimbas pada penanganan kasus yang menyulitkan. Ditambah lagi saat perekrutan yang tanpa dibekali aturan dasar bahkan tak jarang mereka disematkan identitas palsu. Identitas palsu inilah yang akan menjadi ancaman bagi mereka apabila terbongkar pada otoritas.
Tidakkah fakta miris tersebut serupa sindikat perdagangan manusia berkedok penyalur tenaga kerja sektor perikanan. Lihat saja, kerja dari belasan hingga 20 jam sehari dengan waktu istirahat yang minim, di anak tirikan sebab tak ada pelindung. 13 bulan kerja dengan gaji 1,3 juta dan siksaan berat jelas bukan sesuatu yang asing. Belum lagi rentannya kesehatan yang di perparah saat mengkonsumsi air laut yang di filtrasi. Bukankah ini ritme kerja yang mengerikan? Tak ditemukan aktivitas bos dan karyawan yang menjalin kerjasama sembari bertukar pendapat, mempertegas bahwa ini nyata perbudakan modern.
Alasan sederhana mereka yang sampai rela menjadi buruh bergaji rendah, disebabkan sulitnya lapangan kerja di Negeri Indonesia tercinta. Sementra kemiskinan yang bukan sekedar narasi makin meningkat dan keluarga tersayang terus menuntut kebutuhan terpenuhi. Meskipun sejauh ini pengawasan dan perlindungan bagi para buruh migran dari Negara berkembang Asia sebenarnya ada, tapi bentuknya seperti Corona. Ada tapi tak nampak. Dari sinilah kapitalis membuktikan kegagalannya dalam tatanan perekonomian, ketenagakerjaan cetakan payung hukum yang lemah tak bernilai. Bagaimana tidak, dalam kapitalis ‘uang adalah segalanya, dan kebenaran tercipta dengan kekuasaan’.
Mengharapkan peran Negara muncul sebagai riayatus su’unil umat di sistem hari ini sepertinya nihil, malah Negara hadir menghinakan bangsa sendiri dengan beramai-ramai mendatangkan TKA China. Benar-benar membuat gerah kelakuan sekarang, pemerintah dibuat beralih fungsi hanya sebagai regulator ketenagakerjaan.
Melihat persoalan yang demikian kompleks, tentu saja membutuhkan pemecahan yang mendasar dan menyeluruh. Sekarang mari bandingkan bagaimana Islam memberi solusi Khususnya dalam masalah ketenagakerjaan. Islam mendudukkan kontrak kerja (ijarah) antara majikan (musta’jir) dan pekerja (ajir) adalah kontrak kerjasama yang harus saling menguntungkan. Majikan diuntungkan karena memperoleh jasa dari pekerja, sebaliknya pekerja diuntungkan karena memperoleh penghasilan/imbalan dari majikan karena memberikan jasanya.
Sebab itu pula, ijarah harus jelas dan memenuhi ketentuan serta aturan yang dapat mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Selain ijarah, Islam juga menempatkannya gaji dalam porsi seadil-adilnya serta terdapat larangan dalam menahan gaji seorang ajir. Hal ini sejalan dengan sabda Rasululullah “Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah). Wallahu a’lam.
Penulis: Melisa (Mahasiswi dan Aktivis BMI Makassar)