Muhammad Lutfi
Hai kembang
Kau dara desa tak berkepemilikan
Mana aku tahu jiwamu itu lebih dungu
Dari mata bunga hari
Kembang Dara Desa
Kau lebih menawan dari segala
Gejolak terbit jiwaku yang mengembara
Serta aku terbitkan kata-kata serta
Pucuk ungkapan hatiku
Yang tersirat atau melalui surat
Sebagai burung dara
Berpasangan
Kembang dara
Bagai kemilau tangkai padi
Dia rebah padaku
Aku rebah padamu
Seperti awan kelabu
Dia pergi kini lagi
Kembali pada daku
Dara desa pujaan hati
Aku lebih ingin kau
Daripada ucapan penyair
Dan lebih ingin kau daripada cinta penyair
Aku lebih sukai kau
Daripada maknamu sebagai dara desa
Adauhh
Makin bingung jiwa iniku
Makin bingung anu aku anu
Ohhh kamajaya
Suara dari Gunung Cinta
Turun dari salju-salju
Dari hujan-hujan yang berpegang
Pada merah, pada baju, pada ekor
Ohh rupa mawar kembang dara
Aku lebih suka kau
Kembang dara daripada
Bunga dara terbang tanpa rumah
Dia tempat di hatiku ini
Bukan fana, bukan kacau
Aahhh
Jeritan yang kacau
Kau lebih suka terkena perih
Daripada terkena luka
Sebab luka timbul perih
Sebab perih timbul kedekatan
Lalu sama-sama kita
Berdua jadi enggan menerima kekacauan
Menerima kau kembali
Sebagai daraku
Dara kembang desa yang tidak bertepi
Tapi berumah di hatiku.
Untuk tanggal yang nanti aku cantumkan di pojok surat puisi ini, aku nanti akan kirimkan sebuah kenangan dan apa itu tujuan hatiku. Tujuan hatiku memang tidak ada yang lain selain kamu, bunga dara kembang desa. Macam julukan aku berikan pada suara hati yang kacau. Kini, aku berikan bunga daun warna pagi. Pagi entah sudah berapa kali kita lalui sepi. Sepi dan sepi kini jadi kehampaan. Hampa dan semakin kosong.
Saat itu aku kehilangan kamu jadi mata bunga pagi. Dara bunga desa yang masih aku miliki saat ini, inginkan aku memilih salah satu daun dari tetumbuhan dunia ini. Memang begini, aku seperti tulisan seperti kertas biar jadi abu aku ubah kau dari arang jadi bedak putih dari bedak putih, jadi gincu nyonya-nyonya. Nyonya milik siapa yang aku tahu itu. Ah, kau memang lebih seperti macam dunia yang aku lalui.
Entah kenapa bunga dara kembang desa lebih suka aku banding-bandingkan dengan kamu daripada dengan adik wanita Belanda. Hai, memang begini aku suka hidup dan begini aku suka hidup dan terus begini aku suka hidup dari karya resi-resi. Begawan yang telah melewati gunung-gunung dan laut-laut maka lewat aku telah memilih kamu sebagai angin terpana dan terpesona pada bunga mayapada.
Maya bunga kaca sepi dari unggun rimbun sajak. Itu bagaikan rumahku dan rumahmu dari suara-suara keindahan dan memang begini aku lebih suka jalani hidup dari enak-enak yang telah jiwa merdeka bangun. Bangun, bangun, tapi jangan salah bangun. Tapi jangan salah yang bangun. Bangunnya engkau tidurkan lagi. Bangunnya engkau tidurkan lagi. Tidur lagi supaya kau dapat mengontrol hidupmu. Hidup harus hidup. Harus hidup. Segera hidup seperti angin segara melewati angin. Lewat supaya jalan sepi dan terkena dari jalan-jalan pematang kita melintas. Melintas pula suatu hasrat dari keinginan kita yang entah bagaimana kita melepaskan hati. Melepaskan keinginan. Melepaskan jiwa dan hidup dari angan angan yang kaku.
Aku masih ingin jiwa suara suara dari negeri yang aku jalani. Berkelana, berkelana, berkelana dan memang seperti itulah aku inginkan hidup menatap masa depan. Masa depan adalah milik kita yang percaya pada mata maha melihat. Maha mendengar dan aku takut. Dia dengar suara suara batin aku yang masih kacau. Kacau hingga aku sulit kemudian hatiku. Gimana ini perasaanku pada sesuatu itu. Sesuatu yang aku inginkan itu adalah dimana aku jadi harapan bagimu. Aku bisa jadi keinginan untuk kamu. Merdeka, terbang terbang, bagai burung lupa sarang. Jangan kembali. Sebab aku inginkan kau jadi anak telur, menetas dan menetap dalam hatiku. Menetas dan menetas jadi bunga bunga harapan aku yang kini lembut. Lembut seperti itu dan terus seperti apa harapanku.
Sudah memang aku ingin bunga matahari jadi cahya yang bulat dan menjadi impian harapan dalam keinginanku. Mana lebih kau suka bunga daripada madu. Mana lebih kau suka susu daripada saripati hati. Mana lebih tajam dada daripada isimu. Mana lebih aku suka dari. Luar dan dalam dari tubuh-tubuhmu. Yaitu ketulusanmu maka engkau lebih tambahkan jiwaku pada suka bintang bulan yang terbit dari jiwa kita berdua. Kini aku lebih ingin bunga dari warna surga dan meledak jadi serbuk bunga bunga yang asli dan meledak jadi debu lalu hilang. Kini jadi pendar cahaya. Jadi puisi ku yang lebih indah daripada puisi jadi bunga bunga yang indah dan mekar dalam taman di sanubari hatiku.
Emang jangan begitu kau kacaukan aku dan di dalam perhiasan hidup kita ini. Aku jadi lebih ingin nikmati kamu. Mabuk dari susu soda tajam. Dari ketajaman bulu bulu warna merah itu kau ciptakan dari percik bunga bungan mawaran dan melatian. Hadeh makanya jangan bikin aku resah dan enak yang dibaca dan ditulis seperti kabut. Maaf, belum selesai surat ini aku tulis dari kehampaan dan ketidakberdayaanku. Memang begini aku jadi semangat dalam zaman dan berkembang jadi semangat anak ke manusia yang engkau harap dan mimpi.