Elma Wahyuni
LorongKa.com - Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal maupun fisik merujuk pada seks. Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual melalui kontak fisik maupun non fisik yang ditujukan pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang.
Akhir-Akhir ini kasus pelecehan seksual terus menerus menjadi pembahasan yang cukup membumi. Kasus pelecehan seksual pun bisa ditemukan dimana-mana termasuk di dunia kampus, lingkungan sekitar/sosial maupun lingkungan keluarga dan pelakunya bisa jadi orang terdekat kita sendiri. Bentuk pelecehan seksual pun beragam, mulai dari yang paling sering terjadi yaitu melakukan kontak mata pada bagian tubuh perempuan, mengungkapkan candaan dengan unsur seksual, sampai memasuki level yang paling parah yaitu mencium, meraba-raba tubuh korban dan memaksa melakukan hubungan seksual.
Seperti halnya "Kasus pemerkosaan tiga orang anak oleh ayah kandung mereka di Luwu Timur, Sulawesi Selatan", yang diangkat Project Multatuli baru-baru ini menyita perhatian banyak orang. Pasalnya, ketiga korban adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun dan mendapatkan penanganan yang mengecewakan dari Polres Luwu Timur. Selain itu, sang ibu, “Lydia”, juga mengalami perundungan oleh pihak kepolisian. Dia difitnah dengan vonis kesehatan mental yang dianggap tidak stabil.
Dalam penangangan kasus kekerasan seksual di Indonesia, memang jarang sekali penegak hukum yang mau dengan senang hati membela korban. Seolah-olah mereka, yang didominasi laki-laki, merasa maskulinitasnya terancam melihat ada korban perempuan yang dengan lantang menuntut keadilan. Atau mungkin mereka masih mewajarkan tindakan mesum laki-laki selama tidak ada bukti masuknya penis ke dalam vagina secara paksa.
Apa terjadi dengan Lydia dan anak-anaknya hanya seperti kisah lama yang berulang kembali. Buruknya empati para penegak hukum terhadap korban kekerasan seksual masih sering ditemukan. Hal ini diperburuk dengan minimnya dukungan dari masyarakat sesama perempuan, pemahaman akan kesehatan mental, dan minimnya aturan hukum yang berpihak pada korban. (Dikutip pada magdalene.co, Artikel Perempuan Berperan).
Maraknya kekerasan seksual yang terjadi di beberapa tempat seperti dikampus, lingkungan sosial, maupun dalam lingkungan keluarga itu terjadi akibat dari kontrol laki-laki terhadap kehidupan sosial. Mereka menganggap perempuan sebagai objek kekerasan dan objek seksual bahkan mereka manganggap itu adalah hal yang biasa-biasa saja dan bukan sebuah pelanggaran.
Dampak Budaya patriarki Bagi Perempuan
Dalam pemahaman masyarakat di negeri ini, perempuan sering kali ditempatkan pada posisi “the second sex” atau yang sering disebut sebagai “warga kelas dua". Bahwa perempuan adalah sosok yang selalu harus tunduk dan patuh dalam segala hal. Bahkan dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu, beberapa nilai atau adat kebiasaan yang seakan tidak bisa lagi ditawar, "ini yang tepat bagi perempuan dan itu yang tepat bagi laki-laki".
Perempuan juga terus-menerus dikeliling dengan seperangkat aturan yang membelenggu dan membatasi ruang gerak perempuan, sehingga tidak jarang dengan adanya budaya patriarki mendorong terjadinya perbuatan yang tidak menyenangkan, kekerasan, pelecehan dan juga diskriminasi terhadap perempuan.
Akibat dari budaya patriarki yang mayoritas dianut dalam masyarakat, adalah adanya pembatasan ‘gerak’ yang wajar dan tak wajar dilakukan oleh perempuan. Pola pikir tersebut sangat memengaruhi pandangan masyarakat akan kedudukan yang layak bagi perempuan, dan tak jarang perempuan menjadi kaum yang teraniaya dalam masyarakat.
Hal itu juga yang membuat seorang laki-laki memandang perempuan sebelah mata dan hanya memandang perempuan sebagai objek semata. Seperti laki-laki yang bersiul ketika melihat perempuan berjalan itu dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar bagi kaum laki-laki. Perempuan selalu dianggap sebagai objek yang dapat digoda, sedangkan laki-laki dianggap sebagai penggoda. Dan juga terkadang pakaian perempuan selalu dijadikan sebagai alibi untuk membenarkan tindakan kekerasan seksual itu sendiri.
Dimana anggapan bahwa perempuan yang memakai pakaian mini atau sexy memberikan isyarat untuk digoda. Pakaian yang sexy dianggap menggundang hasrat bagi kaum laki-laki dan menyalahkan perempuan mengapa menegenakan pakaian yang mampu mengundang hasrat laki-laki.
Dapat juga kita lihat bagaimana negara memandang masalah pelecehan seksual, tidak jarang ketika perempuan mendapatkan pelecehan seksual maka yang disalahkan justru si perempuan (korban) itu sendiri. Dengan dalih “oh mungkin pakai bajunya nggak bener” atau ”oh pantas karna dia tidak memakai jilbab”.
Dan biasanya ketika terjadi pelecehan seksual jarang sekali si korban melaporkan akan pelecehan yang dialaminya karna pemikiran patriaki juga mengkontaminasi pemikiran korban. Sehingga korban malu ataupun takut untuk speak up, si korban malu jikalau harus menceritakan ini kepada orang lain karena si korban fikir ini adalah aib, dan si korban pun juga takut untuk bersuara disebabkan karna si korban takut dianggap tidak bisa menjaga diri dan takut untuk di salahkan. Sehingga kasus pelecehan seksual pun semakin sering terjadi karena para pelaku lolos dan tidak diberi hukuman. Mereka bebas berkeliaran dan melakukan hal tersebut berulang-ulang.
Bukankah itu merupakan sesuatu hal sangat miris yang terjadi di era sekarang? Ketika si korban mendapatkan sebuah pelecehan seksual akan tetapi si korban pula yang di salahkan, si korban pula yang diberikan justifikasi bahwa dia adalah perempuan yang tidak baik. Sedangkan pelaku sama sekali tidak mendapat justifikasi buruk dari masyarakat.
Selain itu, masyarakat sendiri juga perlu merubah cara berpikirnya dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Alih-alih menyalahkan pelaku, seringkali korbannyalah yang disalahkan. Apapun alasannya, perempuan tidak boleh diperkosa atau dilecehkan. Justru korban harus diberi perlindungan bukan dikutuk atau diolok.
Dan juga, pemerintah harusnya bersikap lebih tegas dalam memerangi kasus kekerasan seksual. Karna dapat kita lihat beberapa kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan bahkan anak terus terjadi, dan tiap tahun kian meningkat. Jadi, sudah sepatutnya hukuman lebih ditingkatkan agar memberi efek jera dan mencegah calon-calon pelaku lainnya melakukan hal yang sama.
"Jangan takut dan jangan malu untuk bersuara karena manusia punya hak untuk bersuara dan punya hak untuk didengarkan".
Penulis: Elma Wahyuni.