Rina Tresna Sari, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan dan Member AMK) |
Dilansir serambinews.com, 18/05/2020-Beberapa video dan foto yang tersebar di media sosial hari ini, menangkap sejumlah aktivitas keramaian warga di beberapa wilayah di Indonesia.Tak hanya ramai dikunjungi, beberapa tempat ini juga memperlihatkan kumpulan warga yang jauh dari penerapan physical distancing.
Viral di media sosial, pemandangan sebuah mall di Surabaya yang dipadati pengunjung. Viral juga foto antrean penumpang yang membludak di Bandara Soetta.
Sebelumnya, penutupan Mc Donald Sarinah juga menghasilkan kerumunan massa. Yang terbaru, "lautan manusia" memenuhi Pasar Anyar Bogor. Menyaksikan maraknya kerumunan massa ini, muncul tagar #IndonesiaTerserah yang akhirnya menjadi trending topic.
Tentu saja hal itu menimbulkan reaksi dari para tenaga kesehatan, yang merasa "terserah" atas ketidakdisiplinan masyarakat untuk tetap di rumah karena wabah. Sampai-sampai ada seruan "Tutup saja IGD!" sebagai wujud kekecewaan. Muncul juga satire dari para nakes: "Kalian keluar, kami di rumah saja." Jika para nakes sudah menyerah, sungguh ini adalah bencana kedua.
Luapan perasaan para nakes ini wajar dan manusiawi. Mereka ibarat tentara yang berjuang di garda terdepan melawan covid-19. Demi sumpah profesi, mereka rela mengabdi untuk masyarakat. Meski nyawa mereka yang jadi taruhan.
Sebagai konsekuensi dari profesinya, banyak para nakes yang telah lama tak pulang, karena harus tinggal di rumah sakit. Mereka menangis dari dalam baju hazmat, rindu keluarga yang menunggu di rumah. Bahkan ada nakes yang membawa baju anaknya untuk dicium aromanya kala kangen melanda.
Yang lebih pedih, banyak nakes sudah wafat akibat tertular corona. Padahal jumlah nakes di Indonesia sangat kurang, ketika ada yang wafat, jumlahnya makin tidak mencukupi. Jika para “ksatria” ini banyak yang wafat, lantas siapa yang akan berjuang di garis depan?
Tak hanya nakes yang "teriak", para pejuang rebahan pun berontak. Mereka rela membunuh rasa bosan dengan tetap di rumah saja selama tiga bulan, tapi di luar sana ternyata banyak orang yang menganggap corona itu biasa saja, sebagaimana pengakuan seorang youtuber dalam sebuah wawancara. Pengorbanan para kaum rebahan seolah tiada artinya. Lantas, mengapa masyarakat demikian sulit untuk didisiplinkan?
Apa yang dilakukan masyarakat, adalah buah dari kebijakan penguasa. Jadi sikap masyarakat yang tidak disiplin ini akibat dari kebijakan penguasa, yang santai menangani pandemi.
Jika serius ingin wabah segera berakhir, terapkan karantina wilayah secara total. Syaratnya, kebutuhan pangan rakyat harus dijamin negara, karena rakyat tak boleh bekerja. Moda transportasi dihentikan. Bandara, terminal dan pelabuhan ditutup. Jika ini dilakukan, virus corona tak akan punya sarana penularan. Namun sayang, opsi ini tidak dijalankan.
Kebijakan terkait corona di negeri ini sejak awal sudah plin-plan. Penguasa seolah tak serius. terbukti dengan berganti-gantinya kebijakan yang dikeluarkan. Penguasa tak mau lockdown/ karantina wilayah, lalu dipilihlah PSBB. PSBB masih berumur dini, sudah direlaksasi. Kini rakyat diajak hidup new normal dengan cara berdamai dengan corona. Awalnya mudik dilarang, pulang kampung boleh. Sekarang mudik juga boleh. Untuk mendukungnya, moda transportasi diaktifkan.
Seperti peribahasa, guru kencing berdiri,murid kencing berlari. Melihat penguasa demikian santai menghadapi corona. Masyarakat makin santai berlipatganda. Apalagi setelah di rumah saja tanpa jaminan apa-apa dari pemerintah, sementara dapur butuh ngebul, akhirnya terpaksa keluar rumah demi sesuap nasi.
Sementara yang lain karena kebosanan luar biasa selama di rumah saja, plus kurangnya pemahaman tentang bahaya corona, memilih "balas dendam" keluar rumah. Demi memuaskan rasa kangen dengan udara luar. Terjadilah tumpukan massa di mana-mana. Bermodal masker dan handsanitizer, merasa sudah aman melakukan apa saja di luar rumah.
Kondisi ini sungguh miris. Di satu sisi para nakes berjuang menyelamatkan satu demi satu nyawa pasien, tapi di sisi lain masyarakat cuek bebek menantang maut karena minusnya ketegasan negara, sebagai buah dari sistem kapitalisme yang diadopsi negara. Dimana dalam setiap perubahan kebijakan dalam menangani pandemi, menunjukkan betapa rapuhnya asas yang mendasari pemerintahan .
Asas pemerintahan berdiri bukan untuk melayani rakyat melainkan untuk dunia bisnis dan pemodal karenanya setiap kebijakan yang dikeluarkan akan berlandaskan pada dua hal tersebut. Seperti terlihat dari kebijakan Perppu di Indonesia. Negara juga tidak memiliki prioritas dalam memelihara akidah Islam dan menjaga peribadahan yang merupakan hak setiap muslim di masjid dengan menutup masjid pukul rata tanpa pertimbangan syariat sedikit pun.
Hal demikian tentu tak akan kita temui didalam kepemimpinan Islam, didalam Islam prmimpin memiliki tanggung jawab yang besar terhadap rakyat yang dipimpinnya, yaitu akan berperan sebagai:
Pertama, peran sebagai "raa'in", pengurus urusan rakyat, termasuk pengurusan hajat hidup publik sesuai tuntunan syariat. Ditegaskan oleh Rasulullah saw, Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR Ahmad, Bukhari).
Kedua, adalah peran sebagai "junnah" (perisai) yakni pelindung sekaligus sebagai pembebas manusia dari berbagai bentuk dan agenda penjajahan. Ditegaskan Rasulullah saw: "Imam adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR Muslim).
Oleh karena itu, di dalam Islam, harta, darah ,nyawa dan kehormatan setiap warga negara adalah tanggung jawab penuh negara. Rasulullah (Saw.) pernah bersabda.
"Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, kehormatan kalian, haram atas kalian seperti terlarangnya di hari ini, bulan ini, dan negeri ini. Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir". (HR Bukhari dan Muslim)
Dengan mengemban fungsi bernegara ini, kelalaian dan pengabaian yang menjadi ciri khas pemerintahan sekuler kapitalis tidak akan terjadi. Penguasa akan menjadi sosok pemimpin yang sangat bertanggung jawab terhadap rakyatnya, dan selalu memprioritaskan kemaslahatan umat. Wallahu a'lam bishshowab.
Penulis: Rina Tresna Sari, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan dan Member AMK)