Al Azizy Revolusi (Editor dan Kontributor Media) |
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak program penceramah bersertifikat yang digulirkan Kementerian Agama (Kemenag) tersebut. MUI memandang program tersebut bisa menjadi alat untuk mengawasi kehidupan beragama. Bahkan Selasa (8/9), MUI telah mengeluarkan surat pernyataan sikap yang diteken oleh Waketum MUI, Muhyiddin Junaidi dan Sekjen MUI, Anwar Abbas.
Munculnya program tersebut sangat tidak tepat, terlebih dilakukan di tengah keprihatinan bangsa yang sedang tertimpa musibah Covid-19. Juga bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi agar semua pihak fokus dan sibuk mengurusi Covid-19.
Selain itu, pelibatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam proyek sertifikasi ini yang dikhawatirkan dapat memunculkan stigma radikal dan tidak pancasilais pada penceramah yang tidak bersertifikat. Padahal, tolak ukur sertifikasi ini sangat tidak jelas dan tidak pernah disosialisasikan/diuji-publik, untuk menghadirkan hasil obyektif yang dipercaya oleh publik/umat.
Sekalipun Menteri Agama begitu serius dengan wacana program sertifikasi ini, Dirjen Bimas Islam malah menyatakan program ini tidak punya konsekuensi apapun. Bila memang begitu, seharusnya Kemenag tidak ngotot membuat program tersebut apalagi anggarannya belum pernah disampaikan dan disetujui oleh DPR. (detikNews, 8/9/2020)
Perlu diketahui, menjadi dai bukanlah sebuah pekerjaan atau profesi. Sementara sertifikasi biasanya dilakukan oleh asosiasi profesi tertentu untuk menentukan kualifikasi seseorang dalam satu bidang profesi. Karena itu, sertifikasi dai tidak dapat menjadi stempel bahwa dai akan menjadi sebuah profesi dengan bayaran sesuai kualifikasi jenjang sertifikasi yang diperoleh. Hal ini akan merendahkan nilai dakwah yang dilakukan oleh para dai.
Menjadi pendakwah merupakan kewajiban setiap Muslim. Yang memberi pengakuan atas kompetensi selama ini juga masyarakat, apakah seorang dai memiliki pengaruh tingkat kampung, kabupaten atau memilki jangkauan nasional.
Hakikatnya, keberadaan dai adalah oposisi dari penguasa yang akan selalu mengkritisi dan mengontrol jalannya suatu kekuasaan agar tidak semena-mena kepada rakyatnya dan juga tidak menyimpang dari agama.
Sertifikasi dai dikhawatirkan hanyalah mengantarkan para dai menjadi ulama suu' yaitu ulama yang jahat yang menyampaikan dakwah dengan menyembunyikan kebenaran dan menyesatkan umat demi mendukung kekuasaan yang saat ini tidak berpihak kepada Islam.
Oleh karena itu, harusnya program kontroversial dan tak produktif seperti ini, dibatalkan saja. Sebaiknya Menag fokus melaksanakan program kerja prioritasnya serta berkontribusi maksimal atasi Covid-19 melalui program-program di Kemenag. Wallahu a'lam bish-shawab.
Penulis: Al Azizy Revolusi (Editor dan Kontributor Media)