LorongKa.com - Pendidikan merupakan proses meniti hamparan kehidupan yang panjang, menempati ruang dan waktu yang membentang sepanjang usia anak didik. Pendidikan berupaya membuat anak menemukan diri, kemampuan, ketrampilan, kecerdasan, dan kepribadian secara optimal. Proses pendidikan berjalan melewati sekat formal dan sekat nonformal.
Kita adalah para peserta didik, entah dididik oleh siapa. Karena kita tidak terlepas dari yang namanya didikan. Lalu, apakah pendidikan itu? Mungkin saja pendidikan adalah sesuatu yang mengarahkan manusia ke hal yang lebih baik. Tapi, nyatanya Indonesia belum baik-baik saja.
Sedangkan sudah mayoritas yang berpendidikan. Lalu yang mana yang berpendidikan? Untuk menjawab itu kita perlu membedakan paradigma pada kata pendidikan itu.
Intelektual Progresif, Bukan Intelektual Agresif
Menjadi tantangan adalah mampukah pendidikan nasional mengubah kebiadaban manusia menuju peradaban manusia, atau mendidik manusia untuk meninggalkan budaya amoral ke bermoral. Karena yang menjadi tren, dan yang paling diikuti oleh mayoritas masyarakat dunia adalah pendidikan nasional.
Tuntutan dari pendidikan nasional adalah adanya bukti defacto bahwa telah menyelesaikan studi. Mengikuti aturan yang mengikat dalam proses studi dan dilakukan secara berjenjang.
Kita dituntut untuk berpendidikan dan berilmu. Sedangkan merawat pemikiran yang sifatnya tidak ada pembedaan antara kelas orang mampu dan kurang mampu dalam dunia pendidikan nasional jelas sangat berbeda.
Melihat pendidikan yang berjenjang dan bersaing menjadi orang yang paling eksis dan bersaing kecerdasan dengan model predikat peringkat. Itu akan mengarah pada perbedaan kelas dalam pembelajaran. Kelas dalam artian pada pemahaman terhadap ilmu yang di berikan. Predikat yang diberikan di tingkat dasar adalah awal yang mengajarkan Peserta didik pada keangkuhan.
Lalu pendidikan nasional harus mengikut pada putusan-putusan atasan semua rentetan jenis ilmu yang diberikan harus sesuai dengan keputusan dari atasan. Jadinya peserta didik memihak terhadap jenis ilmu yang di berikan. Paradigma setiap peserta didik tidak meluas dan harus berkesimpulan bahwa ilmu yang di dapatkan yang sesuai anjuran nasional adalah sesuatu yang sudah mencapai Ilmiah dan benar.
Pendidikan nasional juga mempunyai visi yang baik untuk memajukan peradaban dan mencerdaskan. Serta misi menuju peradaban manusia yang terarah dan selalu mengarah kepada kebaikan.
Pendidikan nasional sudah tentu lepas tangan dari banyaknya bukti di realitas bahwa alumni pendidikan nasional yang sedang bermain dan mempermainkan masyarakat kelas bawah ketika sudah berada di atas.
Juga dengan para koruptor dan politikus kotor sudah pasti adalah lepasan pendidikan nasional. Karena syaratnya adalah ada bukti tamat belajar lalu bisa menjadi seorang pekerja yang naik tingkat seperti pegawai negeri dan juga semua pucuk pemerintahan dan yang memegang hirarki kekuasaan.
Apakah ini benar? Mari sama-sama berfikir. Entah siapa yang harus kita salahkan dengan model pendidikan yang menghasilkan alumni yang seperti ini. Tentunya jika kita memakai pandangan sebab akibat (kausalitas) tentu saja pendidikan inilah yang salah.
Tapi, jika dipandang sistem pendidikan hanya wadah yang diisi oleh binatang berfikir (manusia). Maka tentu jika dipandang dari hanya sekian orang yang melakukannya, maka yang disalahkan hanyalah setiap individunya. Maka disinilah timbul adanya mazhab pendidikan kritis.
Lahirnya Pendidikan Kritis
Pendidikan kritis lahir pada dekade 20-an dan mulai berkembang pesat sekitar dekade 70-an. Awalnya merupakan pemikiran pendidikan progressif dari George S. Counts. Beliau mengemukakan tiga masalah vital pada masa itu, dan kemudian dari masalah-masalah tersebut lahirlah yang dinamakan pendidikan kritis.
Masalah pertama, mengkritik masalah pendidikan konservatif. Kedua, memberikan ruang terhadap peranan guru untuk menjadikan pendidikan sebagai agen dari perubahan sosial. Ketiga, yaitu masalah penataan ekonomi sebagai salah satu syarat untuk perbaikan pendidikan.
Pendidikan kritis dipandang sebagai media paling rasional untuk mereformasi pola pendidikan nasional. Artinya ada sesuatu yang berubah dari model pendidikan yang semakin kedepan akan semakin mengikuti kemajuan zaman.
Pendidikan kritis juga dipandang mampu memberdayakan peserta didik dan mentransformasikannya dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik, yang adil, setara, dan mengedepankan keadilan di bidang pendidikan.
Para pemikir seperti Ivan Illich, sekolah merupakan sarana umum yang palsu, sekilas memang sekolah memberi kesan terbuka terhadap semua orang yang datang ke sekolah. Tetapi, dalam kenyataannya sekolah hanya terbuka kepada mereka yang terus-menerus memperbarui surat kepercayaan mereka.
Kemudian disusul dengan pemikiran M. Agus Nuryanto tentang dunia pendidikan nasional yang condong mengandung muatan politik di segala aspek pendidikan. Anggapan ini menjadi kritikan terhadap dunia pendidikan yang dijaminkan mutunya hari ini.
Pemikiran yang luar biasa karena memihak pada kondisi sosial. Pendidikan yang begitu netral dan tidak memihak karena mengedepankan sistem pembelajaran antara pendidik, dan yang dididik sebatas hubungan emosional.
Maka awal untuk mengubah tatanan peradaban yang condong pada perebutan kekuasaan. Apalagi yang berangkat dari banyaknya persyaratan agar dianggap sebagai orang yang sudah terdidik dari pendidikan nasional. Untuk mengubah itu, haruslah lahir suatu bentuk model pendidikan yang baru yang sifatnya mencerdaskan dan membebaskan.
Pendidikan hari ini jika lihat peluang masyarakat miskin tidak bisa ikut dalam dunia pendidikan karena adanya keterbatasan biaya untuk mencapai suatu ilmu agar bisa berpartisipasi dalam mengelola negara kedepan dan jaminan masa depan.
Lebih lanjut, tentang banyaknya sekolah-sekolah nonformal tapi mampu memberikan manfaat dan pengajaran yang baik. Sama halnya dengan pendidikan nasional. Pendidikan kritis juga dengan misi kemajuan dan mengedepankan progresif. Tapi, Pendidikan kritis selain memajukan peradaban juga mempunyai misi mendidik yang netral dan tidak memihak dan sangat terbuka.
Antara kedua paradigma pendidikan ini, sudah pasti kita menginginkan kebebasan dalam mencari ilmu pengetahuan. Tapi, kita harus mengikut, tapi jika tidak mengikuti pendidikan formal maka kita akan semakin terbelakang.
Bisa jadi kita cerdas tanpa bukti penyelesaian jenjang study tapi tidak ada otoritas untuk ikut dalam anjuran negara baik dari pekerjaan, ekonomi dan politik.
Kegagalan Para Intelektual
Para cendekiawan lepasan pendidikan seharusnya mampu mempertanggung jawabkan ilmu yang dididapatkan. Mengaktualisasikan Ilmunya. Seharusnya sejalan dari yang terucap dan yang dilakukan.
Merawat perbuatan agar tidak keluar dari fitrahnya sebagai manusia. Tapi, yang terjadi pada intelektuallah yang bertarung gagasan dan berkompetisi menciptakan sesuatu hal yang baru. Semua yang baru baik dari senjata dan alat alat produksi, mesin, dan sebagainya, tercipta dari manusia yang berilmu.
Semakin sulit untuk dikatakan sebagai seorang intelektual. Para intelek yang seharusnya berperan sebagai sarana berkemajuan dan mengedepankan peradaban dan keharmonisan. Mungkin ini alasan Edward W. Said mengatakan bahwa para intelektuallah yang menjadi perusak.
Lalu tokoh pemikir Indonesia yang sering dikenang dan muncul di media massa adalah Ki Hajar Dewantara. Tanggal 2 Mei sendiri merupakan tanggal kelahiran dari Ki Hajar Dewantara yang merupakan pahlawan nasional sekaligus tokoh pendidikan Indonesia.
Kita begitu kenal dengan beliau, setiap hari pendidikan nasional. Dikenang, dan disanjung tapi tidak mengikuti ajaran beliau. Artinya, popularitas dan tidak ketinggalan memberi ucapan "SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL" dan disertai foto beliau.
Meminjam kata-kata indah Ki Hajar "Pengajaran yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial hanya untuk dapat menjadi buruh karena memiliki ijazah, tidak untuk isi pendidikannya dan mencari pengetahuan guna kemajuan jiwa-raga.
Pengajaran yang berjiwa kolonial itu akan membawa kita selalu tergantung pada bangsa barat. Keadaan ini tidak akan lenyap hanya dilawan dengan pergerakan politik saja. Perlu diutamakan penyebaran hidup merdeka dikalangan rakyat kita dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan nasional"
Pendidikan nasional disebutnya di penghujung kata. Lalu kita mencerna kata-kata sebelumnya, kita sedang terkungkung dengan model pendidikan yang dari pemikiran mana. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang merata di seluruh tanah air. Tapi berjalannya waktu pendidikan nasional menjadi sesuatu yang tertanam dan menjadi sarana pendidikan yang mempunyai otoritas di Indonesia. Mungkin kita salah tafsir mengenai "pendidikan nasional".
Dari sinilah muncul banyak paradigma hingga kritikan pada model pendidikan nasional yang resmi. Ki Hajar Dewantara selalu menjadi ilusi disetiap bulan mei. Seakan beliau pencetus model pendidikan. Tapi fikiran beliau sangat berbeda dengan yang terjadi hari ini. Mungkinpara intelektual baru yang membuat konsep seperti itu.
Kini Ki Hajar hanya menjadi pembungkus indah dunia pendidikan. Tapi, realita pada pendidikan hari ini tidak seperti apa yang dipikirkan beliau. Maka, sudahi menjual nama beliau dan memperingatinya jika hanya menjadikannya pemanis di hari raya pendidikan. Menjadikan kata-kata indah beliau sebagai "quotes" tapi perilakunya tidak terlihat sebagai orang yang terdidik.
Jika tidak ada kemajuan di negara dan masih marak orang tertindas dan kelaparan serta masih mengedepankan ego perbedaan kelas, maka layak kita katakan, pendidikan gagal untuk memberikan bimbingan etika dan moral.
Secara pendidikan di bidang pengetahuan sudah baik. Tapi, moralitas dan mengajarkan manusia kembali pada fitrahnya itu masih belum kita lihat realitanya. Buktinya alam masih di eksploitasi,menindas dan keburukan lainnya. Memang Ilmu tanpa bimbingan agama Adalah pisau di tangan penjahat.
Lalu ingatan untuk hari buruh, hari pendidikan selalu ada di bulan Mei setelah itu tidak ada gerakan pembaruan pemikiran kearah yang lebih baik.
Penulis: Ikhsan