Ine Wulansari
LorongKa.com - Bumi akan selalu mencukupi kebutuhan semua manusia, namun tak akan mampu memenuhi keserakahan satu manusia. Hal ini menggambarkan dengan jelas, bahwa sebanyak apapun kekayaan yang terhampar di muka bumi ini, jika berada di tangan seseorang yang serakah akan dunia, maka keberlimpahan yang tersedia akan habis bahkan hilang tanpa bersisa.
Keserakahan ini pun menyiratkan begitu banyak kasus korupsi yang ada di negeri ini, seakan-akan tak pernah ada habisnya. Korupsi kian merajalela, tangan-tangan serakah yang buta hatinya mencuri tanpa rasa malu dan bersalah. Inilah negeri serba ironi, hidup hanya layak diperuntukkan bagi mereka yang punya kuasa dan harta.
Dilansir dari PikiranRakyat-Tasikmalaya.com, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak serius menangani kasus korupsi. Begitupun dengan korupsi bantuan sosial (Bansos) yang dilakukan Juliari Batubara. Ketidakseriusan KPK memunculkan kecurigaan adanya oknum lain yang terlibat dalam kasus korupsi Bansos ini. Kemudian ditemukan juga banyaknya korporasi yang baru berdiri empat sampai lima hari, namun mendapat proyek Bansos.
Tak hanya itu saja, ada dua nama yang terlibat kasus korupsi Bansos. Keduanya berada di partai yang sama dengan Juliari. Menurut ICW, korupsi ini sangat lambat ditangani dan berpotensi menjadi kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Sungguh mengenaskan, kasus korupsi yang melibatkan partai besar dan berkuasa begitu lambat ditangani. Padahal nama-nama yang diduga terlibat telah publish di media. Lagi-lagi kasus korupsi menguap, mendadak KPK ciut menanganinya. Seperti kasus Bank Century, megakorupsi yang hingga kini hilang bak ditelan bumi. Akankah kasus Bansos ini pun akan menghilang dan tak ada kabar beritanya?
Masalah korupsi adalah problem yang terus-menerus dihadapi oleh banyak negara-negara berkembang. Kasus ini merupakan masalah yang serius, sebab akan selalu menggerogoti perekonomian, ibarat tikus yang tak berhenti mengerat apapun hingga habis. Bukan hanya kerugian secara ekonomi, korupsi menjadi penyebab utama buruknya implementasi kebijakan. Banyak kebijakan yang dibuat diiringi dengan suap dan korupsi, sehingga kebijakannya tak akan pernah beres.
Dengan korupsi sedemikian rupa, umat terzalimi hingga tahap yang menyedihkan. Inilah alasan KPK dibentuk pada masa reformasi, sebuah badan independen yang khusus menangani masalah pemberantasan korupsi. Berkat kerja keras KPK banyak kasus korupsi yang dibongkar. Namun sayang, kesan tebang pilih kasus masih begitu terasa. Misalnya, kasus BLBI Bank Century yang melibatkan partai besar saat itu, dengan kerugian negara hingga ratusan trilliun belum terungkap hingga kini. Semenjak adannya UU No 19 Tahun 2009, fungsi KPK kian dilemahkan.
Akar permasalahan korupsi adalah sistem demokrasi yang banyak melahirkan karakter penguasa yang korup. Sistem demokrasi yang sekuler menyuburkan para pemimpin yang tak paham agama. Sekularisme telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Tidak adanya kontrol internal yang tercipta dan justru bersandar pada kontrol eksternal seperti KPK. Akibatnya, celah berbuat curang begitu terbuka lebar.
Hukuman terhadap koruptor pun tidak memberikan efek jera. Lemahnya hukuman bagi pelaku, membuat koruptor tak kapok melakukan hal yang keji ini berulang-ulang. Aturan terkait korupsi di Indonesia berubah-ubah, revisi UU KPK yang secara otomatis melumpuhkannya sebagai lembaga pemberantas korupsi. Ditambah budaya korupsi di partai politik bukan isapan jempol belaka, berlaku mahar tertentu untuk menduduki jabatan tertentu. Bahkan budaya korupsi ini dibawa hingga ke pemerintahan. Sungguh, kasus korupsi yang terus meningkat tak akan pernah tuntas ditangani. Sebab sistem yang dianut saat ini, yakni sistem demokrasi sekuler justru menjadi jalan bagi banyak kecurangan dan tindak kejahatan. Selama sistem ini dijadikan aturan hidup, maka korupsi tak akan pernah terselesaikan.
Berbeda dengan Islam, sebagai sebuah sistem yang lengkap. Mengatur manusia, kehidupan, dan alam semesta dengan aturan sempurna. Islam dengan sistem sanksi yang dimilikinya, dapat menyelesaikan berbagai masalah termasuk korupsi. Sistem sanksi ini jika diterpakan akan bersifat jawabir atau penebus, maksudnya sanksi di akhirat akan gugur karena telah digantikan dengan sanksi negara. Sedangkan zawajir sebagai pencegah, uqubat dan sistem sanksi akan mencegah orang-orang melakukan tindak kejahatan.
Dalam buku karya Yan S. Prasetiadi. “Islam Rahmataan lil ‘Alamin”, Solusi untuk Indonesia. Menjelaskan, bahwa hanya sistem Islamlah yang terbukti mampu memberantas korupsi dan mencegahnya sedini mungkin. Ada lima faktor pencegahnya, yakni:
Pertama, dasar akidah Islam melahirkan ketakwaan individu. Dari sini lahirlah kontrol internal yang menyatu dalam diri pemimpin.
Kedua, sistem politik Islam tidak berbiaya mahal. Dalam kepemimpinan Islam sifatnya tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara dilakukan oleh khalifah pemimpin tertinggi pemerintahan.
Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak tergantung pada Parpol.
Keempat, struktur dalam sistem Islam semuanya ada dalam satu kepemimpinan, yakni khalifah.
Kelima, praktik korupsi andai terjadi bisa diberantas dengan hukum syariat. Hukum sanksi bagi pelaku akan mampu memberikan efek pencegahan dan menjerakan. Hukum sanksi bagi koruptor adalah ta’zir, diserahkan kepada ijtihad khalifah dan qadhi (hakim). Misalnya, Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi bagi koruptor adalah cambuk dan dipenjara dalam waktu yang sangat lama.
Oleh karena itu, hanya dengan kembali kepada syariat Islam permasalahan apapun akan tersolusikan, termasuk problem korupsi. Syariat Islam diturunkan Allah Swt. untuk menyelesaikan seluruh urusan manusia. Namun syariat Islam tak bisa diterapkan menyeluruh dalam sistem demokrasi saat ini. Sistem demokrasi harus diganti dengan sistem Islam yang akan membawa keberkahan bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ine Wulansari.