Jihan (Pemerhati Kebijakan Publik) |
LorongKa.com - Kemiskinan bagi sebuah negara merupakan masalah global. Gambaran kekurangan materi kebutuhan pangan sehari-hari seperti sandang, perumahan atau kurangnya penghasilan dalam masyarakat menjadi masalah yang nyata dan momok yang tidak terselesaikan bagi sebuah negara.
Tidak terkecuali bagi negara Indonesia sendiri yang mempunyai banyak daerah dengan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Abdurrahman Shaleh menyatakan bahwa pelatihan peningkatan produktivitas yang digelar oleh Balai Peningkatan Produktivitas (BPP) Kendari sangat berperan penting dalam menurunkan angka kemiskinan di Sultra (Dikutip dari ZONASULTRA.COM)
Namun, akankah ini benar-benar dapat menjadi solusi yang nyata dan dapat mengatasi kemiskinan?
Menilik Akar Masalah
Data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin di Sulawesi Tenggara pada Maret 2021 sebesar 318,7 ribu jiwa. Angka itu meningkat sebanyak 1,38 ribu jiwa atau 0,43% dari September 2020. Sepanjang Maret 2017-September 2019, jumlah penduduk miskin di Sultra cenderung mengalami penurunan. Namun, kembali meningkat pada Maret 2020-Maret 2021 akibat pandemi Covid-19 yang melanda seluruh wilayah.
Selain kedua data di atas, penyebab kemiskinan pada dasarnya disebabkan oleh 2 faktor baik internal yang berupa kondisi fisik yang tidak sempurna maupun faktor eksternal berupa kehidupan sosial, struktur sosial atau pun kebijakan dan program pemerintah yang tidak merata serta tingkat pendidikan yang rendah, terbatasnya lapangan pekerjaan, harga kebutuhan tinggi, jumlah beban hidup keluarga, kualitas kesehatan yang belum baik dan keterbatasan sumber daya.
Maka, dapat kita pastikan bahwa standar penurunan kemiskinan bukan dilihat dari banyaknya kegiatan dan produktivitas masyarakat. Melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok masyrakat, mudahnya kebutuhan kualitas kesehatan setiap keluarga dalam masyarakat.
Tentu ini berbanding terbalik dengan apa yang sedang dialami oleh Indonesia sekarang. Dimana di lapangan, kita melihat masih banyak pengangguran yang akhirnya membuka celah kriminalitas sebab pikiran yang sempit akibat kesenjangan sosial dan kebutuhan dasar yang tidak mereka dapatkan memaksa mereka untuk melakukan tindakan kriminal.
PHK di masa pandemi yang membeludak menyebabkan banyaknya kepala keluarga yang tidak mampu lagi menafkahi keluarganya sebab kehilangan mata pencahariannya. Bahkan, muncul persoalan baru berupa banyaknya anak-anak yang mengalami stunting jangka panjang. Demikianlah peliknya persoalan masyarakat disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme tak menjamin kesejahteraan sepenuhnya, sebab prioritas masyarakat bukan hal yang utama. Menyadari hal tersebut, tentu saja semua membutuhkan solusi yang nyata dan komperhensif dalam mengatasinya. Bukan cuman kebijakan dan program yang perlu di perbarui namun sistemnya lah yang perlu untuk di ubah kearah yang lebih sistematis dan komperhensif.
Islam, Solusi Nyata Atasi Kemiskinan
Islam memberikan standar yang jelas, bahwa kemiskinan adalah tidak mampu mencukupi kebutuhan baik pokok maupun kesehatan. Maka, tugas negaralah menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. Negara juga wajib menyediakan kebutuhan pokok masyarakat agar bisa dijangkau dan kebutuhan kesehatan yang mencakup seluruh golongan di masyarakat.
Di era kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz misalnya. Khalifah dari Dinasti Umayyah, mengutus seorang petugas pengumpul zakat, Yahya bin Said untuk memungut zakat ke Afrika. ‘’Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun,’’ ujar Yahya.
Pada era itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berkecukupan. ‘’Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya,’’ kisah Yahya bin Said. Kemakmuran umat ketika itu tak hanya terjadi di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah kekuasaan Islam, seperti Irak dan Basrah.
Abu Ubaid mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di provinsi itu. ‘’Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitul Mal masih terdapat banyak uang,’’ tutur sang gubernur dalam surat balasannya.
Khalifah Umar lalu memerintahkan, ‘’Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya!’’ Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, ‘’Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang".
Khalifah lalu memerintahkan lagi, ‘’Kalau begitu bila ada seorang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya!’’ Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah, ’’Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah.’’ Namun, di Baitul Mal ternyata dana yang tersimpan masih banyak.
Khalifah Umar lalu memberi pengarahan, ‘’Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj kalau ada yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih".
Maka sejatinya negara dalam lingkup sistem Islam memiliki pemasokan/kas negara berupa Baitul Mal yang secara resmi berdiri pada zaman kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab. Namun, cikal bakalnya sudah mulai dikenal sejak zaman Rasulullah saw. ketika Nabi Muhammad saw. memimpin pemerintahan di Madinah, baitul mal belum terlembaga.
Rasulullah saw. secara adil mengalokasikan pemasukan yang diterima untuk pos-pos yang telah ditetapkan. Pelembagaan Baitul Mal juga masih belum ditetapkan pada masa kepemimpinan Abu Bakar As-Siddiq. Pengelolaan dana yang diterapkan khalifah pertama masih mengikuti pola yang diterapkan Nabi Muhammad SAW.
Seiring bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam, pengelolaan keuangan pun bertambah kompleks. Atas dasar pertimbangan itulah Khalifah Umar bin Khattab memutuskan untuk melembagakan Baitul Mal menjadi lembaga formal. Terlebih, pada masa Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah melampaui semenanjung Arab.
Seperti inilah seharusnya negara dalam mengatasi kemiskinan. Islam begitu sangat nyata dapat di rasakan kala itu oleh rakyatnya, dimana segala kebutuhan mereka dari hal yang sekunder hingga primer negara akan memenuhinya sebab itu adalah tanggung jawab seorang pemimpin negara yang akan ia pertanggungjawabkan di akhirat kelak ketika dihadapan Allah Swt. Wallahu'alam bishawab.
Penulis: Jihan (Pemerhati Kebijakan Publik)