Rina Tresna Sari,S.Pd.I (Praktisi Pendidikan dan Member AMK) |
LorongKa.com - Indonesia negeri 1001 dongeng, rasanya ungkapan tersebut pantas untuk menggambarkan berbagai peristiwa menghebohkan yang terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah kasus korupsi yang tidak pernah ada habisnya. Berbagai dana yang dikucurkan pemerintah tidak luput dari incaran orang-orang yang tidak bertanggungjawab, tidak peduli berapa banyak orang yang terambil haknya.
Begitupun yang terjadi dengan dana desa, dana yang prioritas penggunaannya diatur dalam Permendesa PDTT 13 tahun 2020, dimana pada tahun 2021 penggunaan dana desa diprioritaskan penggunaanya untuk kesehatan masyarakat desa dan perbaikan kondisi ekonomi desa, disamping untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pun tak luput dari incaran para oknum yang tidak bertanggungjawab.
Dilansir BandungKita.id, 24/1/2020 – Diduga korupsi dana desa, dua mantan Kepala Desa (Kades) di Kabupaten Bandung ditahan di kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Kab. Bandung. Kedua mantan Kades tersebut ditahan oleh Jaksa selama 20 hari, yaitu sejak tanggal 19 Januari 2021. Hal ini disampaikan Kepala Sub Seksi Penuntutan seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bandung Rudi Dwi Prastyono.
Kasus korupsi dana desa di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kasus korupsi di sektor anggaran desa menjadi kasus yang terbanyak ditindak oleh aparat penegak hukum selama tahun 2019 lalu bila dibandingkan sektor-sektor lainnya. Data ICW menunjukkan, terdapat 46 kasus korupsi di sektor anggaran desa dari 271 kasus korupsi selama 2019. Korupsi anggaran desa tercatat memberi kerugian negara hingga Rp 32,3 miliar(Kompas.com,18/2/2020).
Sungguh miris, melihat fakta korupsi dana desa yang kian meningkat, rupanya dana desa lebih menarik dari kembang desa. Pasalnya dana yang sejatinya digunakan untuk peningkatan kesejahteraan dan pengembangan desa ini pun, tak luput dari incaran tindak korupsi. Apalagi saat bangsa kita sedang dilanda ujian pandemi Covid-19 yang hampir genap satu tahun belum juga usai membuat Indonesia panen misbar, tentunya dana desa yang banyak dikorupsi ini juga ikut menambah daftar panjang masyarakat miskin baru akibat keterpurukan ekonomi ditengah pandemi.
Korupsi juga makin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi sebagaimana mestinya).
Koruptor makin kaya, yang miskin makin miskin. Akibat lainnya, karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada dorongan ke pola produktif, sehingga timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Korupsi di Indonesia agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam. Hal ini tentu saja wajar terjadi didalam sistem kapitalisme liberal, pasalnya dalam sistem kapitalisme liberal hukum asal perbuatan manusia bukanlah halal dan haram, akan tetapi azas manfaat, maka semua perbuatan walaupun merugikan banyak pihak juga mengakibatkan kerugian akan ditetap dilakukan asalkan ada manfaatnya. Akibatnya tindak korupsi ini sulit untuk diberantas di negeri ini selama negeri ini masih mengadopsi sistem kapitalisme liberal. Karenanya hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
Penanganan korupsi seolah tidak dilakukan secara komprehensif, terkesan setengah hati, dan tidak sungguh-sungguh. Hal ini tampak dari tidak adanya teladan dari pemimpin dan sedikit atau rendahnya pengungkapan kejahatan korupsi, juga hukuman yang tidak menjerakan bagi para pelakunya, sementara masyarakat tahu bahwa korupsi terjadi di mana-mana.
Berbeda dengan Islam, Islam sebagai sistem hidup yang lahir dari Allah Swt. sebagai Tuhan yang menciptakan manusia, tentunya Islam datang dengan seperangkat aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Termasuk juga dalam tindakan korupsi Islam memiliki metode untuk memberantasnya. Diantaranya seperti berikut ini:
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukupi nafkah keluarga. Maka, agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, kepada mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak.
Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).”
Oleh karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini. Prinsip pemberian gaji rendah kepada pegawai dengan membuka kemungkinan perolehan tambahan pemasukan (yang halal dan haram) sudah semestinya ditinjau ulang. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.
Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar–separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi–datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.
Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya.” Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak.” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).
Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).
Nabi, sebagaimana tersebut dari hadis riwayat Bukhari, mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis, atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh khalifah ‘Umar bin Khaththab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi.
Itulah beberapa strategi Islam dalam memberantas korupsi atau suap-menyuap yang diharamkan dalam Islam. Maka inilah keuntungan ketika kita menerapkan syariat Islam karena hanya dengan aturan Islamlah korupsi mampu diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
Maka jelas pula tiada aturan atau hukum selain Allah yang mampu memberantas kejahatan ataupun kemaksiatan kepada Allah Swt. Wallahu a’lam bishshawab
Penulis: Rina Tresna Sari,S.Pd.I (Praktisi Pendidikan dan Member AMK)