M. Rizqi Surya.W |
Peringatan ini tidak terlepas dari dua peristiwa penting dalam dinamika kehidupan kita: pulangnya para pejuang dari medan perang penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia di Yogyakarta tahun 1949 dan peluncuran Gerakan Keluarga Berencana tahun 1970. Dilansir dari BKKBN, peringatan hari keluarga (day family) juga diperingati negara lain: Amerika Serikat pada hari Minggu pertama di bulan Agustus, Afrika Selatan memulainya tahun 1995, Australia memperingati setiap minggu pertama bulan November hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 15 Mei sebagai Hari Keluarga Internasional.
Peringatan ini tentunya tidak dapat dipandang secara seremonial belaka, melainkan terdapat nilai didalamnya. Harganas dimaksudkan untuk mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia akan pentingnya institusi keluarga sebagai kekuatan dalam membangun bangsa dan negara. Terlebih, Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 telah menetapkan tanggal 29 Juni sebagai Harganas dan bukan hari libur.
Inisiatif ini perlu disambut secara positif serta perlu daya kritis dalam memaknainya. Permasalahan keluarga di Indonesia termasuk hal yang harus diprioritaskan. Karena munculnya masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, pergaulan bebas, tindakan kriminal, perceraian hingga terorisme itu dipengaruhi oleh peranan keluarga .
Masalah Keluarga Indonesia, Dilansir dari Republika, pada 2018 Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menyebutkan jika kondisi keluarga di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal. Hal ini ditandai dengan maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) melaporkan per September 2019 terjadi kekerasan terhadap anak sebanyak 305 kasus, sedangkan 512 kasus lainnya dialami oleh perempuan dewasa.
Selain itu Badan Pusat Statistik merilis jumlah masalah keluarga yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2015-2018. Posisi pertama adalah kasus perceraian tahun 2018 mencapai 408.202 kasus serta mengalami peningkatan 9% dari tahun sebelumnya. Urutan kedua adalah masalah ekonomi berjumlah 110.909 kasus. Sedangkan masalah lainnya suami-istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%) dan mabuk (0,85%). Permasalahan ini tidak hanya melibatkan suami dan istri semata, melainkan berdampak juga pada anak. Anak menjadi korban dari persoalan keluarga yang perlu diberikan prioritas untuk terpenuhi hak-haknya sesuai UU Perlindungan Anak.
Tingkat kesejahteraan suatu negara ditentukan oleh kualitas keluarganya. Maka untuk mencapainya diperlukan penguatan berbasis keluarga tentunya. Penguatan yang dilakukan memerlukan kerjasama lintas sektor-struktural, multidisiplin serta lintas golongan. Apabila kita dapat menyusun suatu hipotesa atas permasalahan keluarga diatas, maka kita dapat mengklasifikasikannya dalam faktor ekonomi, afeksi dan sosial. Ketiga faktor ini menjadi tool of analyze dalam memecahkan masalah.
Wacana Ketahanan Keluarga. Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) mengundang polemik dalam perpolitikan Indonesia. Pro dan kontra menjadi konsekuensinya. Pendapat pro memandang bahwa RUU ini berusaha untuk menguatkan kualitas hidup keluarga secara holistic, sedangkan pendapat kontra memandang intervensi negara yang dominan dinilai mencederai substansi dari Hak Asasi Manusia(HAM), termasuk preferensi tiap keluarga yang berbeda-beda tentunya.
Di balik itu semua, polemik ini menandakan bahwa isu keluarga merupakan isu yang sensitif serta populis di masyarakat. Bagong Suyanto, sosiolog Universitas Airlangga menjelaskan bahwa keluarga ialah lembaga sosial dasar dari semua lembaga atau pranata sosial lainnya yang menjadi pusat terpenting dari kegiatan kehidupan manusia. Sehingga wajar saja apabila tanggapan publik begitu besar terhadap RUU KK. Diperlukan solusi tentunya dalam mengatasi masalah keluarga yang kemunculannya dipengaruhi ketiga faktor diatas: ekonomi, afeksi dan sosial.
Pertama, pemberdayaan ekonomi. Ekonomi menyangkut tentang pemenuhan kebutuhan manusia. Aspek ini sangatlah vital dalam kehidupan suatu keluarga. Masalah kemiskinan hadir karena krisis ekonomi yang terjadi dalam suatu keluarga. Apabila kita melihat krisis ekonomi secara mikro maka dibutuhkan pengembangan potensi keluarga untuk berdaya melalui pemberdayaan ekonomi yang tertuang dalam Undang-Undang Kesejahteraan Sosial Nomor 11 Tahun 2009.
Selain itu, pendekatan makro melihat krisis ekonomi terjadi karena pola distribusi beroperasi tidak merata sehingga menimbulkan kesenjangan sosial yang berdampak pada keluarga pastinya. Dibutuhkan pola kebijakan strategis yang pro-rakyat supaya melindungi seluruh masyarakat Indonesia.
Kedua, pendidikan keluarga. Keluarga sebagai institusi sosial tentunya memerlukan tata pengelolaan yang optimal. Hal ini dapat dicapai dengan adanya pola edukasi yang baik didalam keluarga itu sendiri serta di dukung juga melalui pendidikan keluarga yang ada di luar. Peranan akademisi, professional serta tokoh masyarakat berperan penting dalam menciptkakan iklim yang harmonis didalamnya. Sehingga urgensi dari pendidikan keluarga mampu menciptakan kondisi yang harmonis serta terpenuhinya kebutuhan dasarnya baik secara fisik, psikis, sosial dan spiritual.
Ketiga, peran serta masyarakat. Manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Peranan lingkungan sangatlah berdampak bagi kualitas hidup individu dan keluarga. Maka kepedulian menjadi kunci dari terciptanya kondisi yang ideal. Perbaikan kualitas keluarga dapat dimulai dari rasa kepedulian dan slidaritas antara sesama untuk membantu memecahkan masalah.
Pendekatan berbasis masyarakat perlu dikembangkan sebagai proses pengembangan sosial untuk menciptakan keluarga yang tangguh.
Formulasi diatas seyogyanya dapat menjadi bagian dari solusi strategis yang dapat dikembangkan untuk menciptakan kesejahteraan keluarga yang prima.
Kesejahteraan keluarga tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah semata. Akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama yang saling berkolaborasi untuk mewujudkan keluarga yang berdaya untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selamat Hari Keluarga Nasional.
Penulis: M. Rizqi Surya.W