Hani Handayani, A.Md (Pemerhati Lingkungan) |
Ku kisahkan oh tentang hutan
Yang kini semua hanyalah tinggal cerita
Diperkosa para durjana
Melahirkan malapetaka
LorongKa.com - Lirik lagu yang dinyanyikan /Rif band, menggambarkan bagaimana ketamakan dan orang-orang durjana yang demi kepentingan mereka menghancurkan hutan. Inilah yang terjadi dengan kondisi hutan di Papua, dikutip dari detik.com 14/11 Forensic Architecture dan Greenpeace Indonesia, melakukan investigasi yang diterbitkan pada Kamis (12/11/2020) bersama BBC, mendapatkan bukti telah terjadi pembakaran hutan untuk membuka perkebunan sawit yang dilakukan oleh perusahaan asal Korea Selatan (Korsel).
Hasil investigasi tersebut menemukan bukti pola kebakaran 'yang disengaja' secara konsisten di salah satu konsesi Korindo, untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit selama periode 2011-2016.
Korindo Group merupakan anak usaha asal Korea Selatan, menguasai lebih banyak lahan di Papua dibanding konglomerasi lain. Perusahaan ini sudah membuka hutan Papua lebih dari 57.000 hektare, yang hampir seluas Seoul, ibukota kota Korea Selatan. Hal inilah yang menjadi sorotan Forensic Architecture dan Greenpeace Indonesia.
Dari hasil investigasi ini, Korindo Group membantahnya, dikutip dari CNNIndonesia.com, Public Relations Manager of Korindo Yulkan Mohammad Riza mengatakan, hasil investigasi tersebut tidak benar dan menegaskan bahwa perusahaannya konsisten berkontribusi dalam membantu perkembangan dan kemajuan rakyat Indonesia, khususnya di daerah Papua.
Korporasi Mengincar Lahan
Banyaknya perusahaan yang 'bermain' menjadi penyebab kebakaran hutan terjadi di Papua. Ini membuka netra, bahwa hutan Papua sangatlah luas dan menjadi incaran para korporasi. Bagaimana kita menyaksikan pepohonan yang hijau berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.
Masyarakat adat setempat mengeluhkan perubahan ini, kemudian direspons oleh lembaga sertifikasi produk hutan berkelanjutan, Forest Stewardship Council (FSC). Sayangnya, FSC memilih tidak merilis temuan lengkap hasil penyelidikan selam dua tahun itu. BBC mendapatkan salinan hasil laporan itu, hasilnya bahwa operasi kelapa sawit Korindo telah menghancurkan 30.000 hektare hutan konservasi tinggi. Ini jelas telah melanggar peraturan FSC, hak masyarakat adat dan adanya 'pihak' yang membuat ganti rugi lahan hutan menjadi rendah sehingga masyarakat adat dibuat rugi.
Menelisik permasalahan hutan di Papua yang dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit, tidak lepas dari para perusahaan korporasi yang banyak. Data yang di dapat dari majalah Forbes 2014 beberapa perusahaan besar 'bermain' di sana. Seperti, Musim Mas Group milik Bachtiar Karim (2 miliar USD), Raja Garuda Mas Group milik Sukanto Tanoto (2,11 miliar USD), Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja (5,8 miliar USD)”.
“Salim Group milik Anthony Salim (5,9 miliar USD), Rajawali Group milik Peter Sondakh (2,3 miliar USD). Austindo Nusantara Jaya Group, milik pengusaha kaya George S. Tahija. Termasuk Perusahaan modal asing (PMA) Korindo Group, asal Korea Selatan, Tadmax Group asal Malaysia dan Pacific Interlink asal Yemen yang beroperasi di Boven Digoel. The Lion Group asal Malaysia, Noble Group berkantor di Hongkong dan Carson Cumberbatch asal Sri Lanka yang mengelola perkebunan kelapa sawit di Nabire.
Melihat dari beberapa perusahaan yang ada di Papua, ini membuktikan korporasi lebih menguasai lahan di Papua, sehingga sumber daya alam negeri ini dikuasai ‘pihak lain' ketimbang anak negeri sendiri. Hal ini membuat pengelolaan hutan di Papua menjadi lahan eksploitasi dan kapitalisasi untuk kepentingan bisnis para pengusaha tersebut.
Jika hal ini dibiarkan tanpa pengawasan dari negara, sungguh ini akan berdampak pada deforestasi ekosistem hutan yang akan mempengaruhi perubahan iklim dunia. Tidak hanya itu, ekonomi masyarakat adat di sana pun akan terganggu, karena hutan merupakan bagian yang tak bisa dipisah dari kehidupan masyarakat adat Papua.
Peran Negara Diperlukan
Sungguh ironis, Papua yang memiliki hutan seluas 40.546.360 hektare dan memiliki sumber daya alam lainnya, tetapi masyarakat tidak bisa merasakan hasil dari alam mereka. Hal ini terjadi karena negara menerapkan sistem kapitalis. Dimana sistem kapitalis selalu mencari keuntungan dengan menyerahkan roda ekonomi berdasarkan mekanisme pasar sehingga peran negara hanya sebagai regulator. Terlebih adanya kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sumber daya alam melalui sistem konsesi.
Dikutip dari resvani.com sistem konsesi di Indonesia pertama kali diperkenalkan pada masa penjajahan kolonial berdasarkan konsep hukum perdata Barat yang diatur dalam Burgirljk Wetboek (BW) yang dibawa Belanda. Di bawah undang-undang Indische Mijnwet 1899. Prof. R. Subekti, S.H. (1971) mengartikan konsesi sebagai suatu izin dari pemerintah untuk membuka tanah dan menjalankan suatu usaha di atasnya, membuka jalan, menambang dan seterusnya. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, hak konsesi dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan (HGB).
Adanya konsep konsesi ini menjadi awal terjadinya eksploitasi lahan dan membatasi hak masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan hutan sebagai sumber pangan dan pencarian.
Minimnya peran negara yang bertindak hanya sebagai regulator membuat ini terjadi. Maka pengelolaan hutan hendaknya, tidaklah diserahkan kepada perusahaan/swasta. Negara bisa mengambil peran penting, dengan melakukan pengelolaan secara langsung, melalui Badan Usaha Milik Umum (BUMU) atau Badan Usaha Milik Negara ( BUMN), negara berperan secara langsung bukan sebagai regulator saja.
Semoga negara bisa berperan lebih optimal dalam mengelola sumber daya alam di negeri ini. Sehingga kesejahteraan masyarakat akan terjamin dan lingkungan akan tetap terjaga. Wallahu a’lam.
Penulis: Hani Handayani, A.Md (Pemerhati Lingkungan)