Riskiyah Agustina, STP (Teens Community Founder of Gensha-Generasi Shaliha) |
Pemberlakuan kelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sektor transportasi antar kota ini menjadikan masyarakat mulai ramai ingin bepergian. Di tengah situasi ini, ternyata banyak oknum yang mencoba menyalahgunakannya dengan berjualan surat bebas dari covid-19. Seorang oknum di salah satu akun aplikasi belanja daring dengan nama “surat sakit” ini menjual satu lembar surat bebas Covid-19 dengan harga Rp 39.000. Pada foto contoh surat bebas covid yang ditampilkan, tertulis pembuatnya merupakan Dokter Umum Rumah Sakit Mitra Keluarga Gading Serpong. Tertulis pula identitas pasien secara lengkap. Juga dicantumkan hasil pemeriksaan pada tanggal sekian, dinyatakan sehat dan bebas Covid-19. Namun identitas pasien dan tanda tangan dokter disensor (suara.com, 14/05/2020).
Dalam konferensi virtual, Jumat, 15 Mei 2020, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerald Plate menyatakan akan menindak sejumlah oknum di merchant e-commerce yang menjual surat bebas Covid-19 palsu. Johnny akan meminta perusahaan digital untuk memblokir akun bandel tersebut.. Johnny menyatakan penjualan surat kesehatan abal-abal itu akan menyusahkan berbagai pihak untuk menekan persebaran virus Corona, khususnya bagi para tenaga medis. Di samping itu, ia menyebut tindakan ini berpotensi membuat mata rantai penularan corona sulit terputus (tempo.co, 15/05/2020).
Viralnya potret pemandangan Bandara Soekarno-Hatta saat penumpang berdesak-desakan mengantre untuk menyerahkan berkas persyaratan untuk bepergian sebagai syarat membuat muncul pertanyaan besar “kok bisa SPPD dan surat kesehatan sampai semudah ini dikantongi?”
Dalam sistem negara kapitalis, jelas betul bagaimana hubungan antara masyarakat dengan pemerintah didasarkan pada asas untung rugi. Hitung-hitungan ekonomi sangat kental sekali berlaku, apalagi ditengah kondisi Pandemi covid 19 ketika salah satu dampaknya terjadi gelombang PHK dimana-mana. Karena kekhawatiran ambruknya sektor ekonomi inilah pelonggaran PSBB dilakukan.
Di sisi lain, rakyat yang merasakan langsung pelambatan ekonomi makin kelimpungan. Sektor real kian ndelosor, mereka yang tidak cukup kuat dana saat kondisi zero income akhirnya mau tidak mau memilih jalan pintas untuk keluar dari ibukota ke kampung halamannya masing-masing. Meskipun kebijakan PSBB sedang diberlakukan, mereka bersusah payah membeli surat SPPD dan surat kesehatan palsu.
Demikianlah yang terjadi di dalam sistem negara kapitalis, masyarakat diminta harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhannya, tanpa diimbangi dengan solusi penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai. Padahal keluar dari zona merah ini akan berdampak besar nanti terhadap jalur penyebaran covid-19 termasuk zona yang masih hijau. Hal terburuk yang seharusnya diwaspadai adalah akan munculnya cluster-cluster baru covid 19 di daerah yang semakin membludak karena persebarannya kian masif. Imbasnya korban yang terinfeksi ataupun meninggalkan akan semakin naik terus angkanya.
Hitung-hitungan untung rugi lainnya juga jelas terlihat dari kebijakan dibukanya moda transportasi dari zona merah yang sebelumnya telah ditutup selama masa karantina (PSBB) dan pelarangan mudik bagi semua yang berada di dalamnya. Tentu masyarakat makin dibuat bingung dan resah setelah selama hampir 2 bulan ini mereka yang manut untuk stay at home melihat ini semua seperti usaha yang sia sia dalam memutus mata rantai covid 19. Inilah yang terjadi ketika negara orientasinya merujuk sistem kapitalisme segala kebijakan saling tumpang tindih. Sarat dengan banyak kepentingan. Di satu sisi ingin menghentikan laju pandemi namun di sisi lain ingin tetap untung dengan berdalih agar ekonomi tidak makin anjlok dan mati. Nelangsanya, tenaga medis pun makin menjerit dengan kebijakan dan kondisi ini.
Keselamatan nyawa tentu lebih prioritas dibandingkan urusan harta (ekonomi). Begitu logika manusia normal. “..dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (TQS. Al Maidah:32)
Pemimpin (penguasa) sebagai penanggungjawab utama berbagai urusan masyarakatnya haruslah memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menangani wabah. Termasuk memutuskan kebijakan yang sesuai syariat Islam. “Maka seorang pemimpin adalah pengurus bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang diurusinya” (HR.Muslim). Siapapun yang mengalami kematian, kesakitan, kerugian karena salahnya kebijakan yang diambil akan dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah kepada sang pemimpin.
Islam sudah memberi solusi melalui karantina wilayah (lockdown) ketika kondisi seperti ini. Baik secara total maupun parsial. “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR. Bukhari).
Tentu dalam kebijakan karantina, semua kebutuhan akan totalitas dipenuhi dan dijamin agar laju penyebarannya bisa betul-betul ditekan dan dihentikan. Sehingga masyarakat yang berada di zona merah tidak khawatir akan urusan perut dan pekerjaan. Negara juga akan menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya, khususnya bagi setiap orang yang wajib bekerja dan menafkahi keluarganya (laki-laki) setelah pandemi ini selesai.
Sehingga saat negara dilanda wabah penyakit, dipastikan akan mampu mengatasinya dengan kebijakan tepat dan komprehensif. Kebijakan karantina ini juga akan mudah diterapkan sebagai bagian dari pelaksanaan sesuai syariat, tanpa khawatir adanya penolakan. Masyarakat pun akan dengan senang hati ridho mentaati karena merasa tentram karena semua kebutuhannya ada dalam jaminan negara. Sementara tenaga medis akan bekerja dengan optimal tanpa rasa was-was karena didukung dengan kebijakan yang mendukung tugasnya. Wallahua`lam bi showab
Penulis: Riskiyah Agustina, STP (Teens Community Founder of Gensha-Generasi Shaliha)