Aulia Salsa Defani (Mahasiswa Argoteknologi UNS) |
LorongKa.com - Kebanyakan masyarakat sudah sangat akrab dengan istilah petani milenial. Istilah keren yang menyelamatkan muka pertanian yang dianggap sebagai pekerjaan kalangan bawah yang syarat dengan kehidup pas-pasan bahkan serba kekurangan. Istilah yang keren dan beken ini membuat masyarakat gampang mengingatnya dan mendefinisikan yang 'wah' untuk zaman yang katanya modern.
Mendengar kata 'petani milenial', mayoritas orang memahami sebagai pemuda yang menggeluti usaha pertanian dengan teknologi yang modern. Sebenarnya, apa sih petani milenial?
Menurut BPS, petani milenial adalah petani yang berusia 19-39 tahun. Mereka cenderung kepada generasi muda yang menggeluti sektor pertanian dan memiliki inovasi, kreatifitas, tanggap teknologi digital serta memiliki jiwa wirausaha yang diharapkan dapat menyerap tenaga kerja untuk mengurangi tingkat kemiskinan.
Banyak usaha yang dilakukan Kementerian Pertanian dalam upaya peningkatan jumlah petani milenal. Mengingat sektor pangan yang menjadi salah satu ketahanan nasional serta generasi tua yang jauh dominan, sekitar 90% yang saat ini menjadi petani. Jika ditelusuri lebih luas, calon generasi petani milenial sangatlah banyak. Sekolah tinggi ataupun perguruan tinggi banyak sekali menawarkan program studi yang berhubungan dengan pertanian. Tidak tanggung-tanggung, ada jutaan siswa pertahun yang menjadi mahasiswa jurusan pertanian. Pernyataan 90% petani adalah generasi tua dan generasi muda jarang yang meneruskan pertanian sangatlah membingungkan mengingat stok mahsiswa pertanian yang membludak. Apa penyebabnya? Mari kita telusuri.
Latar belakang mahasiswa pertanian
Mahasiswa pertanian banyak berangkat dari keluarga non petani. Para siswa SLTA sederajat masih berpikiran polos yang mengangankan dapat memberikan perubahan dengan melihat keadaan geografis tempat tinggal mereka yang diyakini dapat menjadi peluang sumber penghidupan setelah lulus kuliah. Cita-cita tidaklah salah. Namun kurangnya pemahaman realita dilapangan dan terjun ke lapangan yang minim bahkan tidak pernah ke ladang menjadikan angan angan mulia menjadi bumerang.
Seringkali mahasiswa terlihat lebih bodoh saat berhadapan dengan petani langsung. Kurangnya pengalaman dilapangan membuat gelapan pikiran yang bertentangan dengan teori kuliah yang didapat dengan duduk manis di tempat teduh bersemilirkan hawa AC yang sejuk.
Kebanyakan mahasiswa akan mengeluh karena panasnya terik matahari yang membakar kulit, belum lagi tanah dan pupuk yang mengotori tak lupa sedikit kejutan dari hewan-hewan ekosistem ladang pertanian. Banyak juga mahasiswa yang melipir saat praktek lapangan agar penampilan fisik tetap menarik. Miris!.
Perbedaan kebiasaan sebelum kuliah lebih dominan diprioritaskan.
Realita yang dirasakan mahasiswa membuat mereka berpikir berulang-ulang lagi apakah mereka salah jurusan.
Bekal Modal.
Terjun di dunia pertanian tidaklah murah. Dipikirnya pertanian hanya ada tanah, pupuk, dan tanaman. Banyak unsur-unsur lain yang tidak diperhatikan yang membuat syok saat melakukan analisis usaha tani.
Bekal teori dan praktek lapangan tidaklah cukup untuk membuat mahasiswa menjadi petani milenial. Keterbatasan modal yang dipunya menghambat mereka menjadi calon petani milenial. Modal disini tidak hanya uang saja melainkan sarana dan prasana yang diusahakan serta lahan untuk budidaya.
Di era sekarang, semua orang bisa memulai semua hal dengan sarpras milik orang lain dengan berbagai sistem yang digunakan. Inilah salah satu cara yang dipakai seorang wirausaha. Bekal inilah yang kurang dimilki oleh sebagian besar mahasiswa. mental yang dimiliki pun banyak yang jauh untuk mendekati mental seorang wirausaha. Kenyamanan finansial dengan pekerjaan yang menjanjikan lebih banyak dipilih dikarenakan jelas terpampang zona nyamannya. Selain itu, jam terbang di lahan lebih banyak menentukan tingkat keberhasilan.
Minimnya praktek lapangan membuat mahasiswa harus lebih belajar diluar kampus untuk mencari pengalaman. Rentang waktu untuk menjadi mahasiswapun sedikit dan lebih banyak porsi belajar teori. Sehingga waktu yang diperlukan untuk menjadi petani milenial pun masih panjang.
Pernyataan "Mahasiswa pertanian setelah lulus tidak mau menjadi petani" tidaklah salah dan tidak sepenuhnya benar. Hal ini mirip dengan rasionalitas petani.
Rasionalitas petani yaitu moral ekonomi yang dihadapkan petani saat kehidupan seorang petani diambang garis batas substansi. Keadaan tersebut bisa membuat petani beralih profesi bahkan menjual tanah mereka.
Selain keadaan hidup diujung tanduk, petani juga berpikir rasional jika dihadapkan keuntungan yang lebih di depan mata mereka. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami pada sektor pertanian saja. Sebagai contoh adalah seorang mahasiswa keguruan yang tidak mau menjadi guru, mahasiswa hukum yang terjun sebagai pengusaha agrowisata setelah lulus, mahasiswa kebidanan yang bekerja di perbankan, dan lain sebagainya.
Pekerjaan yang diambil banyak yang tidak relevan dengan hubungan profesi yang diambil. Dan hal ini terjadi oleh semua bidang jurusan di perkuliahan. Namun, alangkah baiknya jika sesuai dengan jurusan yang diambil. Inilah tantangan terberat bagi mahasiswa dan perguruan tinggi selain gencar meningkatkan prestasi mahasiswanya namun akhirnya berjalan ke persimpangan yang lain.
Penulis: Aulia Salsa Defani (Mahasiswa Argoteknologi UNS)