Ummu Zhafran (Pegiat Opini Bela Islam) |
Hal itu atas kesepakatan bersama pemerintah bersama DPR. (kumparan.com, 24/4/2020)
Anggota Badan Legislasi (Baleg) asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf ikut menanggapi.
Menurutnya, tanpa diputuskan oleh orang nomor satu di negeri ini pun, secara teknis klaster ketenagakerjaan bahkan RUU Ciptaker secara keseluruhan, tidak bisa dibahas saat ini. Dia pun menilai, langkah tersebut hanya untuk menarik simpati publik. (merdeka.com, 26/4/2020)
Lepas dari pencitraan atau menarik simpati, redaksi keputusannya adalah ditunda bukan dibatalkan. Konsekuensinya cepat maupun lambat pastinya akan tetap dieksekusi. Tak heran bila Sekertaris Jenderal OPSI ( Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia), Timboel Siregar menanggapi pentingnya penundaan tersebut digunakan untuk melakukan pendalaman kembali akan substansi pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan. (media Indonesia, 25/4/2020)
Benarkah cukup sampai di situ? Persoalannya, menunda pembahasan tidak lantas menyelesaikan polemik yang ada selama ini. Perlu menelisik apa yang menjadi akar masalah sehingga penundaan membahas RUU Ciptaker ini tidak sekedar menjadi kado pahit yang tertunda bagi peringatan hari Buruh, 1 Mei mendatang.
Buruh dalam Bayang Kapitalisme, Sengsara!
Dahulu Abraham Lincoln pernah berucap, “Buruh lebih penting daripada modal dan harus mendapatkan perhatian yang lebih besar.”
Sayang kenyataannya jauh panggang dari api. Justru eksploitasi yang terjadi. Eksploitasi para pemilik modal alias kapitalis terhadap energi pekerja yang tergadai. Sederet bukti lebih dari cukup tersaji. Antara lain minimnya upah, jam kerja yang tak sebanding dengan upah, jaminan sosial dan masih banyak lagi.
Semua tercermin dalam RUU Ciptaker ini. Alih-alih mengusung perbaikan nasib tenaga kerja, keberpihakan terhadap kapitalis dan investor dianggap semakin nyata. Terlihat dari bunyi pasal-pasal dalam Omnibus Law yang merevisi UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Antara lain.
Pertama, upah minimum yang sebelumnya bisa diatur dengan standar kabupaten/kota (UMK), diganti menggunakan standar provinsi (UMP).
Kedua, waktu kerja lembur diperpanjang menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Sedang dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, maksimal waktu 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.
Ketiga, upah bagi pekerja yang berhalangan karena alasan sakit, menikah, hamil maupun melahirkan tak lagi disebut dalam Omnibus Law. Sedangkan UU sebelumnya, upah bagi pekerja yang sakit tetap diberikan sebesar 25-100 persen (tergantung lama sakit) dan yang tidak masuk kerja selama 1-3 hari karena menikah, melahirkan, atau ada anggota keluarga yang meninggal.
Keempat, dalam setiap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), harusnya pekerja berhak memperoleh uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Sayangnya uang penggantian hak sepertinya bakal hilang pula dalam RUU Ciptakerja mendatang.
Lebih dari itu, sejak awal penetapan upah minimum memang memicu masalah. Menjadikan living cost (biaya hidup) terendah sebagai patokan tak ayal membuat para buruh diberi upah tak sesuai dengan hasil kerja sesungguhnya. Namun hanya sekadar cukup untuk bertahan hidup. Wajar bila lolos dari jerat kemiskinan jadi hal yang sulit, bahkan cenderung mustahil.
Jaminan bagi Buruh dari Langit
Jika kapitalisme hanya bisa membuat sengsara, wajar sebab merupakan buah pikir manusia. Tahulah kita betapa lemah dan terbatasnya manusia. Bahkan mengatur detak jantung sendiri pun tak berdaya. Lalu mengapa tak berpaling pada solusi dari Yang Maha Pencipta?
Ya, Islam tak sekedar menjawab kebutuhan spiritual manusia namun juga jawaban dari segala masalah yang membelit hidup manusia. Termasuk intrik soal buruh di dalamnya.
Dalam menentukan standar gaji buruh misalnya, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah setimpal yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika terjadi perselisihan antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Dengan demikian, penguasa tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini terlarang, sebagaimana larangan menetapkan harga. Para sahabat di masa Rasulullah pernah meminta Baginda Nabi mematok harga. Rasulullah Saw pun menolak dengan bersabda.
‘Sesungguhnya Allah-lah pematok harga yang menyempitkan dan melapangkan serta Maha Pemberi rezeki dan sungguh aku berharap menjumpai Rabb-ku dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutkan dengan sebab kezaliman dalam darah dan harta. [HR Abu Daud]
Karenanya harga diposisikan sama dengan upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Tentang dana pensiun, penghargaan dan bonus yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalisme untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap selalu dalam kondisi kekurangan. Mirisnya, hal yang sepintas manis ini justru akan menghilangkan kewajiban pemimpin untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Tak lain karena melayani dan mengurus rakyat merupakan amanah kepemimpinan atas rakyat. Tak dapat dialihkan pada majikan maupun perusahaan.
Sungguh solusi dari ‘langit’ inilah yang sebenarnya solusi. Layaknya dalam dunia medis, Islam bukan sekedar obat pereda nyeri. Namun ia adalah obat yang tuntas mengatasi penyakit yang menggerogoti. Bertentangan dengan kapitalisme yang menyelesaikan masalah bagai benang kusut yang mustahil terurai.
Penulis: Ummu Zhafran (Pegiat Opini Bela Islam)