Jika kita mengamati lebih jauh konten yang viral di media, banyak yang bermula dari penggunaan aplikasi TikTok yang “nyleneh”. Beberapa hari yang lalu misalnya, ada seorang ibu yang tidak diketahui berasal dari daerah mana, membuat video TikTok dengan melakukan tindakan yang dinilai tidak wajar oleh akal sehat. Video yang menampilkan seorang ibu yang tega memfotokopi anaknya sendiri dengan mesin fotokopi secara langsung itu pun menjadi ramai diperbincangkan, setelah akun Instagram @berita_gosip membagikannya (19/7). Tidak bisa dipungkiri, konten Video TikTok yang viral ini telah menjadi suguhan yang cukup sering di media.
Belum lama ini juga, netizen dihebohkan dengan klepon yang disebut sebagai jajanan tidak islami. Anehnya, konten ini justru viral di tengah masyarakat (23/7). Yang lebih ironis, setelahnya muncul pembicaraan yang sudah masuk ke tataran bahasan agama. Bermula dari flyer klepon akhirnya berlanjut dengan penghinaan simbol bahkan syariat. Hingga muncul pembicaraan yang memunculkan gesekan di antara anggota masyarakat.
Jika kita mengamati fenomena “viral” di tengah masyarakat Indonesia, nampaknya ada beberapa hal yang sangat perlu dikritisi. Pasalnya, saat ini seringnya khalayak justru memviralkan sesuatu yang tidak bermutu, bahkan “unfaedah”. Perilaku mem-viralkan konten itu pun berlanjut menjadi fenomena yang mewabah. Bahkan, sangat sulit untuk ditekan penyebarannya di tengah masyarakat. Menular dari seseorang ke orang lain. Menginfeksi pemikiran hampir semua anggota masyarakat. Betapa menyedihkan, jika fenomenan ini terus didiamkan.
Opini umum yang beredar di tengah masyarakat sesungguhnya menggambarkan kualitas pemikiran masyarakat. Berikut juga sangat minimnya edukasi yang dilakukan oleh negara. Padahal, banyak sekali problematika yang melanda negeri ini yang lebih patut untuk didiskusikan. Tersebab, siapa lagi yang mau peduli dengan masa depan negara jika bukan warga negaranya sendiri? Patutlah, kita yang menjadi bagian dari warga negara Indonesia memikirkan bagaimana bisa mengubah pola pikir masyarakat yang ada. Hingga bisa meningkatkan kualitas konten yang viral di media.
Menjadi keniscayaan, bahwa pola pikir dari seseorang akan mempengaruhi pola sikapnya. Begitu juga, pola pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat tentunya juga berpengaruh terhadap pola sikap yang menonjol di tengah masyarakat. Jika kita melihat, pola sikap yang lebih mencirikan kehidupan yang bebas, hedonis, semua gue dan tanpa kontrol sejatinya adalah buah dari pola pikir yang dibangun dari landasan sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Maka, selama sistem yang melingkupi kehidupan ini adalah kapitalisme-sekuler, maka sampai kapan pun konten "unfeadeh" bisa viral begitu saja, tanpa ada kontrol.
Upaya untuk merubah pola fikir ini bukanlah hal yang mudah. Harus ada sinergisitas antara individu, masyarakat, dan negara untuk bisa merubahnya. Secara individu, pola pikir seseorang terhadap kehidupan akan sangat berpengaruh terhadap pola sikapnya, termasuk kualitas konten yang dia unggah di media. Seseorang yang bisa mengkaitkan kehidupan di dunia dengan kehidupan sesudah dunia akan lebih berhati-hati dalam berperilaku terlebih menyampaikan sesuatu yang belum jelas kebenarannya. Dia akan berfikir seribu kali sebelum melakukan perbuatan yang sia-sia termasuk mem-viralkan konten yang tidak bermutu.
Masyarakat juga memiliki andil yang besar terhadap kualitas konten yang “viral” tersebut. Masyarakat yang saling peduli maka akan senantiasa saling mengingatkan di antara satu anggota masyarakat. Mereka tidak akan rela jika opini yang beredar di tengah masyarakat adalah sebuah konten yang sangat tidak berkualitas. Di antara mereka akan ada saling kontrol antara anggota masyarakat yang lain. Selain itu, juga akan berusaha masuk ke media, mengunggah konten yang berkualitas agar bisa mengajak masyarakat bersama-sama melakukan perubahan dan mengajak kepada kebaikan.
Sedang negara memiliki perang sentral. Tersebab, negara yang memiliki regulasi yang mengikat bagi seluruh masyarakat terhadap seluruh konten yang beredar. Negara seyogianya bisa memanfaatkan media nasional sebagai sarana untuk proses pendidikan untuk warga negaranya. Media tersebut haruslah diarahkan agar memberikan aspek edukatif, informatif, isnpiratif, dan mencerdaskan rakyat. Negara juga diharapkan bisa melarang secara tegas beredarnya konten yang merusak pola sikap. Konten tersebut seperti misalnya konten sampah (tidak bermanfaat), pornografi dan pornoaksi, konten yang merusak akidah dan yang lainnya.
Dengan demikian, masyarakat akan terdidik untuk bisa membangun konten berkualitas yang viral di media bahkan di kehidupan nyata. Hanya, saya sikap tegas negara tersebut juga dipengaruhi oleh arah pandang negara tersebut di dalam kehidupan. Adalah Islam pernah menjadi mercusuar peradaban yang lain. Di kala itu, Islam diterapkan secara menyeluruh di dalam kehidupan bernegara. Allahu a'lam bi showab.
Penulis: Ifa Mufida (Pemerhati Kebijakan Publik)