Aslang Jaya (Kepulauan Selayar) |
Kasus terbaru ialah perundungan terhadap anak di bawah umur yang kesehariannya membantu orang tua menjual gorengan. Kasusnya terjadi di Kabupaten Pangkep, Sulawesi-Selatan. Entah apa motif pelaku hingga tega melakukan perlakuan kurang etis terhadap korban.
Secara harfiah, bullying ialah tindakan di mana satu orang atau lebih mencoba menyakiti atau mengontrol orang lain dengan cara kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun dalam bentukan kata-kata yang tekesan kasar. Misalnya berupa julukan yang buruk, celaan, penghinaan, fitnah, terror, gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar.
Dilansir dari situs kpai.co.id, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dalam kurun waktu 9 tahun ada 73,381 pengaduan kekerasan terhadap anak, mulai dari tahun 2011 hingga 2019. Pelaporan kasus bullying mencapai 2,473 laporan.
Padahal dari sisi hukum seseorang memiliki hak untuk memperoleh perlindungan demi terhindar dari segala macam bentuk perlakuan intimidatif, termasuk bullying. Karena dengan adanya perlakuan bullying kepada seseorang hanya akan memberikan kesan bahwa orang tersebut tidak punya harga diri.
Adapun yang menjadi acuan kepastian hukum dalam UU nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam pasal 29 ayat 1 secara eksplisit menegaskan “Bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya.”
Mungkin karena ketidaktahuan masyarakat, termasuk pelaku bahwa si korban memiliki hak atas perlindungan pribadi dan kehormatan sebagai manusia yang harus dihargai. Entah.
Bicara perihal perundungan yang berefek trauma terhadap korban, otomatis kita mengarah ke hak asasi itu sendiri, jangan sampai yang kita maksudkan hak asasi hanyalah bentukan kata yang merujuk ke sesuatu yang amat samar, tak terbentuk dan terhenti menjadi sebuah konsep mandek aktualisasi.
Padahal hak asasi merupakan hak yang melekat pada seorang manusia semenjak dirinya masih dalam kandungan hingga meninggal dunia. Dirinya layak mendapatkan perlindungan dalam oleh negara karena merupakan nilai-nilai universal yang senantiasa layak dihormati.
Kembali ke bullying, selain terjadi dalam dunia nyata, di sosial media pun masih marak, contoh dengan mengorek informasi pelaku bullying kemudian membullynya secara berjamaah di akun sosial medianya atau membuat thread (kicauan beruntun di Twitter) mengenai rekam jejak pelaku.
Bukankah sebagai upaya proporsional dan mengklaim diri sebagai social justice warrior (SJW) hendaknya menghindari hal tersebut? Mungkinkah kita merasa bahwa lebih superior dibanding pelaku?
Atau karena kurangnya cinta kasih antar sesama hingga enggan untuk saling mengasihani? Jangan sampai kita dan pelaku memiliki watak yang sama, meski dengan perlakuan yang berbeda. Pertanyaan tersebut tentunya harus menjadi bahan renungan bersama.
Cita-cita untuk menjadi manusia yang memiliki akhlak terpuji dan budi pekerti diawali dengan mampu menghargai manusia yang lainnya, karena sebagai makhluk sosial tentunya kita mengharapkan hal itu tercapai.
Mungkin ini bukanlah cita-cita untuk sama seperti yang dilakukan para aktivis kemanusiaan dunia, seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi maupun yang lain, tetapi sebagai upaya dini untuk memperlakukan orang lain dengan cara yang baik dan terpuji demi menghindari perilaku yang kurang etis.
Terakhir, diperlukan moralitas berbasis spritual agar hal tersebut terlaksana, karena nilai-nilai keilahian pasti mengikutinya.
Penulis: Aslang Jaya, tinggal di Kepulauan Selayar