Ardiansyah Rajjako (ketua umum HMI cabang Gowa Raya) |
Universitas merupakan manifestasi miniatur dunia yang eksistensinya merias pendidikan dengan penuh harapan peningkatan kecerdasan maupun kemajuan kualitas Sumber Daya Manusia di suatu negara. Esensi dari pelaksanaan pendidikan tentunya dimeriahkan dengan cara-cara demokrasi agar tidak lenceng dari orientasinya.
Pelaksanaan demokrasi kampus memang senantiasa dihiasi dengan tanda tanya. Pergulatan kepentingan, birokrasi, harapan mahasiswa dan beragam omong kosong lainnya mengharuskan genting untuk dibicarakan. Misal, pelaksanaan demokrasi di UIN Alauddin Makassar.
Dengan berbagai kebijakan Hamdan Johanis selaku Rektor UIN Alauddin Makassar yang terletak di Kel. Romang Polong, Samata Gowa telah munuai banyak kritik. Desas desus di kalangan mahasiswa berkembang dugaan bahwa kampus telah "kehilangan arah". Kampus yang dulunya dikenal sebagai "Kampus Peradaban" yang di setiap masanya mampu memproduksi mahasiswa yang memiliki jiwa intelektual dan melahirkan kepemimpinan yang berkarakter di berbagai bidang bagi alumninya.
Siapa sih yang tidak mengenal Rektor UINAM periode ini yang juga sosok penulis "Melawan Takdir", yakni seorang anak petani yang lahir menjadi pemimpin dalam hal ini mengemban amanah sebagai rektor UINAM. Sekiranya sosok beliau mampu membedakan antara keambiguan dan keagungan, keadilan dan kesewenangan, berikut kemanusiaan dan penindasan.
Melihat pikir dan tindak lakunya yang terkungkung dalam jabatan rektornya menjadikan ekspektasi mahasiswa jauh daripada apa yang ada dalam karya-karyanya. Harapan besar yang ditaruh oleh ribuan mahasiswa telah dipatahkan oleh kebijakan otoritas seorang rektor. Mulai sejak awal penyusunan struktur birokrasi kampus mulai dari struktur rektor, dekan hingga jurusan terlihat menuai keambiguan bagi seorang guru besar. Tapi entah, mungkin bagian dari rencana perbaikan kampus.
Darinya itu, kemajuan UINAM dianggap telah kehilangan arah yakni jauh dari orientasi pendidikan. Kemajuan infrakstruktur tidak menjamin kecerdasan dan kebebasan demokrasi. Justru yang ada adalah kematian demokrasi. Seirama ungkapan KH. Dewantara "Pendidikan itu penjara, menjulang tembok yang tinggi dan terikat oleh waktu. Pendidikan seharusnya jadi tempat pencerdasan tanpa ada kungkungan". Jika kebijakan seorang rektor UINAM ini menuai keberlangsungan maka tentu demokrasi tidak lagi penting diberlakukan. Matinya demokrasi.
Hadirnya kampus merupakan perpanjangan nalar, yang sejatinya sebagai wadah pemikiran, konsolidasi, transformasi gagasan, dan pertarungan akal sehat bagi mahasiswa. Pelaksanaan hak bagi mahasiswa wajib diterima dan memakasi segala jenis fasilitas mulai dari bale-bale (bangku bambu), pelataran fakultas, di bawah pohon, parkiran hingga gazebo merupakan tempat transaksi ideologi atau sederhananya sebagai tempat pergulatan akal sehat mahasiswa. Namun demikian itu hanya terjadi sebelum Hamdan Johanis jadi rektor. Apalah daya, setelah kepemimpinan kampus diambil alih maka semuanya tinggallah kenangan dan iming-iming belaka bagi mahasiswa.
Permasalahan kampus terus berlanjut, selain mengalasankan Covid-19 sebagai hambatan keberlangsungan pendidikan yang mengalami transisi offline menuju online. Maka lumbung intelektual mulai ditutup dan "mahasiswa dilarang masuk kampus". Era pendidikan digital merenggut kebebasan hak di dalam kampus, belum lagi meningkatnya biaya pendidikan yang kian hari UKT/BKT difotmat sedemikian rupa yang tak ubahnya ialah komersialisasi pendidikan. Apatah lagi pelaksanaan demokrasi, itu sudah pasti dimatikan, aspirasi dibungkam dan kritik menuai imbalan yang tak pantas bagi mahasiswa. Paulo Ferraire bilang gini "pendidikan itu bertujuan menumbuhkan kesadaran kemanusiaan untuk memanusiakan manusia" bukan justru membinatangkan manusia. Kuliah dan demokrasi senasib, semuanya dipreteli, dimahalkan, dibungkam hingga dimatikan dan masih banyak lagi kegentingan di dalamnya.
Pertanyaannya apa tolak ukur seorang rektor dalam hal efektifitas kuliah dan kelangsungan demokrasi di UINAM?
Penulis: Ardiansyah Rajjako (Ketua Umum HMI Cabang Gowa Raya)