PUISI, LorongKa.com - Udara riuh tak henti menemani langkah, sungai kehidupan mengalir bebas, jemari bermain dadu, ntah angka apa lagi untuk beruntung.
Tetapi bagaimana dadu berpihak pada petani, sedang ia hanya tahu melempar dadu, berdoa menggelinding angka untung, membayar pajak untuk percobaan berikutnya.
Petani desa enggan menetap, sawah ladang meninggi menjadi beton kokoh kesombongan, menjadi arena pertarungan ego, resah luka menanah di ujung pena.
Sebut saja ia bijakasana, sekali lagi ia membacakan khutba kongloberat, tolak pinggang, telunjuk yang santai mengutuk terkaan.
Bagi mereka yang tak tau apa apa, menetap hanya sebuah derita, sedangkan pergi adalah keterpaksaan, sedang hidup ini hanya rentetan tagihan biaya, menuju telapak kaki ibu pertiwi juga tak mungkin.
Kaum kapitalis sibuk membangun jalan, anak anak desa diajar mebaca, menghitung, lalu menghapal rambu jalanan, setiap tahun kurikulum diubah agar arus jalan tak macet .
Halu untuk pecandu kopi, hidup ini panggung humoris bagi si gila, segudang senyum bagi penguasa, sederet luka bagi orang miskin.
Penulis: Sabda Senja