Ummu Hamnah Azizah Asy Syifa' (Pemerhati Sosial)
LorongKa.com - Perbincangan seputar syariat Islam semakin hangat, bahkan di tengah pandemi, syariat Islam mulai dilirik apalagi jika berfikir tentang demokrasi yang makin hari makin menemui jalan buntu. Bagaimana tidak? Para elit, ketika mengambil kebijakan selalu mengatakan beginilah jalan demokrasi, namun ketika kaum proletar yang bersuara maka ruang demokrasi pun tersempitkan.
Pada kenyataannya, demokrasi itu memang sempit karena ia hanya di gunakan sebagai alat untuk memuluskan rencana dari Ideologi kapitalisme. Tak ayal, demokrasi tidak mampu berdiri sendiri tanpa dukungan sekularisme yang melahirkannya, tak terkecuali di negeri tercinta ini.
Negeri yang sejuta kekayaan alam dititahkan sang Pencipta untuknya. Negeri yang tongkat dibuang akan berubah menjadi tanaman saking suburnya tanah itu. Panorama keindahan pun tak kalah indah dibanding negeri-negeri lain, namun sayang dalam pengelolaannya dimiliki oleh pihak lain. Atas nama investasi, kekayaan alam negeri ini dieksploitasi oleh asing dan aseng.
Keterlibatan pihak asing ini karena demokrasi yang dianut oleh negeri ini berasas ideologi kapitalisme. Artinya, peran kaum kapital pun mendominasi, tak heran jika korporasi yang untung dan rakyat pun buntung.
Rakyat yang awalnya hanya diam-diam bae, kini semakin kritis. Hal inilah yang membuat sebagian elit terpengagah. Hingga berani mengambil kebijakan meskipun rakyat banyak menolak. Kembali lagi demokrasi tidak berkutik, malah rakyat sendiri diperlakukan seperti musuh. Rakyat yang turun ke jalan menyuarakan aspirasi penolakan terhadap kebijakan RUU Cipta Kerja pun di tangkap.
Mahasiswa, sebagai Ageng of change dianiaya, bahkan pemukulan tak terbendung. Anehnya, yang melakukan hal itu disinyalir adalah aparat keamanan. Padahal aparat dan rakyat memiliki hubungan erat, seharusnya mereka saling mendukung dan membantu bukan sebaliknya.
Rakyat marah pada penguasa bukan pada aparat dan aparat seharusnya harus mampu memiliki integritas tinggi meskipun emosi harus menjaga diri dari hal-hal buruk yang nantinya akan mencederai kepercayaan rakyat pada penegak hukum. Sebagai pelindung penguasa dan pelayan rakyat, aparat harus adil dalam memihak.
Selain itu, pemerintah adalah harapan rakyat di mana mereka telah dipilih melalui demokrasi. Seharusnya, kepentingan rakyat yang lebih utama ketika mengambil keputusan. Sebagaimana, amanat UUD 1945 yang juga tertuang dalam Pancasila sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai pelayan rakyat. Di sisi lain, fokus pemerintah bukan hanya perbaikan ekonomi agar tak sampai menemui krisis, sejatinya, buat apa Indonesia terlihat kaya di mata dunia namun di dalamnya masyarakat menjerit karena kelaparan.
Bukankah negeri ini merdeka atas dasar ketidakadilan bangsa penjajah? Pahlawan rela mati demi kita semua agar nasibnya tidak sama dengan mereka. Mereka dibantai, dimiskinkan, dianiaya bahkan dibunuh. Akankah kita ingin mengulang sejarah? Entahlah. Hari ini, orang miskin sudah tak bisa bicara tentang perubahan.
Semua ini terjadi ketika manusia berani membuat hukum untuk mengatur kehidupannya. Sehingga, hasilnya pun membuat kemelaratan pada manusia itu sendiri. Demokrasi yang katanya memihak pada rakyat kini tak berkutik. Karena pada dasarnya, demokrasi hanya mengikuti titah pemiliknya, yakni kapitalis.
Oleh sebab itu, sudah saatnya manusia kembali pada aturan yang telah dibuat oleh pencipta manusia dan kehidupan yakni Allah SWT. Hanya dengan aturanNya manusia dapat hidup dengan kesejahteraan. Allah SWT berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A'raf: 96)
Penulis: Ummu Hamnah Azizah Asy Syifa' (Pemerhati Sosial)