Di Seberang Jalan
Saleh
Aku tulis sajak ini di bulan Juni
Tentang Terangnya kekuasaan sistem yang di sebut kapitalisme.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan raya
Bangkai tikus, kucing, anjing, bahkan manusia
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah
Menerawang jauh pada langkah kaki para pejalan
Yang mata dan telinga di tuding oleh asap dan riuh suara-suara mesin
Lalu lalang melintasi jalan raya itu
Degan suara klakson melengking ingin menambah wibawa
Penyebrang, menyebrang dengan langkah kaki yang patah-patah.
Bunga revolusi, Sudah tersamarkan oleh kabut pekat yang meniti lorong-lorong kehidupan
Dekapan waktu tak lagi meninggalkan kenangan
Diantara panjangnya malam dan indahnya rembulan yang berhiaskan bintang-bintang
Pagi yang damai dengan sejuknya mentari pagi
Seperti petani merindu pada musim panen.
Mereka Terkapar, menyaksikan Tanah dan Air
Terkotakkan oleh keangkuhan dan keserakahan
Kembali tumbuh dan megakar kedalam jiwa
Nurani seakan dibakar bara api kematian
Sedangkan cinta kasih entah di dunia mana?
Belum bisa aku temukan!
Perihal jarak terseret dalam arus waktu
Bulan yang nampak di sepotong jendela
Melambaikan beribu Tanda tanya pada setiap peristiwa
Malam sepi tanpa dongeng pengantar tidur
Hanya halusinasi memberi harapan dan mimpi
Sebelum kematian ku, biarkan Kutuliskan di sini
Beberapa dongeng tentang perjalanan dan waktu
Di dalamnya ada aku dan kamu, kalian dan mereka
Berpayung cinta kasih yang kian absurd dalam dunia fatamorgana
Mengejar bayang-bayang syurga di antara deretan anak semua bangsa yang hilang dalam efek rumah kaca.