Frengki (Bulukumba, Mahasiswa UINAM) |
"Di lingkungan sosial kami adalah kelas terbawah tetapi di dalam kelas aku adalah petarungnya"
Kalimat ini saya jadikan sebagai motivasi untuk tetap semangat menempuh pendidikan.
Di bangku sekolah menengah atas beberapa catatan penting yang mesti saya tuangkan kedalam tulisan sederhana dan simpan siur ini.
Beberapa tahun yang lalu, di bangku kelas satu sekolah menengah atas saya sempat terkendala menempuh pendidikan pasalnya mekanisme yang dikeluarkan tanpa kejelasan yang saya anggap adalah sebuah pembodohan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Mereka memaksakan seluruh siswa untuk membayar biaya pendidikan, padahal dimasa itu stigma yang terbangun dari analisis media elektronik yang saya temukan, bahwa pendidikan gratis untuk anak bangsa yang kurang mampu.
Tentunya dari hal ini saya mencoba membeda hal itu dengan menyandinkan kedunia realitas tapi sayangnya ini bukanlah fakta yang saya perkirakan, ternyata tempat saya menempuh pendidikan itu di berlakukan pembayaran yang di sebut KOMITE yang harus dibayar wajib persemester.
Hal inilah yang membuat saya terkendala untuk menempuh pendidikan akibat tak kesanggupan membayar biaya tersebut.
Pada waktu itu, saya mencoba mencari tempat untuk mencurahkan hati,takala kemudian bertemu dengan salah seorang yang peka terhadap problem demikian.
Beliau mencoba mempertanyakan keluh kesahku, tak lama pembicaraan berlangsung beliau ternyata tersentuh dan ibah kepadaku. Ia kemudian melanjutkan problem ini ke dinas pendidikan sebagai bentuk laporan.
Hal yang membuat ia tersentuh pada saat membicarakan yang tak sempat saya tuliskan sebelumnya, ialah di mana kertas ujian milik saya di sobek oleh mereka yang saya sebut oknum tak bertanggung jawab dan kemudian mengeluarkan saya dari ruangan pada ujian semester dua penentuan kenaikan kelas.
Dengan alasan rambut yang panjang dan tak sempat bayar komite maka konsekuensinya tak boleh ikut serta dalam ruangan ujian. Hal inilah beliau kemudian berani melaporkan hal ini ke dinas pendidikan.
Beberapa hari kemudian, dinas pendidikan mendatangi sekolah tempat yang saya tempuh berpendidikan.
Dengan laporan tersebut saya juga ikut terlibat dalam perbincangan singkat antar perwakilan dinas pendidikan dan perwakilan sekolah pada saat itu.
Tak sempat banyak menyampaikan jawaban pasalnya beberapa pernyataan yang keluar oleh perwakilan sekolah seolah-olah menekan dan menyalahkan saya. Dengan alasan bahwa saya dikeluarkan karena rambut yang panjang dan terbilang banyak sekali catatan yang melakukan pelanggaran.
"Panggilkan saya pengurus rambut dan pengurus komite disini, bapak menyampaikan tidak sesuai laporan yang kami terima,Laporan yang kami terima bahwa anak ini dikeluarkan karena tak sempat bayar komite dan rambut yang panjang, bukan begitu pak?"
Dengan bahasa yang tegas dikeluarkan oleh perwakilan dinas pendidikan kemudian beralih ke pertanyaan yang di sodorkan kesaya.
"Betul nak kamu dikeluarkan karena hal itu?" Tak sempat menjawab sebab saya menangis tersedu-sedu akibat perdebatan yang terjadi di dalam ruangan yang penuh perhiasan prestasi ini terjadi. Saya merasa tertekan menyesal dan kecewa sebab perdebatan terjadi oleh ulah saya hingga guru yang saya tuangkan ternyata menyampaikan hal yang tidak tepat seolah-olah menjatuhkan dan membalikkan fakta.
"Kamu ini memang nakal sekarang buat perkara seperti ini lagi."
Itulah yang keluar dari mulut orang yang saya tuakan.
"Adakan rapat sekarang "tegas perwakilan dinas pendidikan.
Dari hal saya kemudian semakin tak bisa menahan air mata pasalnya saya beranggapan bahwa ini adalah ulah saya hingga terjadi perdebatan hingga seperti ini.
Beberapa Minggu kemudian, setelah hal tersebut berlalu kini tiba waktunya penentuan kenaikan kelas,saya tercatat salah satu yang tak lolos dari penaikan kelas ini, dengan alasan wali kelas saya "Nilaimu tak memasuki angka yang terbilang layak".
Padahal tak ada catatan yang membuktikan bahwa nilai saya terbilang buruk.
Setelah peristiwa tersebut, saya tetap konsisten dan terus menempuh pendidikan yang lebih tinggi meskipun telah di perlakukan demikian. Dengan mengambil jalur alternatif paket C kemudian mendaftarkan diri sebagai Mahasiswa di salah satu universitas negeri di Makassar.
Dari kisah diatas saya mencoba mencatat hal-hal yang menyangkut keluarga miskin menempuh perjalanan pendidikan.
Di usia yang terbilang masih dini tentunya banyak sekali mimpi dan harapan untuk menjadi manusia seperti mereka yang punya segalanya.
Kepekaan sosial merupakan dasar yang awal untuk membuka gerbang perjalanan yang teramat penting bagiku, namun kerap kali melihat orang-orang yang hidup dalam kemiskinan dan punya tekad berpendidikan tapi terkendala akibat ekonomi seakan ada bisikan untuk menyalakan siapa pun itu yang saya anggap sebagai pelakunya. Padahal ibu mengajariku untuk senantiasa memanusiakan manusia meskipun telah menindas manusia lain.
Setelah menyandang status Mahasiswa,saya mencoba mencari jawaban dari pernyataan ibu.
Meskipun dengan luka yang tersembunyi menempuh pendidikan yang dipaksakan dari niat untuk apa yang menjadi tujuanku sebelumnya.
Amanah Almarhum dari Ayah yang dulunya senantiasa memberikan support dan kepercayaan pastinya tetap harus dijalankan.
Sebagai anak lelaki dengan kultur dan tradisi budaya Kita harus dan tetap dijalankan sebagai kepala keluarga.
"Ibu setelah aku membuka setiap lembaran kertas para penulis revolusioner intelektual, cita-cita dan harapanku berubah. Bukan hanya untuk kepentingan keluarga kita dan untuk individu ku melainkan langkah yang kutempuh untuk segala manusia yang tertindas, harapan ku menjadikan negara ini cerdas untuk seluruh anak bangsa tanpa harus dibebankan biaya bagi mereka yang tak mampu membayar pendidikan formal di negeri ini dan cita-cita ku mensejahterakan seluruh rakyat dan perbedaan kelas"
Penulis: Frengki (Bulukumba, Mahasiswa UINAM)