Sri Wahyuni, S.S (Ibu Rumah Tangga Peduli Keluarga Perempuan dan Generasi, Aktivis Dakwah Klaten) |
Banyak kalangan khawatir, bahwa gelar pilkada nanti akan menyebabkan adanya klaster baru Covid-19 dari kerumunan saat pemungutan suara.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Indonesia Future Studies(INFUS), Gde Siriana Yusuf yang menyayangkan pilkada tetap dipaksakan saat angka Covid-19 terus menanjak. “Hampir tiap hari kasus positif Covid-19 nambah di atas 3000 kasus. Masih ngeyel aja bikin pilkada. Ampun ini rezim,” katanya di akun Twitter pribadinya, Kamis(10/9/2020).
Dilansir dari Beritasatu.com, penolakan pelaksanaan pilkada juga disampaikan oleh Direktur Utama Indo Barometer Mohammad Qodary yang meminta pemerintah dan DPR merespon serius pilkada sebagai klaster Covid-19. Jika tetap dilaksanakan UU Pilkada perlu direvisi. Kegiatan kampanye dengan pengumpulan orang banyak seperti rapat umum, pentas seni dan kegiatan olah raga harus ditiadakan (14/9/2020).
Lebih lanjut Qodary menyatakan pilkada 9 Desember bisa menjadi Superbig Spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak. Pilkada diusulkan ditunda lagi hingga berakhirnya wabah karena terbukti banyaknya pelanggaran saat masa sosialisasi dan pendaftaran calon.
Dikutip dari detik.com, Menko Polhukam Mahfud Md menilai penundaan pilkada 2020 sulit diwujudkan. “Kalau ditunda itu prosedurnya kalau mau ubah UU dalam waktu dekat itu tidak mungkin, sudah kurang dari 2-3 bulan, itu harus masuk prolegnas. Itu hanya bisa di Perppu. Perppu tergantung KPU mau usulkan enggak,” terang Mahfud dalam diskusi daring Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) bertajuk “Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi 1 Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia,” Sabtu (12/9/2020).
Adanya penolakan penundaan pelaksanaan pilkada oleh pemerintah tidak bisa dilepaskan dari diterapkannya sistem demokrasi di negeri ini. Sejak awal munculnya pandemi solusi yang diambil oleh penguasa terlihat setengah hati. Kebijakan yang dikeluarkan selalu berdasar untung rugi dan mengabaikan pertimbangan kesehatan.
Pada hakekatnya keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan pilkada yang mengancam keselamatan rakyat ini menegaskan begitu rusaknya pilkada yang lahir dari sistem demokrasi itu sendiri. Sebab dalam sistem demokrasi politik bukanlah bagaimana mengurusi berbagai urusan rakyat. Tetapi sebaliknya politik justru merupakan lahan bisnis untuk mencari keuntungan demi kepentingan pribadi dan kelompok bagaimanapun caranya sekalipun rakyat yang menjadi taruhannya. Inilah kerusakan dari sistem demokrasi. Karena itu pilkada hanyalah menjadi sesuatu yang penting untuk mempertahankan keberlangsungan demokrasi itu sendiri yang cacat sejak lahirnya.
Berbeda dengan sistem Islam yang lebih manusiawi dan adil bagi seluruh rakyat. Karena berasal dari Sang Khaliq yaitu Allah SWT. Islam memandang politik sebagai pemeliharaan urusan rakyat berdasarkan ketentuan hukum syara’ yang rinci. Sistem politik Islam terikat dengan ketentuan hukum Sang Pencipta manusia.
Demikian juga dalam proses pemilihan seorang pemimpin, Islam juga mengaturnya. Seseorang yang dipilih oleh rakyat jadi penguasa bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya tetapi sebagai tanggung jawab untuk mengurus rakyat. Maka pemilu dalam Islam berbiaya rendah dan diperuntukkan untuk mengetahui calon yang menjadi kehendak rakyat dalam memimpin mereka sesuai Al Qur’an dan Sunnah. Mereka dapat memilih kepala negara dan wakil mereka di Majelis Umat melalui pemilu. Tugas Majelis Umat adalah menyampaikan aspirasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. Sedangkan kepala daerah (gubernur) dan amil (bupati) diangkat langsung oleh Khalifah sehingga tak dibutuhkan pilkada. Sistem seperti ini sangat hemat biaya.
Islam juga menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah 3 hari. Sehingga tak perlu ada kampanye akbar yang berpeluang terjadinya kerumunan orang dan menghabiskan biaya besar. Teknis pemilihan dibuat sederhana sehingga dalam waktu 3 hari pemilu sudah selesai. Jadi jika hal ini terjadi di masa pandemi tidak menimbulkan mudharat yang bisa mengancam keselamatan.
Karena itu mekanisme pemilihan pemimpin di dalam Islam adalah sebaik-baik acuan. Di samping praktis juga syar’i dan tentunya dengan biaya yang murah sehingga tidak berujung pada pemborosan uang negara. Dalam sistem Islam kepala daerah yang terpilih karena ketakwaannya dalam menjalankan perintah Allah bukan karena kekuatan modal dan dinasti oligarkhi seperti dalam sistem demokrasi. Jadi pemilihan kepala daerah dalam sistem Islam sangat efisien dan tidak menimbulkan mudharat bagi masyarakat. Walaupun dalam kondisi wabah sekalipun. Wallahu’alam bishshawab.
Penulis: Sri Wahyuni, S.S (Ibu Rumah Tangga Peduli Keluarga Perempuan dan Generasi, Aktivis Dakwah Klaten)