Khaeriyah Nasruddin |
LorongKa.com - Istilah radikal di negeri ini tak ada habisnya diembuskan ke udara, tidak berhenti pada pemahaman, kini merambah pada tempat-tempat, sudah sekolah kini tempat ibadah, masjid pun ingin dipetakan mana yang menyebarkan paham radikal dan mana tidak. Mengutip pernyataan dari Ali Mochtar Ngabalin, bila ingin diibaratkan penyakit kanker maka paham radikal sudah masuk pada stadium empat.
Saking berbahayanya pemahaman radikal ini, Presiden Joko Widodo sampai memberikan peringatan kepada TNI dan Polri termasuk para istri-istrinya agar jangan sembarang mengundang penceramah radikal dalam kegiatan beragama. Di samping itu, BNPT pun mengeluarkan beberapa ciri-ciri penceramah radikal salah satunya antipemerintah dan pro khilafah. Dari media sosial, entah sumbernya darimana, juga turut beredar daftar nama-nama penceramah yang terindikasi berpaham radikal.
Pemerintah, TNI dan Polri tampak saling bergandengan untuk memberantas paham radikal ini. Tapi benarkah bahwa paham radikal begitu berbahaya sehingga harus diberantas meski baru tumbuh seperti benih? Kalaupun dilihat para kelompok dan tokoh agama yang disasar adalah mereka yang kritis terhadap kezaliman dan senantiasa mengajukan solusi bagi perbaikan kondisi negeri.
Publik pun mengenal mereka, bahkan mereka menjadi idola, sebut saja ustaz Felix Siauw, ceramahnya digandrungi anak-anak muda, ustaz Abdul Somad, ustaz Ismail Yusanto, ustad Adi Hidayat, mereka juga disenangi oleh umat. Kalau dipikir-pikir apa salahnya kritis? Bukannya dengan sikap kritis orang-orang bisa lebih berpikir, lagipula mereka yang kritis tak pernah menimbulkan kerusuhan ataupun pertumpahan darah.
Meskipun penguasa menyibukkan diri dengan isu radikalisme tampaknya rakyat kalem-kalem saja, tak seheboh sebagaimana mereka yang mengembuskan isu ini. Tidak menutup kemungkinan bisa jadi pihak yang sibuk ini juga merasa terganggu keeksisannya dalam bangku pemerintahan. Oleh sebab itu, tudingan radikalisme dialamatkan kepada penceramah yang dianggap mengganggu stabilitas kursi.
Sebenarnya ada lebih berbahaya dan paling genting dibanding isu radikalisme, misalnya persoalan minyak goreng yang langka, meroketnya harga gas elpiji, wabah tak hilang, korupsi, tawuran antar pelajar, KKB Papua yang melakukan aksi pembantaian, dst. Sayangnya persoalan itu terkesan diabaikan oleh pemerintah.
Tak dipungkiri bahwa bisa jadi ada ketakutan yang sedang mereka bendung terkait menggemanya penyeruan penerapan islam secara kaffah di tengah umat. Negara barat saja takut dengan kekuatan ideologi islam, karena itulah mereka tak letih menciptakan momok menakutkan agar umat makin menjauh dari pemahaman sempurna terhadap agamanya.
Sekeras apapun usaha itu tetap mereka tak bisa memadamkan perjuangan islam. Pun orang-orang penyeru kebaikan yang hatinya telah tertaut pada islam tak bisa dibeli ataupun diiming-imingi harta, bahkan mereka tak takut ancaman. Sebagaimana yang disampaikan oleh Buya Yahya berikut ini.
“Ulama adalah figur yang mengakar kepada umat bukan merambat ke atas pada kekuasaan. Ulama adalah mereka yang alim, tegas dan sederhana, bukan yang bergelimang dalam gemerlap kemewahan dunia dan toleran pada kemungkaran. Lisan ulama adalah perisai bagi dakwah bukan tameng bagi kekuasaan.
Apa yang terjadi hari ini persis upaya yang pernah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy di Mekkah ketika mereka menghalangi dakwah Rasulullah. Mereka memberikan cap kepada Rasulullah, si penyihir lisan, agar orang-orang tak mendengar isi dakwahnya. Namun upaya itu kecele, dakwah Rasulullah malah berhasil membongkar keburukan sistem yang berlaku pada saat itu sehingga di antara mereka banyak yang menerima dakwahnya.
Dengan usaha pemerintah kembali menggemparkan publik dengan isu radikal dan menyasar para ustaz kita berharap mata umat lebih terbuka, bahwa penguaha lagi-lagi gagal meriyah mereka, penguasa lebih sibuk dengan upaya membendung kebangkitan islam. Saat ini umat pun tak boleh disalahkan ketika mereka merasa jenuh terhadap sistem kapitalisme dan menginginkan diatur oleh syariat islam secara kaffah. Untuk apa lagi berharap pada sistem yang seringkali membuat rakyat babak belur, tak salah, kan? Wallahu a’lam bishowab.
Penulis: Khaeriyah Nasruddin.