Assadiyah (Member Akademi Menulis Kreatif) |
LorongKa.com - Anggota Komisi I DPR RI, Christina Aryani pada webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film RI dengan tema Film dalam Perspektif Perlindungan Anak dan Hak Asasi Perempuan yang merupakan rangkaian kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri (3/11) mengatakan bahwa potret isi siaran saat ini belum sepenuhnya merujuk pada ketentuan Undang-Undang Penyiaran, serta masih terdapat konten kekerasan terhadap perempuan dan anak (kemenpppa.go.id, 04/11/20).
Kekerasan pada perempuan dan anak lagi dan lagi menjadi topik perbincangan. Fakta kembali mengejutkan bahwa masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak ini terjadi sepanjang tahun 2020.
Di Jawa Timur berdasarkan Data Sistem Informasi Online Kekerasan Ibu dan Anak (Simfoni) tercatat adanya 1.358 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga 2 November 2020 (republika.co.id, 03/11/20). Sementara di Kabupaten Bantul, dihitung sampai Oktober jumlah kasus kekerasan terhadap anak sudah menembus angka 120 kasus terlapor (jogja.suara.com, 08/11/20).
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur Andriyanto mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak banyak terjadi di lingkungan rumah tangga. Andriyanto menduga, tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan rumah tangga karena selama pandemi Covid-19, masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah. (republika.co.id, 03/11/20)
Tidak ayal jika faktor pemicu terjadinya kekerasan di lingkungan keluarga adalah berasal dari tontonan televisi. Selama berada di rumah siaran televisi menjadi pilihan hiburan masyarakat, terutama anak-anak.
Siaran pertelevisian, semisal film dan lainnya memang merupakan sarana edukatif dan sumber informasi serta menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat. Bahkan tidak sedikit akan dijadikan tuntunan bagi penontonnya. Akibatnya, siaran yang mengandung konten -kekerasan, pornografi, kejahatan dan sebagainya- tentu menjadi peluang untuk dijadikan tuntunan.
Meskipun sebenarnya ada banyak faktor pemicu terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak. Tetapi, faktor ini juga sangat penting menjadi perhatian.
Pada webinar yang sama yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film RI pada 3 November lalu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak masyarakat untuk kritis terhadap tontonan anak. Menteri Bintang juga mengapresiasi dan mendukung Lembaga Sensor Film yang telah mencanangkan Budaya Sensor Mandiri agar masyarakat memiliki kemampuan dan kesadaran memilih dan memilah tontonan, sesuai dengan klasifikasi usianya.
Tentu hal ini dinilai sebagai salah satu upaya mencegah dampak negatif yang ditimbukan dari siaran-siaran televisi. Maka dari itu menurut Christina adalah penting untuk dilakukan sosialisasi Budaya Sensor Mandiri untuk mendayagunakan kesadaran dan partisipasi masyarakat.
Tidak ada asap, jika tidak ada api. Sebenarnya tidak akan terjadi kekerasan pada perempuan dan anak yang dipicu oleh tayangan atau siaran televisi seperti film yang mengandung unsur kekerasan jika memang tidak ada lembaga perfilman yang menyuguhkan. Dalam hal ini tentu pemerintahlah dan para pemangku kepentingan yang memiliki andil dan kontrol terhadap hal yang demikian.
Namun, sampai saat ini pemerintah (dalam hal ini Lembaga Sensor perfilm-an) belum mampu mengontrol permasalahan tersebut. Bahkan banyak siaran televisi belum sepenuhnya merujuk pada ketentuan Undang-Undang Penyiaran. Sehingga solusi-solusi apapun yang ditawarkan tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan. Sebab tidak menyentuh akar masalah.
Penerapan sistem kapitalisme yang mencengkram dalam kehidupan bernegara, telah menyulap masyarakat menjadi egois, menghilangkan perannya sebagai kontrol sosial dan hanya mementingkan kepentingan masing-masing. Termasuk untuk memperoleh keuntungan materi. Asalkan membawa keuntungan, segala kemungkinan keburukan akan dikesampingkan dan tidak menjadi perhatian.
Begitu pula terhadap suguhan film atau tayangan televisi. Hanya bersandar kepada banyaknya peminat, tayangan apapun itu maka akan diproduksi dan ditayangkan demi meraup keuntungan. Tidak peduli apakah mengandung unsur kekerasan, pornografi termasuk dengan menjadikan perempuan sebagai objek pemikat.
Kehidupan sekuler juga telah menjadikan individu-individu masyarakat kehilangan nilai-nilai ketakwaannya. Memisahkan aturan agama dalam kehidupan. Berani melakukan segala bentuk perbuatan yang melanggar syariat tanpa takut akan pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sehingga tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak pun tidak bisa dihindarkan.
Peran negara pun sebagai pelindung rakyat dalam sistem kapitalisme sejatinya hanyalah ilusi. Negara hanya memandang keamanan rakyat secara keseluruhan, bukan melihat kepada keamanan perindividu rakyatnya. Hal ini dilihat dari masih besarnya sebaran kekerasan pada perempuan dan anak di daerah-daerah. Menjadi bukti gagalnya sistem sekuler-kapitalisme dalam melindungi rakyat.
Berbeda dalam sistem pemerintahan Islam yang akan menutup segala pintu munculnya kekerasan pada perempuan dan anak. Dalam sistem pemerintahan Islam, negara (baca: daulah Khilafah) memiliki peran penting sebagai pelindung rakyatnya. Menyelesaikan segala permasalah secara mendasar.
Negara akan senantiasa memelihara ketakwaan individu rakyat melalui penerapan sistem pendidikan Islam. Baik secara formal maupun nonformal, termasuk dalam lingkungan keluarga.
Sistem pendidikan di lingkungan formal seperti sekolah dilaksanakan dengan kurikulum yang berasaskan pada aqidah Islam. Menanamkan ketakwaan individu melalui pembentukan kepribadian Islam pada peserta didik. Sementara di lingkungan keluarga, ketakwaan individu dipupuk sejak dini oleh para orang tua.
Anak dipandang sebagai amanah dari Allah yang harus dididik, dipelihara dan dilindungi sebaik mungkin. Begitu pula dengan istri yang akan diperlakukan dengan baik oleh suami. Sehingga kekerasan di dalam keluarga akan kecil kemungkinan terjadi bahkan tidak akan pernah terjadi.
Melalui ketakwaan individu inilah, fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial akan ikut terlaksana melalui aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar. Masyarakat tidak akan tinggal diam ketika terjadi tindakan kezaliman dan kejahatan. Masyarakat pun tidak akan melakukan perbuatan yang akan merugikan orang lain. Tidak egois dan hanya memikirkan keuntungan materi semata.
Negara juga hadir sebagai pelaksana hukum/sanksi terhadap segala bentuk kejahatan, seperti kekerasan. Pelaku akan diberi sanksi/hukuman tegas sesuai ketentuan syariat. Sehingga akan memberi efek jera bagi pelaku dan akan menjadi pencegah berulangnya kejahatan yang sama.
Sedangkan melalui kekuasaan, negara akan mengontrol tayangan-tayangan media –televisi- agar tidak ada lagi tayangan yang mengandung unsur-unsur kejahatan seperti kekerasan dan sebagainya. Tayangan pertelevisian difungsikan hanya sebagai sarana informasi dan pendidikan.
Demikianlah solusi tuntas dalam sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan yang akan menutup semua celah pemicu terjadinya kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Solusi yang tentu sangat jauh berbeda dengan solusi yang ditawarkan oleh sistem sekuler-kapitalisme. Wallahu ‘alam.
Penulis: Assadiyah (Member Akademi Menulis Kreatif)