Lina Revolt (Aktivis Muslimah) |
Berapa waktu lalu, Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara, Ruslan Buton, dikabarkan dijemput polisi dari tim gabungan Mabes Polri, Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Polisi Militer, Kamis (28/5/2020) sekira pukul 09.00 WITA. Penjemputan Ruslan diduga terkait surat terbuka yang meminta agar Jokowi mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI (News.Okezone.com, 28/5/20).
Dalam surat terbuka tersebut Ruslan mengkritik kebijakan pemerintah dan meminta Presiden mundur. Dia mengatakan, jika tidak mundur, bisa jadi akan terjadi gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat.
Akibat penyataan ini Ruslan Buton ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal berlapis. Karena dianggap telah melakukan upaya makar dan menyebar kebencian.
Hypokrit kebebasan Berbicara
Menanggapi penangkapan Ruslan Buton, Wakil Ketua MPR RI Arsul meminta agar kepolisian tidak bermudah-mudah menangkap orang dengan menggunakan UU ITE. Karena sebelum menetapkan baik video maupun tulisan di sosial media sebagai ujaran kebencian, harusnya pihak kepolisian meminta pendapat ahli terlebih dahulu, bukan asal tangkap saja.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane yang mengatakan jika penangkapan Ruslan Buton tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Ironis memang, Penangkapan para pengkritik pemerintah seolah mencoreng wajah demokrasi. Dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi seharus kebebasan berbicara dan berpendapat dijamin.
Dalam Pidatonya di depan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, Franklin D. Roosevelt mengatakan bahwa manusia harus diberi empat kebebasan, yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, hak kebebasan dari kemiskinan dan kekurangan, serta kebebasan dari ketakutan.
Saat berdemokrasi, bukankah wajar sebagai warga negara untuk mengkritik dan menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah. Karena itu merupakan Kebebasan Berbicara yang harusnya dijamin konstitusi. Jika bukan rakyat yang mengkritik kebijakan penguasa lalu kepada siapa penguasa akan bercermin.
Namun faktanya, sering kali ada standar ganda terkait makna ujaran kebencian. Seolah mengkritik penguasa dan kebijakannya disamakan dengan menebar kebencian. Kehadiran UU ITE seolah menjadi alat untuk menjerat siapa saja yang berseberangan dengan penguasa.
Sejak Pandemi sudah banyak aktivis yang dijerujikan karena mengkiritik kebijakan pemerintah dalam menangani wabah. Mereka dijerat dengan berbagai pasal. Bahkan ada yang pasal berlapis. Seolah jika berseberangan dengan penguasa akan dianggap telah melakukan makar Diperlakukan bak penjahat kelas kakap. Tak pandang bulu entah itu aktivis Islam maupun seorang nasionalis sejati sekalipun. Jika mengusik kepentingan para korporat, maka akan jerujikan.
Benarlah, jika demokrasi hanyalah alat memuluskan jalan meraih kekuasaan. Namun. jika kekuasaan telah diraih. Politik balas budilah yang lebih diutamakan. Narasi kebebasan berbicara hanyalah omong kosong.
Belajar dari Khalifah Umar
Sepanjang sejarah peradaban Islam, telah tertulis oleh tinta emas, Bagaimana para pemimpin dalam Islam memberikan hak kepada rakyatnya untuk memberi masukan dan mengkritik kebijakan penguasa. Karena memuhasabah penguasa adalah salah satu kewajiban yag Allah bebankan kepada setiap muslim.
Itulah mengapa Umat bin Khatab saat menjabat sebagai khalifah saat itu, senantiasa memberi ruang rakyatnya untuk bicara dan mendengarkan keluhan dan kritikan mereka.
Dikisahkan, Amirul Mukminin Umar bin Khatab pernah berpidato dihadapan rakyatnya. Beliau dengan lantang berseru: "Wahai sekalian manusia, barang siapa di antara kalian ada yang melihat aku melakukan suatu tindakan yang kalian anggap "bengkok," hendaklah dia cepat meluruskan tindakanku"
Baru saja Sang Khalifah menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba dari kerumunan orang banyak, muncul seorang lelaki Arab kampung yang berpakaian lusuh dan sederhana. Ia maju Sambil menghunuskan sebilah pedang, ia lantas berteriak: "Demi Allah, wahai Ibnu Khattab! andaikata aku melihat ada sesuatu yang bengkok dari tindakanmu, pasti aku akan meluruskannya dengan pedangku ini!"
Semua terdiam mendengar teriakan lelaki tersebut. Menunggu kira-Kira apa yang akan dilakukan oleh Umar terhadap orang tersebut yang berani mengacungkan pedang di hadapan sang khalifah. Khalifah Umar malah berseru:
"Segala Puji bagi Allah, yang telah menjadikan di antara kalian, orang yang akan meluruskan penyimpangan Umar ibn Khattab dengan pedangnya…"
Jika itu terjadi sekarang. Mungkin pelakunya agar dipidanakan karena berani mengancam penguasa. Namun tidak dengan Umar.
Di lain waktu, Khalifah Umar juga pernah dikritik kebijakannya oleh seorang perempuan. Saat itu banyak laki-laki yang mengeluh kepada sang khalifah akibat mahalnya mahar. Maka Sang khalifah membuat kebijakan pembatasan jumlah mahar. Namun kebijakan tersebut diprotes oleh seorang wanita. Beliau malah berkata dihadapan semua oarang "Wanita ini benar, dan Umar salah"
Seorang Umar bin Khatab yang memiliki banyak keutamaan. Bahkan Rasullullah saw memuji keluasan ilmu dan kepribadiannya dalam sebuah hadist:
"Sesungguhnya pada setiap umat ada orang yang mendapatkan ilham (Muhaddits). Sesungguhnya, jika di dalam umatku ada muhaddits, ia adalah Umat." (HR. Bukhara dan Muslim)
Begitu banyak keutamaan Umar bin Khatab. Namun beliau tidak pernah malu apalagi marah jika ada yang rakyatnya yang mengkritik kebijakannya.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar dari sejarah. Seharusnya penguasa negeri ini banyak belajar dari para khalifah yang pernah sukses memimpin peradaban besar yang berjaya selama 1300 tahun lamanya. Penguasa harusnya menjadikan kritikan rakyat sebagai cermin agar lebih baik dalam membuat kebijakan. bukan malah menjadikan rakyat sendiri sebagai mush kekuasaan. Wallahu a'lam Bishowab.
Penulis: Lina Revolt (Aktivis Muslimah)