Ainun Mizan |
LorongKa.com - Revisi RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) No 6 Tahun 1983 telah menetapkan adanya Ppn atas sembako dan pendidikan. Sebelumnya, sembako dan pendidikan tidak termasuk komoditas yang dikenakan Ppn.
Adapun sembako yang terkena Ppn meliputi beras, jagung, sagu, kedelai, garam, susu, daging, telur, gula, buah-buahan, sayuran, umbi-umbian dan bumbu-bumbuan. Padahal konsumsi rakyat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bahan-bahan pokok tersebut. Belum ada pajak saja harga-harga kebutuhan pokok tersebut sudah mahal dan berpotensi naik, khususnya di setiap momen nataru maupun bulan puasa dan Idul Fitri.
Tentunya beban hidup rakyat yang berat ini akan bertambah berat bila Ppn sembako sudah berlaku. Sementara itu kecepatan penambahan pendapatan kalah dengan kecepatan peningkatan kebutuhan hidup. Ibaratnya besarnya pendapatan itu deret hitung. Sedangkan meningkatnya kebutuhan hidup itu ibaratnya deret ukur. Kalaupun pendapatan merangkak naik, kecepatan meningkatnya kebutuhan hidup semakin melangit. Belum lagi di masa pandemi ini. Semakin bertumpuk saja beban hidup rakyat. Menanggung beban utang negara, termasuk menanggung kebutuhan hidupnya.
Dilengkapi pula adanya Ppn pendidikan. Sebelumnya pendidikan bukan komoditas yang terkena pajak. Sudahlah kebutuhan pokok naik, kebutuhan pendidikan juga ikut naik.
Ppn sembako dan pendidikan itu akan menjadi tanggungan rakyat. Yang membayar Ppn sembako adalah rakyat dalam bentuk harga yang tinggi. Begitu pula dalam Ppn pendidikan. Yang membayar tinggi biaya pendidikan adalah wali murid. Pertanyaannya, di manakah hilangnya tujuan bernegara yang menyatakan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa?
Sedangkan tentang pemberlakuan Ppn tersebut adalah di saat ekonomi pulih. Kapan pulihnya ekonomi itu terjadi? Apakah yang menjadi ukuran ekonomi pulih?
Bila ekonomi pulih disandarkan pada berakhirnya pandemi ini, yang jelas tidak ada yang bisa memastikan waktu berakhirnya pandemi. Apalagi trackrecord penanganan pandemi yang saling kontradiktif. Artinya tidak menutup kemungkinan bila Ppn sembako dan pendidikan akan tetap diberlakukan walaupun pandemi belum berakhir.
Selanjutnya ukuran ekonomi pulih. Apakah berakhirnya pandemi adalah ukuran ekonomi pulih? Tentu tidak. Pasca pandemi, kehidupan seolah bangun dari mimpi buruk. Tentunya pemulihan kehidupan ekonomi dan sosial perlu mendapat perhatian serius dari negara. Lantas, bila kas negara tidak mencukupi bahkan minus, dari manakah anggaran untuk pemulihan keadaan?
Tentu saja pada waktu pemulihan keadaan ekonomi dan sosial tersebut, tidak elok bila negara menarik Ppn sembako dan pendidikan, termasuk pajak lainnya. Pasca pandemi keadaan rakyat butuh recovery.
Di sinilah urgennya negara beralih dari penerapan ekonomi berbasis pajak dan utang. Negara mestinya mengambil sistem ekonomi yang tidak berbasis pajak dan utang. Ekonomi Islam akan meniadakan utang dan pajak. Sumber-sumber pendapatan negara akan diperoleh dari komoditas kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Berbagai SDA akan dikelola negara guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara akan segera menasionalisasi semua komoditas SDA yang dikangkangi oleh korporasi.
Di samping itu, negara akan mengelola kepemilikannya seperti BUMN maupun BUMD dengan rasa amanah. Dengan demikian akan tersedia dana yang melimpah bagi negara guna segera menyelesaikan pandemi ini. Di samping itu, pemulihan ekonomi secara cepat akan mampu dilakukan oleh negara.
Negara membuka lapangan-lapangan kerja baru. Negara akan memberikan berbagai pelatihan lifeskill kepada rakyatnya yang laki-laki agar mereka bisa bekerja. Negara akan memberikan modal agar rakyatnya bisa menghidupkan lagi usahanya. Termasuk negara akan mencukupi kebutuhan hidup bagi rakyatnya yang sudah tidak mampu lagi bekerja baik karena usia maupun sakit.
Sementara itu kebutuhan hidup masyarakat yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan diurus dengan baik. Pendidikan, kesehatan akan diberikan secara berkualitas. Kalaupun rakyat harus membayar, maka negara tidak berlaku layaknya perusahaan. Negara itu pengurus rakyatnya. Artinya biayanya akan sangat terjangkau.
Demikianlah pengaturan dalam mewujudkan pemulihan ekonomi. Islam memandang bahwa standar kesejahteraan ekonomi adalah tatkala setiap individu tercukupi kebutuhan hidupnya baik yang primer maupun yang sekunder.
Penulis: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)