Jihan |
LorongKa.com - Seperti telah menjadi agenda tahunan, menjelang bulan ramadan yang sisa menghitung hari. Kenaikan harga bahan pokok kini kembali melambung tinggi di berbagai daerah.
Dilansir dari TELISIK.ID, sudah menjadi tradisi setiap tahun menjelang bulan Ramadhan harga bahan pokok akan mengalami kenaikan. Kondisi ini pun sudah mulai terasa di beberapa pasar di Kota Baubau.
Ada beberapa komoditas bahan pokok yang mulai merangkak naik. Di antara yang dari awal sudah mengalami lonjakan harga yaitu minyak goreng, kemudian disusul kedelai. Hal ini terjadi di sejumlah kota besar. Seperti yang terjadi di Kota Baubau, dari hasil pantauan dari Telisik.id di beberapa pasar Kota Baubau, harga cabai, sayuran dan telur masih stabil dan belum mengalami kenaikan. Ada beberapa komoditas bahan pokok yang mulai merangkak naik. Di antara yang dari awal sudah mengalami lonjakan harga yaitu minyak goreng dan kedelai.
Namun, untuk harga bawang merah dan bawah putih serta beras sudah mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi. Salah seorang pedagang di Pasar Wameo, Isnayanti mengatakan, harga cabai masih normal di kisaran Rp 50.000 per kilo, harga telur Rp 38.000 sampai Rp 48.000 dan harga ini masih sama dengan harga kenaikan menjelang lebaran tahun lalu dan belum ada penurunan sama sekali.
Bahan Pokok Naik, Ulah Korporasi Kapitalis
Harga pangan yang meroket biasanya terjadi karena berlakunya hukum pasar, dimana permintaan barang meningkat di tengah stok yang terbatas. Kementerian dan lembaga terkait seharusnya dapat mengantisipasi dengan menyiapkan stok barang, dengan melihat bahan pokok yang kebutuhannya naik sembari bersiap melakukan operasi pasar, untuk menekan harga serta jaminan ketersediaan maupun harga sembako yang stabil. Ini harapan yang dapat dilakukan oleh pemerintah.
Namun sayang, kenaikan bahan pokok yang dialami di sejumlah daerah, menunjukan fakta betapa negara berlepas tangan terhadap pendistribusian kebutuhan masyarakat. Standar regulasi kapitalisme pada penanganan distribusi kebutuhan membuka peluang praktek-praktek penimbunan oleh korporasi kapitalis yang ingin mempermainkan harga. Dengan kenaikan harga bahan pokok ini, menambah derita dan kesusahan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan primer mereka di tengah pandemi yang belum usai.
Sangat terlihat korporasi pangan membajak mekanisme pasar. Pemerintah yang seharusnya membuat regulasi untuk mempermudah masyarakat, nyatanya ketika regulasi yang dibuat mengalami kegagalan, justru ditanggapi hal yang biasa dan tidak mengganti rugi atas kesalahan regulasi tersebut yang akhirnya berefek kerugian bagi masyarakat.
Wajar, sudah menjadi wajah asli dalam sistem ekonomi berbasis kapitalis, dimana pemilik modal yang berkuasa, maka akan selalu ada praktek menimbun barang untuk mengeruk keuntungan. Negara yang menerapkan sistem ini pun hanya menjadi budak korporasi bagi kapitalis dalam memperkaya diri mereka. Karena, sifat para kapitalis itu pada dasarnya mencari keuntungan sebesar-besarnya, sama sekali tidak memihak rakyat dengan klaim tidak melanggar hukum yang berlaku, maka tidak menjadi masalah.
Islam Solusi Bagi Kemashalahatan Umat
Rasulullah saw. telah melarang praktik ikhtikar, yaitu secara sengaja menahan atau menimbun (hoarding) barang, khususnya pada saat terjadi kelangkaan barang dengan tujuan untuk menaikkan harga dikemudian hari.
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah orang melakukan ikhtikar itu melainkan berdosa” (HR Muslim Nomor 1605). Hadis lain yaitu “Orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki, dan yang menimbun barang akan dilaknat,” (HR Ibnu Majah Nomor 2153).
Sebab, akibat dari ikhtikar dalam kutipan ayat di atas adalah masyarakat luas dirugikan, karena masyarakat harus membayar harga yang tidak wajar. Apalagi jika barang tersebut sangat dibutuhkan, seperti saat ini bahan pokok sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan primer mereka. Maka, perbuatan mereka dapat dikategorikan haram.
Dalam Islam jika terdapat ikhtikar seperti ini, maka negara harus menghilangkan penimbunan dengan intervensi harga dan menghukum para penimbun. Dengan harga yang ditentukan ini maka para penimbun dapat dipaksa (terpaksa) menurunkan harganya dan melempar barangnya ke pasar dengan harga yang wajar.
Dalam Islam, negara memang tidak berkewajiban menentukan harga di pasaran, namun negara bertindak untuk mengatasi ketersediaan bahan kebutuhan pokok masyarakat. Arus distribusi akan selalu menjadi perhatian negara, baik di wilayah ibukota maupun jauh dari jangkauan.
Negara akan selalu mencukupi kebutuhan rakyatnya, karena peran negara sebagai pelindung rakyat dan negara memiliki mekanisme sanksi yang jelas terhadap praktek penimbunan.
Telah terbukti dan tercatat dalam sejarah pada masa kekhilafahan utsmani khalifah ke-2 Sulaiman Al-Qonuni. Khalifah sulaiman Al-Qonuni mengunakan wanprestasi, yaitu sebuah penandatanganan kesepakatan perjanjian untuk para pejabat pemerintahannya dalam melaksanakan amanah.
Suatu waktu di masa pemerintahanya kala itu menjelang hari raya idul adha. Jauh sebelum idul Adha Sulaiman Al-Qonuni mengadakan rapat terkait siapa yang mau bertanggungjawab memenuhi persediaan daging qurban untuk hari raya idul adha nanti.
Tidak lama ada seorang pejabat yang siap untuk mengemban amanah tersebut, ia pun menandatangani kesepakatan tersebut, yang tertulis di dalamnya "kalau ia berhasil memenuhi amanah tersebut, maka ia akan diberi bonus (keuntungan). Namun, jika ia tidak dapat memenuhi amanah tersebut di hari idul adha nanti, maka ia akan diberi hukuman".
Tiba hari raya idul adha, ternyata pejabat tersebut tidak dapat memenuhi amanahnya, akhirnya sesuai perjanjian yang telah ia tanda tangani, ia pun diberikan hukuman atas sikap tidak becus dalam memenuhi sebuah kebijakan/amanah.
Sungguh, hanya Islam yang dapat menjadi solusi bagi rakyat. Penerapan sistem ekonomi yang tegas di atas asas akidah dan pilar yang shahih (benar) akan dapat mengatur dan memenuhi seluruh aspek kehidupan.
“Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan" (Surah Sad Ayat 26).
Wallahua'lam bishawab.
Penulis: Jihan (Pemerhati Kebijakan Publik).